UMMATTV, BOGOR--Beredar video terkait dana sertifikasi halal mencapai ratusan triliun rupiah, yang kemudian dikuasai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam hal ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) disebut sebagai penghasil dana sertifikasi halal. Seiring dengan tuduhan tersebut, MUI melalui LPPOM MUI juga dituduh memonopoli sertifikasi halal, uji kompetensi auditor, serta pelatihan auditor dan penyelia halal.
Berikut beberapa penjelasan LPPOM MUI terkait tuduhan tersebut yang disampaikan oleh Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si.
Peran LPPOM MUI, MUI, dan BPJPH
Pada Oktober 2014, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Agar dapat berjalan, maka diperlukan peraturan pelaksana. Di antaranya: Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta Keputusan Menteri Agama Nomor 982 tahun 2019.
Seluruh regulasi tersebut menjelaskan wewenang, tugas, dan kewajiban dari setiap stakeholder. Setidaknya ada tiga stakeholder yang saling terkait dalam industri halal di Indonesia, yaitu Pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). MUI bukan aktor tunggal sertifikasi halal.
Pertama, Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berwenang dalam pendaftaran permohonan sertifikasi halal dan penerbitan sertifikat halal. Selain itu, sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal juga menjadi kewajiban BPJPH.
Kedua, MUI yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi auditor halal, penetapan fatwa kehalalan produk, dan akreditasi LPH. Dalam penetapan fatwa, keputusan halal produk ditetapkan oleh MUI dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Inilah yang menjadi dasar penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH.
Ketiga, LPH adalah lembaga yang berwenang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk. Setiap LPH wajib memiliki auditor halal setidaknya 3 orang, yaitu orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. LPH akan melaporkan hasil pemeriksaannya kepada MUI untuk menjadi salah satu dasar penetapan status hukum suatu produk.
Mengenai tuduhan bahwa MUI meraup keuntungan melalui uji kompetensi auditor tidaklah benar. Pemerintah memberikan mandate sertifikasi profesi auditor halal dalam regulasi Jaminan Produk Halal (JPH). Sejak Mei 2019 sampai November 2021, auditor halal yang lulus uji kompetensi melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) MUI sebanyak 287 auditor. Sebanyak 190 merupakan auditor LPPOM MUI, sedangkan 97 merupakan non-LPPOM MUI. Tentunya, proses uji kompetensi auditor berada di bawah izin Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dengan pengawasan yang ketat.
Adapun tuduhan mengenai tidak lolosnya auditor halal non-LPPOM MUI dikarenakan adanya konflik kepentingan juga tidaklah berdasar. Proses uji kompetensi dikaji oleh komite teknis dan rekamannya juga dikaji berkala oleh BNSP. Setiap auditor yang melakukan uji kompetensi harus menguasai berbagai materi terkait sertifikasi halal. Dalam hal ini, tingginya angka auditor LPPOM MUI yang lulus uji kompetensi semata-mata unggul karena telah menempuh 32 tahun pengalaman sertifikasi halal, baik di skala nasional maupun internasional.
Benarkah MUI Memonopoli Fatwa dan Sertifikasi Halal?
Sebagaimana kita ketahui bahwa MUI merupakan tempat bernaungnya ormas-ormas Islam tempat berhimpunya para Ulama, zuama dan cendekiawan muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainnya hingga Persatuan Umat Islam.
Ketua MUI, Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si., menjelaskan bahwa pemerintah juga tidak memiliki kapasitas untuk memutuskan dan merumuskan suatu hal yang berkaitan dengan substansi ajaran agama. Dalam hal tersebut, pemerintah selama ini bertanya dan percaya kepada MUI.
Di sisi lain, secara fiqih, halal termasuk dalam terminologi agama dan hukum. Penetapan suatu produk halal atau haram, hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten. Dalam sertifikasi halal, kewenangan penetapan hukum kehalalan produk atau fatwa harus diberikan kepada lembaga yang kompeten, yakni Komisi Fatwa MUI.
Fiqih yang digunakan adalah fiqih qadha’i yang bersifat final dan binding serta sudah pada level aturan negara. Kewenangan tidak bisa dibagikan kepada siapa pun. Artinya, hukum ini mengikat dan seharusnya sudah menghapus semua perbedaan. Inilah yang menjadi alasan kuat secara fiqih, mengapa penetapan fatwa harus dilakukan oleh MUI.
Kemudian, terkait dengan monopoli sertifikasi halal, regulasi JPH di Indonesia telah mengatur sedemikian rupa terkait dengan persyaratan berdirinya sebuah LPH. Meski begitu, tetap perlu adanya bukti kelayakan LPH mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan akurat, yakni melalui akreditasi LPH yang juga telah diatur dalam regulasi. Saat ini, baru ada tiga LPH di Indonesia, salah satunya LPPOM MUI. Namun, tidak menutup kemungkinan angka ini akan bertambah di waktu mendatang.
Masih terkait tuduhan monopoli, LPPOM MUI selama ini bersikap terbuka atas hadirnya LPH lain. Hal ini dibuktikan dengan baiknya komunikasi antar-LPH, misalnya dalam program SEHATI yang digaungkan oleh BPJPH. LPPOM MUI juga sering kali memberikan masukan dan saran dalam regulasi JPH dan standar sertifikasi halal, guna terwujudnya standar yang sama dalam proses sertifikasi halal di setiap LPH.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tuduhan MUI memonopoli fatwa dan sertifikasi halal tidaklah benar. Tentunya, setiap tindakan yang diambil MUI maupun LPPOM MUI telah berdasarkan pada ketentuan agama (Islam) dan regulasi di Indonesia.
