Pemahaman yang terabaikan ini juga menyebabkan seseorang sulit menerima dan memahami cinta. Padahal, cinta adalah fondasi kehidupan yang sejati.
Mengenal "Kecewa" dalam Persepsi Cinta oleh Khalil Gibran: Refleksi dan Pembelajaran
Pada pekan ketiga Januari 2025 ini, kita akan mendalami tema "kecewa" dalam persepsi cinta menurut Khalil Gibran. Dua minggu lalu, kita telah membahas kecewa dari perspektif ilmu psikologi dan kesehatan mental menurut Ibnu Sina, yang melihat kecewa sebagai manifestasi perilaku seseorang yang mudah sekali terlibat dalam konflik (tawur) dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat sering kita temui di masyarakat, terutama di kota-kota besar.
Kehidupan yang kompetitif dan dinamis di kota besar membuat banyak di antara kita terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang sibuk, atau bahkan rutinitas ibadah keagamaan yang menyita waktu. Sehingga kita cenderung menjalani keseharian dengan fokus pada kegiatan kita sendiri, dengan berbagai alasan khas dan klasik, yang akhirnya membawa kita ke situasi di mana, saat berhadapan dengan kekecewaan, kita mudah tersulut emosi. Jika emosi ini tidak dikelola dengan baik, kita bisa menjadi aktor utama dari keributan yang kita buat sendiri, dan tanpa disadari, keributan (tawur) tersebut menjadi dinamika yang kita anggap sebagai suatu keharusan.
Seseorang dengan karakter "tawur" atau suka ribut, sebenarnya tidak terbentuk dalam waktu singkat. Hal ini sudah dimulai sejak dini, terutama jika seseorang tumbuh dalam kondisi penuh trauma (pengalaman buruk) atau kemudahan yang berlebihan. Kedua faktor ini dapat menjadikan seseorang mudah terlibat dalam keributan. Ketidakpedulian orang tua terhadap anak, dengan dalih kesibukan pekerjaan atau ibadah, menjadikan anak tumbuh dengan kesulitan dalam diarahkan, bahkan berperilaku emosional yang mudah meledak.
Pengabaian terhadap protes-protes kecil anak di usia dini, berlanjut hingga fase awal pubertas (usia 12–14 tahun), dan bahkan ke fase pencarian citra diri (usia 14–19 tahun). Di usia ini, sang anak sering kali menyimpulkan bahwa dirinya "diabaikan". Di usia inilah, keributan-keributan kecil mulai terjadi. Di rumah, di sekolah, di lingkungan, bahkan dalam pertemanan, keributan menjadi hal yang menyenangkan. Keributan menjadi ajang untuk menunjukkan diri sebagai "pahlawan" atau "jagoan".
Pemahaman yang terabaikan ini juga menyebabkan seseorang sulit menerima dan memahami cinta. Padahal, cinta adalah fondasi kehidupan yang sejati. Cinta adalah momen yang tepat untuk belajar menerima dan memberi. Ekspresi cinta akan membawa seseorang pada situasi yang lebih fokus dan menyegarkan. Cinta juga dapat membersihkan hati yang tawur, mengembalikannya pada kedamaian.
Bagaimana cara yang efektif?
Ruwat Hati Jika kita merasakan hati yang tawur, salah satu cara untuk meruwatnya adalah dengan lebih banyak berdiam diri. Pergilah ke tempat yang tenang, seperti mendaki gunung, yang memberikan ketenangan dan kesendirian. Suara alam, seperti deburan ombak di pantai atau gerakan pohon-pohon di daerah terpencil, dapat membantu kita menenangkan emosi yang brutal. Pergilah ke tempat atau bersama seseorang yang menerima kita apa adanya, berlama-lama di sana tanpa terburu-buru. Keheningan dan irama alam akan mengajarkan kita tentang cinta sejati.
Membantu Orang yang Tawur Hati Jika kita menemui seseorang dengan hati yang tawur, segeralah membantu meruwatnya. Tatap wajahnya, berikan senyuman yang tulus, dan berbagi cerita yang lucu, yang menghibur, serta memotivasi agar ia tahu ada seseorang yang peduli padanya. "Orang dengan perilaku tawur tidak peduli dengan pengetahuan kita, tetapi mereka tahu kalau kita peduli kepada mereka." – Radja M Noor.
Khalil Gibran, seorang maestro cinta, mengajarkan kita pentingnya "sentuhan perhatian", yang bisa kita temukan dalam karya-karya sastranya. Dalam bukunya yang berjudul The Madman, Gibran mengajarkan kita bagaimana menata hati yang tawur dengan tindakan "ruwat" yang dapat membantu diri kita dan orang lain keluar dari siklus keributan.
Berikut adalah petikan dari buku The Madman yang mungkin bisa kita jadikan referensi untuk menata hati yang tawur:
_"Kau bertanya bagaimana aku menjadi orang gila. Ini terjadi seperti ini: suatu hari, jauh sebelum banyak dewa dilahirkan, aku terbangun dari tidur nyenyakku dan menemukan seluruh topengku telah dicuri — tujuh topeng yang telah kuhias dan kupakai dalam tujuh kehidupan. Aku berlari tanpa topeng melalui jalan-jalan yang ramai sambil berteriak, 'Pencuri, pencuri, pencuri terkutuk.'"
"Pria dan wanita tertawa melihatku, dan beberapa di antaranya berlari ke rumah mereka karena takut padaku. Ketika aku mencapai pasar, seorang pemuda yang berdiri di atas puncak rumahnya berteriak, 'Ia orang gila.' Aku menengadah untuk melihatnya; matahari mencium wajah telanjangku untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya matahari mencium wajah telanjangku dan jiwaku terbakar dengan cinta pada matahari, dan aku tidak lagi menginginkan topeng-topengku."
"Dan seolah-olah tidak sabar, aku berteriak, 'Diberkatilah pencuri yang telah mencuri topeng-topengku.' Jadilah aku orang gila. Dan aku telah menemukan kebebasan dan keamanan dalam kegilaanku; kebebasan kesendirian dan keamanan dari menjadi mengerti. Karena mereka yang mengerti kita memperbudak sesuatu dari diri kita."
Dari puisi tersebut, kita dapat memahami bahwa seseorang yang memiliki hati yang tawur sering kali bertopengkan kegagahan, keberanian, atau keunggulan. Topeng-topeng ini dipaksakan oleh lingkungan, keluarga, atau masyarakat. Ketika seseorang dipaksa untuk memakai "topeng" tersebut, protes-protes kecil yang mereka ungkapkan sering kali terabaikan, hingga mereka sampai pada titik kecewa yang berujung pada keributan.
Ingatlah... Tawur hati harus segera diruwat (dibersihkan), karena setelah seseorang mampu keluar dari situasi tawur hati, mereka akan menjadi pribadi yang mampu berkata, "Sini, duduk di sampingku."
Ingin konsultasi berkaiatan persoalan keluarga dan Narkoba biisa kunjungi link berikut ini : Huma Qita Lahirkan Program Sini Duduk Samping Aku - https://go.shr.lc/3DA4Pwx