Erdi Nasrul : Para wartawan dan seluruh pejuang di Gaza yang wafat, sejatinya hadir dalam setiap reportase yang menolak tunduk pada kebohongan, dalam setiap kata yang menegakkan keadilan
Oleh : Erdy Nasrul (Wartawan Senior Republika)
Di antara reruntuhan bangunan dan gemuruh pesawat tempur, seorang wartawan muda bernama Saleh Aljafarawi berdiri dengan kamera kecilnya. Ia tidak membawa senjata, tidak bersembunyi di balik tameng baja, hanya sepotong mikrofon dan keberanian sebesar langit Gaza. Dalam setiap rekaman yang ia buat, dunia bisa melihat potongan realitas yang disembunyikan oleh asap propaganda.
Israel mengeklaim balas serangan Oktober 2023, tapi kenyataannya, pasukan IDF membabi buta membantai warga sipil Palestina, memperlakukan mereka dengan biadab. Netanyahu berkali-kali ngomong membela diri, tapi sebenarnya, dia mengepalai genosida. Dengan teknologi militernya mereka mengeklaim menjaga ketertiban, tapi sebenarnya mereka ingin mencaplok negara-negara Arab demi mewujudkan Israel Raya.
Saleh Aljafarawi tidak sedang mencari ketenaran. Ia hanya ingin dunia tahu, bahwa di balik kata konflik, ada bayi yang menangis, ibu yang menggenggam kain kafan berdarah, dan ayah yang menatap kosong rumahnya yang kini rata tanah. Dalam setiap detik videonya, ia menantang kebisuan dunia. Kamera di tangannya seolah menjadi saksi yang menolak bungkam.
Hingga suatu hari, kamera itu jatuh. Tubuh Aljafarawi terkulai di tanah Gaza, diselimuti debu dan darahnya sendiri. Dunia berduka, bukan hanya karena seorang wartawan tewas, tapi karena cahaya yang selama ini menembus tirai kebohongan telah padam. Namun, cahaya tak pernah benar-benar mati. Ia berpindah, menyalakan cahaya bela Palestina di hati jutaan orang yang menonton video terakhirnya, membakar api melawan penjajahan Israel di hati semua orang yang masih hidup.
Apa yang dilakukan Aljafarawi bukan sekadar pekerjaan jurnalistik. Itu adalah panggilan hati, seruan dari nurani yang tak bisa lagi menanggung diam. Ia menulis dan merekam bukan untuk mengisi ruang berita, tapi untuk menyampaikan kesaksian moral: bahwa penjajahan dan kebiadaban adalah musuh kemanusiaan. Aksi itu merupakan refleksi pandangan hidup Islam.
Dalam konteks itulah jurnalisme menjadi bagian dari cahaya kebenaran, sebuah nur yang memancar dari hati yang tercerahkan oleh keilahian. Saleh Aljafarawi mengabadikan realitas bukan hanya karena ia wartawan, tetapi karena ia seorang mukmin, bahwa kebenaran harus disampaikan, meski nyawa menjadi taruhannya.
Naquib Al-Attas, seorang pemikir besar Islam, menjelaskan bahwa pandangan hidup (worldview) adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran (Islamic vision of reality and truth). Pandangan hidup Islam sebagaimana digambarkan cendekiawan asal Turki, Alparslan Acikgence, adalah konstruksi bangunan yang di dalamnya terdapat konsep-konsep dasar, seperti Tuhan, kebenaran, kehidupan, wujud, ilmu, dan banyak lagi. Pendiri INSISTS Hamid Fahmy Zarkasyi, sebagaimana dijelaskan Thomas F Wall, menyebut konsep Tuhan adalah yang paling dasar. Semua konsep tadi akan membentuk kerangka keilmuan yang nantinya membentuk cara kerja keilmuan dan berujung kepada pemahaman, perkataan, dan tindakan.
Jika seseorang atheis, berarti setiap pandangannya tidak akan menyebut keterkaitan dengan Tuhan. Orang sekuler-liberal, akan menyalahkan semua hal, termasuk firman Tuhan. Orang yang hanya mengimani Tuhan tapi tak mau beragama, akan mengambil konsep-konsep yang ada dalam berbagai agama, dengan caranya, tapi mengabaikan perintah Nabi dan perintah Tuhan yang lebih mendasar.