Sudahkah Ada Transparansi Dana Sertifikasi Halal?
Seperti telah diulas sebelumnya, tugas LPH adalah melaksanakan pemeriksaan, pengkajian dan pengujian kehalalan bahan dalam suatu proses produksi. LPPOM MUI, sebagai salah satu LPH, dalam melakukan tugasnya bersifat independen, tanpa ada intervensi pihak manapun, termasuk MUI.
LPPOM MUI, bukanlah instansi atau lembaga pemerintah, sehingga dalam menjalankan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sama halnya dengan lembaga sertifikasi lain, LPPOM MUI memberlakukan biaya tertentu kepada perusahaan yang mengajukan Ketetapan Halal MUI.
Proses pembiayaan di LPPOM MUI dilakukan dengan sangat transparan, akuntabel dan dapat dipertanggung jawabkan. Baik LPPOM MUI maupun perusahaan sama-sama mengetahui biaya yang dikeluarkan dan disepakati dalam bentuk akad pembayaran sertifikasi halal.
Dalam akad tersebut, biaya penetapan halal oleh MUI meliputi biaya pemeriksaan (termasuk biaya jasa profesional auditor halal tapi tidak termasuk transportasi dan akomodasi audit), penilaian implementasi sistem jaminan halal, penetapan kehalalan, publikasi pada daftar belanja halal MUI, survailen, pelayanan pasca sertifikasi halal, dan biaya pengujian laboratorium (jika diperlukan). Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Halal Online LPPOM MUI (CEROL-SS23000).
Sementara itu, untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik. Penilaian laporan keuangan LPPOM MUI pun terus memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Bagaimana Kesanggupan LPPOM MUI Lakukan Sertifikasi Halal?
Sebelumnya, beredar isu bahwa MUI melalui LPPOM MUI mampu melakukan sertifikasi halal ke sebanyak 150 juta produk di Indonesia per tahun. Jika setiap produknya dihargai satu juta rupiah, maka dalam satu tahun MUI dapat meraup keuntungan sebesar 150 juta triliun. Benarkah demikian?
Pertama-tama, tuduhan bahwa penetapan biaya sertifikasi halal hanya berdasarkan jumlah produk adalah keliru. Jumlah produk bukan menjadi faktor utama penentuan biaya sertifikasi halal. Perlu diketahui, satu ketetapan halal dapat memuat lebih dari satu produk atau varian.
Berdasarkan data LPPOM MUI, sejak tahun 2015 hingga November 2021, perusahaan yang sudah melakukan sertifikasi halal sejumlah 18.734 perusahaan, dengan sertifikat halal sejumlah 43.665 sertifikat, dan produk halal sejumlah 1.288.555 produk. Sementara itu, berdasarkan data dari website resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produk yang telah mendapatkan izin edar sejak 2016 sejumlah 397.183 produk.
Baik dari data LPPOM MUI maupun BPOM, angka tersebut masih sangat jauh dari tuduhan. Dengan kata lain, tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan keabsahannya. LPPOM MUI berusaha menjalankan perannya sebagai LPH sebaik mungkin. Hal ini dibuktikan dengan kepatuhannya terhadap regulasi, transparansi biaya akad sertifikasi halal ke pelaku usaha, dan seluruh pelayanan yang diberikan untuk memudahkan pelaku usaha dalam proses sertifikasi halal.
Kantongi ISO 9001:2015, Bukti MUI Akuntabel dan Transparan
Per tanggal 7 Desember 2021, MUI resmi mendapatkan Sertifikat ISO 9001: 2015 dari pihak yang independen. Dengan adanya sertifikat manajemen mutu ini, MUI dan organisasi dibawahnya menjadi lembaga keagamaan yang mempunyai kinerja, tata kerja, sistem organisasi, yang tidak hanya dinilai nasional tetapi juga mendapat pengakuan lembaga internasional.
Di samping itu, LPPOM MUI, sebagai LPH juga telah mendapatkan akreditasi SNI ISO/IEC 17065:2012 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN), serta telah diakui oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri, Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA) pada standar UAE 2055:2-2016.
Dengan adanya sertifikasi pihak ke-3, ada pengawasan independent berupa audit dan surveillance untuk memeriksa kualitas mutu layanan, transparansi keuangan dan sifat layanan yang bebas dari konflik kepentingan. Secara berkala, Lembaga sertifikasi pihak ke-3 ini juga melakukan audit tidak terjadwal untuk memastikan layanan yang memenuhi tata organisasi lembaga professional dengan standar yang diakui secara global. Masyarakat juga terlibat mengawasi jalannya sistem jaminan mutu ini dengan survey kepuasan pelanggan dan keterlibatan dalam komite ketidakberpihakan. Semua fakta ini menunjukkan kualitas dan mutu MUI maupun LPPOM MUI sebagai lembaga yang independent, profesional, akuntabel, dan transparan, khususnya terkait layanan sertifikasi halal.*
Sumber: Halalmui.org