Kita sering mendengar istilah “Ulul Albab”. Apa artinya, dan siapakah mereka itu? Di antaranya di ayat berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190)
Dalam bahasa Indonesia, Ulul Albab biasa diterjemahkan dengan “orang-orang yang berakal”. Mereka adalah golongan yang dipuji oleh Allah ta’ala karena mengoptimalkan akal sehatnya. Karunia Allah berupa akal membuat mereka istimewa.
Bagaimana cara mereka mengoptimalkan fungsi akal?
Mereka gunakan akal yang masih sejalan dengan fitrah secara maksimal untuk memahami ayat-ayat “kauniyah” (apa yang tergelar di alam semesta). Lalu mereka bawa kepada ayat “tanziliyah” (Al Qur’an). Atau sebaliknya, mereka membaca ayat tanziliyah, lalu dihubungkan dengan ayat-ayat kauniyah.
Tentang akal sehat, ini adalah karunia yang luar biasa dari Allah ta’ala setelah ruh, fitrah, hati, dan jiwa. Akal adalah unsur terpenting kedua dalam diri manusia, untuk menangkap informasi, lalu diformat menjadi ilmu dan perilaku. Manusia, kalau sekedar menggunakan naluri, jadinya akan tidak jauh berbeda dengan binatang.
Akal yang “diinstal” dalam diri manusia sejak lahir itu berfungsi sebagai media untuk menerima, memahami, serta meyakini kebenaran. Al Qur’an yang datang sebagai wahyu ilahi, tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal kecuali oleh orang yang berakal. Dengan akal yang sehat dan fitrah yang bersih, Al Qur’an akan optimal berfungsi sebagai “huda” (petunjuk) serta “nur” (cahaya).
Kedudukan akal sangat tinggi di dalam syariat Islam. Karena itu dalam Al Qur’an selalu diulang-ulang “afalaa ta’qiluun” yang artinya “tidakkah kalian berfikir?”. Tidakkah kalian gunakan akal sehat? Berfikir adalah aktifitas yang lekat dalam kehidupan manusia. Seharusnya seperti itu kita menjadi mu’min.
Soal berfikir, ini yang Allah sebut dalam lanjutan ayat di atas setelah menyebut istimewanya Ulul Albab.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “(Ulul Albab yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191)
Ulul Albab adalah orang yang dekat dengan ayat-ayat “tanziliyah”. Mereka dekat dan lekat dengan Al Qur’an. Mereka selalu memikirkan ayat-ayat kauniyah. Fenomena yang terjadi, bagi mereka menarik untuk didalami. Baik di langit maupun di bumi, makro maupun mikro. Berkaitan dengan ilmu alam maupun ilmu sosial.
Cara-cara seperti itu yang menghantarkan mereka sampai pada keyakinan terhadap kebenaran hakiki. Lalu dengan kesadaran yang tinggi, mereka mengakui dan mensyukuri karunia Allah, serta meminta ampun dan perlindungan dari siksa akhirat.
Ada tiga unsur menonjol yang ada pada Ulul Albab. Pertama, mereka adalah orang-orang yang mudah memahami. Sebetulnya ini juga merupakan ciri umum yang ada pada kebanyakan manusia.
Yang kedua, mereka itu obyektif. Tidak mudah menilai berdasarkan hal-hal yang tidak diketahui, tidak dilihat, atau didengar. Tidak cukup berdasarkan asumsi atau sekedar rumor.
Dan yang ketiga, mereka selalu kritis. Soal berfikir kritis, modal utamanya adalah ilmu. Jadi, harus terus belajar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita bertanya jika tidak tahu. Bertanya adalah bentuk proses berfikir kritis. Selain ini juga merupakan pintu ilmu. Jangan sampai karena ketidak tahuan, lalu salah ambil keputusan. Madharatnya bisa lebih berat.
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu contohnya. Para sahabat Nabi saat itu sedang berada dalam perjalanan. Lalu salah satu di antara mereka ada yang terkena batu dan luka di kepalanya.
Yang sedang terluka ini mengalami mimpi basah, lalu bertanya kepada sahabatnya apakah boleh tayamum? Mereka menjawab tidak ada keringanan selama masih mampu memakai air. Ia pun mandi, lalu meninggal.