Orang beriman akan menanamkan konsep Tuhan sesuai dengan yang ada di dalam firman Allah, penjelasan Nabi, dan ulama, di dalam hatinya. Konsep tersebut akan mencerahkan konsep-konsep lain, sehingga satu dan lainnya saling terkait. Ketika membicarakan wujud, pasti akan memahami bahwa segala wujud yang ada akan sirna, karena yang abadi hanya Allah. Ketika membicarakan alam, itu tidak tercipta dengan sendirinya, karena Allah yang merencanakan dan menciptakan alam. Kebenaran bukan sekadar yang menjadi konsensus, tapi sebagaimana yang Allah tentukan dalam firman-Nya. Dan begitu seterusnya.
Saleh Aljafarawi hidup dalam pandangan hidup Islam. Ia merekam dengan hati yang sadar bahwa membunuh warga tak berdosa adalah kebiadaban, kejahatan, tidak boleh dibiarkan. Harus dilawan. Dia melawan dengan kamera, dengan audio visual yang mengabadikan segala kebiadaban IDF. Setiap gambar yang dia rekam adalah kesaksian; setiap suara adalah amanah. Baginya, kamera bukan sekadar alat dokumentasi, melainkan cermin nurani. Ia melihat penderitaan bukan hanya objek berita, melainkan sebagai ujian iman: apakah manusia masih peduli ketika melihat saudaranya tertindas?
Dalam prosesnya, Aljafarawi melakukan verifikasi dengan cermat. Ia tak sekadar menyorot reruntuhan; ia memastikan cerita yang ia bawa benar adanya. Prinsip independensi yang dijunjung jurnalisme modern berpadu dengan nilai amanah dalam Islam. Ia tahu, fitnah dan hoaks adalah racun yang membunuh kebenaran dan merusak hati. Maka, setiap tayangan yang ia unggah adalah hasil dari niat yang bersih dan penilaian yang jernih.
Seperti seorang penulis yang menyeleksi kata, Aljafarawi menyeleksi potongan video terbaik untuk disampaikan ke dunia. Ia paham, bahwa gambar bisa membangunkan hati yang tertidur atau menyesatkan yang lemah. Karena itu, ia memilih dengan hati-hati, menimbang mana yang paling bermanfaat, mana yang paling menggugah nurani. Dalam setiap potongan klipnya, ia bukan hanya menyusun fakta, tapi juga menyusun doa dalam bentuk visual.
Sembilan Elemen Jurnalisme
Dalam dunia yang penuh suara, jurnalisme adalah lentera yang menuntun manusia mencari kebenaran di tengah kabut informasi. Di balik setiap berita yang tersaji, ada sembilan cahaya yang menjaga agar nur kebenaran tak padam, sembilan prinsip yang menjadi ruh bagi siapa pun yang menyebut dirinya jurnalis, sebagaimana dijelaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
1. Kebenaran
Segalanya berawal dari satu kata yang paling sederhana, namun paling suci: kebenaran. Ia adalah kompas moral dan fondasi setiap karya jurnalistik. Seorang jurnalis yang menulis tanpa kebenaran hanyalah penggemar kata-kata, larut dalam permainan bahasa ala Lyotard dan Wittgenstain, bukan penjaga nurani. Karena itu, kejujuran faktual dan ketepatan informasi menjadi ibadah tersendiri, melawan sensasionalisme, mengoreksi kesalahan, dan mengakui ketidaksempurnaan manusiawi demi menjaga amanah publik.
2. Loyalitas kepada Masyarakat
Di balik pena dan kamera, jurnalisme sejati berpihak kepada manusia, bukan kekuasaan. Ia lahir dari cinta kepada publik, kepada orang biasa yang berjuang menafkahi keluarga, kepada warga yang ingin tahu apa yang benar. Loyalitas ini bukan kepada pemilik modal atau pengiklan, melainkan kepada nurani rakyat yang berhak mendapatkan kebenaran agar bisa mengatur hidupnya sendiri.
3. Disiplin Verifikasi
Jurnalis sejati tidak sekadar mendengar, tapi memastikan. Mereka menelusuri sumber, memeriksa ulang, dan menyaring fakta seperti penambang yang mencari emas di antara bebatuan. Selalu check and recheck. Verifikasi adalah doa panjang dalam kerja sunyi, agar apa yang disampaikan tidak menjadi fitnah, melainkan cahaya yang menuntun.
4. Independensi
Independensi adalah kebebasan untuk tidak tunduk kepada siapa pun selain nurani. Ia bukan berarti tanpa pendapat, melainkan kemampuan menjaga jarak dari kepentingan yang bisa membutakan pandangan. Seorang jurnalis boleh lahir dari suku, agama, atau ideologi tertentu, tapi ketika ia menulis, ia berbicara sebagai manusia yang berdiri di hadapan kebenaran, bukan di bawah bayang-bayang kuasa.
