Kondisi dan Tantangan Industri Farmasi dalam Sertifikasi Halal

Kondisi dan Tantangan Industri Farmasi dalam Sertifikasi Halal

UMMATTV JAKARTA--Pertumbuhan sertifikasi halal bagi industri farmasi terbilang sangat tertinggal. Per Maret 2021, jumlah kelompok farmasi (obat dan vaksin) bersertifikat halal sebanyak 2.586 produk. Angka ini sangat rendah, yakni 0,5% dari keseluruhan produk bersertifikat halal yang berjumlah 575.560 produk dari seluruh kelompok.

Jumlah sertifikasi halal obat meningkat signifikan pada 2019, seiring dengan mulai diimplementasikannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Kemudian pada 2020 terjadi penurunan seiring dengan keluarnya regulasi turunan UU JPH, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Dari 1.891 produk obat pada 2019, menjadi 830 produk obat pada 2020.

Pasal 141 ayat 1 pada PP tersebut menyebutkan adanya penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi obat, dengan kurun waktu terlama sampai tahun 2034 untuk produk obat keras. Masa transisi yang cukup panjang diduga menjadi pemicu turunnya angka sertifikasi halal produk obat pada 2020.

“Diharapkan perusahaan farmasi dapat mempersiapkan produknya untuk disertifikasi halal, tanpa harus menunggu batas akhir dari proses penahapan sertifikasi halal. Persiapan ini harus dimulai segera, karena proses menuju sertifikat halal perlu kesiapan yang matang dari perusahaan agar proses sertifikasi bisa berjalan dengan mudah dan cepat,” ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Ir. Muti Arintawati, M.Si.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Dr. Mastuki, M.Ag menyatakan bahwa pihaknya sangat terbuka menerima setiap pelaku usaha yang akan melakukan sertifikasi halal, termasuk di industri farmasi, terlepas dari waktu penahapan yang telah ditetapkan. Regulasi dan implementasi JPH membutuhkan kolaborasi dan sinergitas berbagai pemangku kepentingan, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Dalam hal sertifikasi halal, BPJPH berperan dan bertanggung jawab sebagai regulator. Karena itu, kebijakan sertifikasi halal untuk mempercepat ketersediaan obat halal di masyarakat perlu dibicarakan dengan berbagai pakar untuk dilihat dari berbagai sudut pandang,” ujar Mastuki.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Agusdini. Ia beranggapan bahwa sertifikasi halal terhadap obat dapat menjadi peluang pasar yang besar, khususnya di Indonesia yang sudah memiliki rumah sakit syariah di beberapa daerah. Saat ini di Indonesia sudah ada sekitar 500 rumah sakit yang menjadi anggota Majelis Ulama Kesehatan Islam (MUKISI), 22 rumah sakit sudah tersertifikasi syariah (18 RS Islam dan 4 RS Pemerintah), serta 65 rumah sakit masih dalam proses pendampingan untuk menjadi Rumah Sakit Syariah.

“Meski telah diatur penahapannya dalam PP 39/2021, menurut kami alangkah lebih baik jika pelaku industri farmasi dapat mempercepat proses sertifikasi halal karena peluang pasar obat halal di Indonesia sangatlah besar,” kata Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS. 

Ia juga menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama lambannya kecepatan sertifikasi halal industri farmasi adalah sumber bahan baku obat yang didapat masih impor 95% dari luar negeri, yakni dari Tiongkok, India, Amerika, dan Eropa. Meski begitu, Kemenkes menetapkan target untuk menurunkan jumlah bahan baku impor menjadi 70% pada tahun 2024. 

“Saat ini, pemerintah sedang mendorong agar industri farmasi di Indonesia dapat memproduksi bahan baku obat. Dengan begitu, pemerintah dapat menjamin kehalalannya lebih mudah dibanding bahan baku impor. Walaupun memang sudah ada beberapa industri bahan baku obat luar negeri yang memiliki sertifikat halal,” ujar Agusdini.

Selain itu, sertifikasi halal juga menjadi salah satu sasaran dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni meliputi pengembangan obat, produk biologi, reagen, dan vaksin dalam negeri bersertifikat halal yang didukung oleh penelitian dan pengembangan life science. Hal ini dalam rangka pemenuhan dan peningkatan daya saing sediaan farmasi dan alat kesehatan di Indonesia. 

Agusdini juga mengakui bahwa peluang obat halal di Indonesia sangatlah besar. Selain karena mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, Indonesia tengah menjadi center of excellent dari Organisation of Islamic Cooperation (OIC). Hal ini juga dapat menjadi keunggulan Indonesia untuk memperluas pasar ekspor obat halal ke negara-negara lain, khususnya negara Timur Tengah. 

Namun, peluang ini harus diupayakan secara maksimal. Pasalnya, jumlah produk farmasi (obat dan vaksin) bersertifikat halal hanya 2.586 produk, sementara yang tercatat di BPOM per 24 Maret sejumlah 19.483 produk. Artinya, peluang sertifikasi halal farmasi masih sangat luas.  

Sementara itu, Direktur Utama Rumah Sakit Universitas Indonesia, Dr. Astuti Giantini, Sp. PK (K)., MPH dari sudut pandang pengguna obat mengharapkan kewajiban sertifikasi halal dapat dipercepat. “Pemerintah memang memberikan tenggat waktu kepada pelaku usaha untuk menerapkan aturan jaminan produk halal. Utamanya kepada produk obat yang berlangsung secara bertahap. Namun, kami sebagai pengguna obat ingin semua obat segera bersertifikat halal demi terwujudnya ketenteraman saat mengonsumsinya,” ungkapnya.

Melihat dari adanya tren kenaikan jumlah sertifikasi halal pada 2019, kini dapat dipahami bahwa sertifikasi halal obat sesungguhnya bisa dilakukan tanpa perlu menunggu batas akhir yang telah ditetapkan dalam PP 39/2021. Terlepas dari segala regulasi yang mengikat, masyarakat masih menunggu ujung dari proses sertifikasi halal obat. Masihkah kita layak berlindung pada status darurat obat?*

Sebelumnya :
Selanjutnya :