Ekonomi Biru Syariah: Paradigma Baru untuk Pertumbuhan

Ekonomi Biru Syariah: Paradigma Baru untuk Pertumbuhan

Oleh: Idris Parakkasi

Konsultan Ekonomi dan Bisnis Islam

 

Ekbis Syariah. Ekonomi biru, yang merujuk pada pemanfaatan sumber daya laut, danau, dan sungai secara berkelanjutan, menjadi topik yang semakin penting dalam wacana pembangunan global. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang dan kekayaan laut yang melimpah, memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi biru. Dari perspektif ekonomi Islam, konsep ini memiliki relevansi yang kuat, karena mencakup prinsip-prinsip keberlanjutan (istidama), keadilan (al-'adl), dan distribusi yang seimbang (tawazun), yang merupakan bagian integral dari ajaran syariah.

Ekonomi biru adalah pendekatan pembangunan ekonomi yang menekankan pada pengelolaan sumber daya laut, danau, dan sungai secara bijaksana, sehingga dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat tanpa merusak ekosistem yang ada. Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan ajaran syariah yang menekankan pada tanggung jawab manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi untuk memelihara alam (QS. Al-Baqarah: 30). Ayat Al-Quran ini menggarisbawahi tanggung jawab manusia dalam menjaga kelestarian bumi, termasuk laut dan sumber daya air lainnya. Rasulullah SAW juga bersabda:

"Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu." (HR. Muslim).

Hadis ini mengingatkan umat Muslim untuk menjaga alam dengan baik, termasuk laut, dengan memastikan bahwa penggunaannya tidak merusak atau menyebabkan kepunahan ekosistem yang ada di dalamnya. Selain itu mengingatkan  bahwa kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan dan sumber daya alam memiliki nilai ibadah dalam Islam, selama dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang baik.

Sektor kelautan, danau, dan sungai di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai sekitar Rp 20.000 triliun per tahun. Sumber utama nilai ekonomi ini berasal dari perikanan budidaya, yang berkontribusi sebesar 16% atau sekitar USD 210 miliar. Sektor-sektor lain seperti bioteknologi kelautan dan jasa maritim juga memiliki kontribusi yang signifikan, masing-masing sebesar 14% dan 15% dari total potensi ekonomi (Bisnis.com).

Pada tahun 2023, ekspor produk perikanan Indonesia mencapai USD 4,1 miliar hingga triwulan III, yang merupakan 53% dari target ekspor tahunan sebesar USD 7,6 miliar. Sektor perikanan juga menghasilkan 18,5 juta ton produk, di mana perikanan budidaya menyumbang 12,74 juta ton, sementara perikanan tangkap berkontribusi sebesar 5,76 juta ton (Indonesia Government)

Selain itu, sektor ini memberikan kontribusi sekitar 2,7% terhadap PDB nasional dengan nilai mencapai Rp 214,18 triliun. Namun, tantangan seperti penangkapan ikan ilegal dan overfishing terus menjadi ancaman bagi keberlanjutan sektor ini. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong implementasi ekonomi biru, yang menekankan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan

Ekonomi Islam mendorong penerapan prinsip syariah dalam setiap aktivitas ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam.  Ada beberapa prinsip kunci yang relevan dalam konteks ekonomi biru antara lain; Pertama, Istidama (keberlanjutan)
Yaitu segala sesuatu yang ada di bumi adalah amanah yang harus dijaga dengan baik. Prinsip ini mengacu pada konsep 'mizan' atau keseimbangan yang disebutkan dalam Al-Quran (QS. Ar-Rahman: 7-9). Ekonomi biru harus didasarkan pada pengelolaan yang tidak merusak lingkungan, memastikan bahwa sumber daya laut dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Konsep ini juga sejalan dengan maqashid syariah, yang bertujuan untuk melestarikan harta benda dan menjaga kelestarian kehidupan manusia dan alam. Kedua, Al-'Adl (keadilan)
Prinsip keadilan dalam Islam mencakup distribusi sumber daya yang adil dan merata. Tidak hanya segelintir pihak yang berhak menikmati kekayaan laut, tetapi juga masyarakat pesisir yang seringkali menjadi kelompok yang paling rentan. Dalam konteks ini, syariah mendorong adanya kebijakan yang berpihak pada masyarakat kecil, misalnya dengan memberikan akses yang lebih besar kepada nelayan tradisional dan masyarakat pesisir untuk mengelola sumber daya laut secara adil dan berkelanjutan. Ketiga, Al-Kifayah (kecukupan), yaitu bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dalam hal akses terhadap sumber daya alam. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kekayaan alam, termasuk laut, didistribusikan secara adil dan tidak dimonopoli oleh pihak tertentu. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh manusia, hewan atau burung, melainkan ia mendapat sedekah karenanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

 Ini menunjukkan betapa pentingnya berbagi manfaat dari sumber daya alam untuk kepentingan bersama.

Bagaimana implementasi ekonomi biru dalam perspektif syariah? Pertama, Perikanan yang Berkelanjutan.  Dalam pengelolaan perikanan, sistem syariah menekankan pada pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem. Overfishing atau penangkapan ikan secara berlebihan bertentangan dengan prinsip syariah karena merusak keseimbangan alam dan merugikan generasi mendatang. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang ketat terkait penangkapan ikan, termasuk pembatasan kuota, pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak, serta pengawasan yang ketat terhadap praktik illegal fishing. Kedua, Pengembangan Energi Terbarukan dari Laut. Laut memiliki potensi besar untuk pengembangan energi terbarukan, seperti energi angin, ombak, dan arus laut. Dalam Islam, eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana dan tidak merusak. Pengembangan energi terbarukan dari laut merupakan salah satu cara yang sejalan dengan prinsip syariah, karena tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam secara optimal, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan. Ketiga, Pariwisata Bahari yang Beretika. Pariwisata bahari merupakan salah satu sektor yang menjanjikan dalam ekonomi biru. Namun, pengelolaan pariwisata harus sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti menjaga kebersihan, tidak merusak ekosistem laut, dan memastikan bahwa manfaat ekonomi dari pariwisata dinikmati oleh masyarakat lokal. Sistem syariah  juga mendorong adanya pariwisata yang berbasis etika dan keberlanjutan, di mana wisatawan dihimbau untuk menghormati lingkungan dan budaya lokal. Keempat, Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Salah satu tantangan dalam pengembangan ekonomi biru adalah bagaimana memastikan bahwa masyarakat pesisir, yang seringkali menjadi kelompok yang paling rentan, dapat ikut serta dalam menikmati manfaat ekonomi dari sumber daya laut. Dalam hal ini, Islam mendorong adanya program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan. Zakat, wakaf, dan sedekah dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendukung program pemberdayaan masyarakat pesisir ini.

Ekonomi biru menawarkan paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dan konsep ini sangat relevan dengan prinsip-prinsip syariah. Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam, keadilan dalam distribusi sumber daya, dan keberlanjutan untuk generasi mendatang. Dengan potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia, penerapan ekonomi biru dalam perspektif syariah tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan distribusi manfaat yang adil dan kelestarian lingkungan untuk masa depan yang lebih baik. Wallahu a’lam


Sebelumnya :