5. Pemantau Kekuasaan
Dalam sejarah, setiap kekuasaan selalu membutuhkan cermin. Jurnalisme adalah cermin itu, kadang memantulkan keindahan, kadang menyingkap kebusukan. Fungsi “anjing penjaga” bukan untuk menggonggong tanpa arah, melainkan menjaga agar kekuasaan tidak berubah menjadi tirani. Di setiap negara yang masih percaya pada nurani, jurnalis berdiri sebagai benteng terakhir dari keadilan yang mungkin terlupakan.
Di Indonesia, kerja jurnalistik yang dikelola secara profesional melalui pers merupakan piler keempat demokrasi. Kerja semacam ini menghimpun suara akar rumput kemudian menanamkannya di hati pengambil keputusan untuk kemudian menghasilkan kearifan yang melestarikan keberlanjutan negeri ini.
6. Kritik dan Kompromi Publik
Jurnalisme bukan hanya tentang bicara, tapi juga mendengarkan. Apa yang disuarakan harus dicatat, untuk kemudian diramu menjadi narasi menyentuh hati. Ia membuka ruang bagi perbedaan, mempersilakan suara yang berseberangan untuk duduk di meja yang sama. Di sanalah kritik dan kompromi menjadi tanda kedewasaan publik, ketika perdebatan tidak lagi soal siapa menang, tapi bagaimana bangsa ini bisa belajar bersama dari kebenaran yang beragam.
7. Menarik dan Relevan
Kebenaran yang disampaikan tanpa jiwa hanyalah data. Maka, jurnalis belajar menjadi pendongeng yang bijak, mengubah fakta menjadi kisah yang hidup, relevan, dan menggugah hati. Sebab cerita yang baik tidak hanya menginformasikan, tapi juga menggerakkan. Ia membuat orang berhenti sejenak dari kesibukan, lalu merenung: apa makna semua ini bagi hidupku?
8. Keseimbangan
Keseimbangan adalah seni menimbang tanpa kehilangan arah. Jurnalis harus mampu melihat dunia dari banyak jendela, menghadirkan konteks, memberi ruang bagi semua suara, dan menjaga proporsi agar kebenaran tidak terdistorsi oleh emosi. Dalam keseimbangan itulah keadilan lahir: tidak semua pihak selalu benar, tapi semua berhak didengar.
9. Hati Nurani
Pada akhirnya, semua prinsip di atas akan rapuh tanpa satu hal: hati nurani. Ia adalah pusat kendali yang menentukan apakah pena menjadi alat kebenaran atau sekadar senjata propaganda. Hati nurani membuat jurnalis berani berkata “tidak” pada tekanan, berani melawan arus ketika yang lain memilih diam. Ia menuntun agar setiap keputusan di ruang redaksi tidak hanya sah secara etika profesi. Kebijaksanaan yang mempertimbangkan maslahat dan mafsadah menjadi ukuran di sini, sehingga nantinya info yang digulirkan ke publik harus benar dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Jurnalisme sejati adalah perjalanan spiritual, antara akal dan iman, antara data dan nurani. Sembilan elemen ini bukan sekadar teori, melainkan jalan panjang menuju kejujuran. Sebab pada akhirnya, setiap berita adalah kesaksian, dan setiap kesaksian akan dimintai pertanggungjawaban.
Tak Berhenti pada Laporan
Dalam ajaran Islam, kebenaran bukan sekadar dicerna permukaan pikiran, tapi direnungkan hingga ke hati yang paling dalam. Maka, kejujuran seorang jurnalis tak berhenti pada laporan faktual, melainkan pada niat batin yang tulus. Aljafarawi bekerja untuk Tuhan yang Mahamelihat. Setiap unggahan videonya adalah bentuk kesaksian, bahwa ia telah menyampaikan apa yang dilihatnya tanpa menyembunyikan satu pun luka dari rakyatnya.
Di dunia yang kini penuh disinformasi dan manipulasi digital, kehadiran sosok seperti Aljafarawi adalah oase di tengah padang gersang hamparan dusta. Ia mengajarkan bahwa jurnalisme sejati adalah perlawanan terhadap kegelapan, bukan sekadar industri informasi. Ia membuktikan bahwa seorang jurnalis bisa menjadi mujahid pena dan kamera, yang menegakkan kebenaran di medan paling berbahaya sekalipun.