Ketika tiba di Madinah, Nabi shalallahu alaihi wasallam diberi kabar tentang hal itu. Nabi bersabda:
ﻗَﺘَﻠُﻮﻩُ ﻗَﺘَﻠَﻬُﻢُ اﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻻَ ﺳَﺄَﻟُﻮا ﺇِﺫْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮا ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺷِﻔَﺎءُ اﻟﻌﻲ اﻟﺴُّﺆَاﻝُ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜْﻔِﻴﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻴَﻤَّﻢَ ﻭَﻳَﻌْﺼِﺮَ – ﺃَﻭْ ﻳَﻌْﺼِﺐَ ﺷَﻚَّ ﻣُﻮﺳَﻰ – َﻋﻠَﻰ ﺟُﺮْﺣِﻪِ ﺧِﺮْﻗَﺔً، ﺛُﻢَّ ﻳَﻤْﺴَﺢَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻳَﻐْﺴِﻞَ ﺳَﺎﺋِﺮَ ﺟَﺴَﺪِﻩِ
“Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah mematikan mereka. Hendaknya mereka bertanya jika tidak tahu. Obatnya kebodohan adalah bertanya. Sebenarnya cukup baginya untuk memberi perban di kepalanya lalu diusap (tayammum) dan organ tubuh lainnya disiram”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
Banyak bertanya sepanjang proporsional, itu baik. Contoh banyak bertanya yang tidak proporsional adalah kasus Bani Israel dalam kejadian “sapi betina”. Pada akhirnya justru memberatkan, padahal sedari awal diktumnya teramat jelas dan simpel.
Perlu dicatat bahwa tidak semua yang berfikir kritis itu, selalu mengungkapkan fikiran kritisnya. Lalu bagaimana caranya jika ingin mengungkapkan fikiran kritis?
Dalam Islam, salah satu bentuk saluran fikiran kritis adalah apa yang disebut dengan “amar ma’ruf nahi munkar”. Yang dikritisi adalah kemungkaran, ketidakadilan, kezhaliman, dsb. Ini adalah amalan utama yang berkedudukan tinggi dalam Islam. Bahkan pada kondisi tertentu bisa dianggap jihad yang paling afdhal.
Amar ma’ruf nahi munkar sebagai produk fikiran kritis, sangat besar manfaatnya bagi sebuah masyarakat. Antara lain yang pertama, masyarakat tersebut akan dinamis. Ada check and balances. Yang kedua, dapat melahirkan stabilitas. Jika ada masalah akan segera dihadapi dan diselesaikan. Yang ketiga, menghindarkan terjadinya bencana umum yang dapat menimpa semua orang (‘adzab). Bencana akan lebih cepat datang jika kezhaliman dibiarkan, sedangkan orang-orang shalehnya tinggal diam.
Hal ini pernah ditanyakan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begini beliau menuturkan:
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jika tampak jelas berbagai kemaksiatan pada ummatku, maka Allah akan menyamaratakan azab dari sisi-Nya kepada mereka semua.’ Kemudian, aku (Ummu Salamah) bertanya: ‘Bukankah ada orang-orang shalih di antara mereka?’ Beliau menjawab: ‘Benar.’ Aku melanjutkan: ‘Apa yang terjadi pada mereka?’ Beliau menjelaskan: ‘Saat itu mereka juga ditimpa bencana seperti halnya yang lain, tetapi mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah.” (HR. Ahmad)
Dengan jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tegaskan disitu. Keberadaan orang shaleh tidak cukup untuk menahan turunnya ‘adzab jika mereka berpangku tangan.
Orang-orang baik itu dapat mencegah turunnya adzab jika ia bergeser dari “baik” menjadi “memperbaiki”. Shalih saja tidak cukup, ia perlu berbuat. Ia perlu berdakwah. Ia harus beramar ma’ruf nahi munkar. Inilah yang disebut “memperbaiki” atau “mushlih”.
Keberadaan para “mushlih” inilah yang Allah sebut dapat mencegah turunnya ‘adzab.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
Artinya: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud: 117)
Berfikir kritis harus dibingkai dalam ilmu. Tidak cukup hanya semangat dan keberanian. Ilmu yang pertama, yang mengingkari kemungkaran harus benar-benar tahu tentang kemunkaran yang ia ingkari. Kedua, ilmu tentang cara melakukan inkarul munkar. Ketiga, harus tahu seperti apa efeknya? Sejauh mana dampaknya? Akan menjadi lebih baik, sama saja, atau malah lebih buruk?
“Inkarul munkar” harus dilakukan “bil ma’ruf”. Mengingkari kemungkaran, caranya harus tetap cara yang baik. Tidak boleh inkarul munkar bil munkar. Tujuan tidak otomatis menghalalkan segala cara. Kritis boleh, tapi tidak boleh anarkis. Jika kemungkinan efeknya lebih buruk, maka tunda dulu. Cari cara yang terbaik, dan tunggu waktu yang tepat.
Sumber : Wahdah
Tags: Al-Qur'an, Berfikir, Ulul Albab, Berakal