Dalam pandangan hidup Islam, seperti yang ditegaskan Al-Attas, ilmu dan amal tak boleh terpisah. Kebenaran yang diketahui harus diwujudkan dalam laku dan kata nan bijaksana. Aljafarawi adalah contoh hidup hal itu: pengetahuan, keberanian, dan iman berpadu menjadi satu gerak perjuangan. Ia bukan sekadar meliput, tapi juga menghidupkan makna jihad dalam bentuk modern, perjuangan melalui media, perjuangan yang diabaikan negara superpower dan oligarkhi zionis.
Setiap video yang ia unggah menjadi semacam cermin kolektif bagi dunia: apakah kita masih memiliki hati yang bergetar melihat penderitaan orang lain? Dalam diamnya jenazah Aljafarawi, dunia justru semakin gaduh. Videonya menyebar, menembus batas negara, mengguncang kesadaran umat manusia tentang apa artinya menjadi manusia di hadapan tragedi.
Masyarakat di berbagai negara pun turun ke jalan. Mereka berunjuk rasa, membawa poster, berteriak menuntut keadilan bagi Gaza. Semua itu bermula dari rekaman-rekaman yang dibuat wartawan dan warga di tengah hujan peluru dan gemuruh Tank Merkava Israel. Banyak dari mereka telah wafat, tetapi karyanya hidup dan terus menyalakan bara kemarahan terhadap kebiadaban.
Reputasi Israel kini kian runtuh di mata dunia, bukan karena diplomasi, tapi karena kebenaran visual yang tak bisa lagi ditutupi. Kamera Aljafarawi telah membuka tabir propaganda, memperlihatkan bahwa penjajahan hanya melahirkan kehancuran. Ia menjadi simbol bahwa media bisa menjadi senjata moral ketika digunakan oleh hati yang jernih.
Di sinilah hubungan mendalam antara jurnalisme dan pandangan hidup Islam menemukan bentuknya. Keduanya sama-sama berpijak pada kebenaran, menolak kebohongan, dan menjunjung amanah. Pandangan hidup Islam memberi arah pada niat dan tindakan seorang jurnalis: bahwa kata-kata harus menegakkan keadilan, gambar harus membela yang lemah, dan berita harus menjadi sarana untuk menebarkan rahmat. Di sinilah setiap pekerjaan jurnalistik menemukan nilai spiritualnya, ia bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa.
Seperti lentera di malam gulita, jurnalis seperti Aljafarawi menunjukkan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam oleh peluru. Cahaya kamera kecilnya lebih tajam dari senjata, karena ia menembus hati manusia. Itulah nur al-haqq, cahaya kebenaran yang tak padam meski tubuh pemiliknya telah tiada.
Aljafarawi tidak sendirian. Dia adalah bagian dari 200 jurnalis yang wafat karena kebiadaban Israel di Gaza. Mereka mengorbankan nyawa untuk sesuatu yang jauh lebih berharga, merdeka. Mereka ingin saudara, orang-orang Palestina, menghirup udara kebebasan, bahagia.
Setiap jurnalis, setiap pembuat konten, memiliki pandangan hidup masing-masing. Apa yang mereka pilih untuk direkam, ditulis, atau diunggah, semuanya mencerminkan apa yang mereka yakini tentang dunia. Aljafarawi memilih berpihak kepada yang tertindas. Dalam setiap detik videonya, kita bisa membaca ketegasannya: menolak kebiadaban, menentang penjajahan, dan memuliakan kemanusiaan.
Kini, mungkin jasadnya telah menyatu dengan tanah Gaza, tetapi ruh Aljafarawi dan 199 wartawan lainnya, tak pernah mati, sebagaimana sebuah tulisan di kuburan orientalis Annemarie Schimmel:
الناس نيام و اذا ماتوا انتبهوا
An-naasu niyaamun wa idzaa maatuu intabahuu
Semua manusia itu (yang masih hidup di dunia ini) tertidur, dan ketika mati, barulah mereka sadar dan hidup (yang sesungguhnya)
Para wartawan dan seluruh pejuang di Gaza yang wafat, sejatinya hadir dalam setiap reportase yang menolak tunduk pada kebohongan, dalam setiap kata yang menegakkan keadilan. Semangatnya adalah gema abadi yang akan terus bergulir, menghidupi jurnalisme yang didasarkan iman, menyalakan nur kebenaran, dan membersamai perjuangan umat hingga kiamat kelak.
Tags: #Jurnalis gaza, #Saleh Aljafaraw