#Sini Duduk Samping Aku : MINDSET dan PERILAKU ECERAN Bin SACHETAN

#Sini Duduk Samping Aku : MINDSET dan PERILAKU ECERAN Bin SACHETAN

Sekilas, membeli sachetan dianggap sebagai solusi praktis dan hemat. Namun, jika ditinjau lebih dalam, kebiasaan ini sebenarnya menyimpan berbagai kerugian, baik dari sisi ekonomi,..

Dalam kehidupan sehari-hari, praktik membeli barang secara eceran atau dalam kemasan sachet sudah menjadi kebiasaan umum, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Barang-barang seperti sampo, sabun cuci piring, deterjen, kopi, hingga kebutuhan dapur lainnya kerap dijual dalam ukuran kecil atau eceran dengan harga yang tampak lebih terjangkau. Sekilas, membeli sachetan dianggap sebagai solusi praktis dan hemat. Namun, jika ditinjau lebih dalam, kebiasaan ini sebenarnya menyimpan berbagai kerugian, baik dari sisi ekonomi, lingkungan, maupun dari sudut pandang syariat Islam.


1. Ilusi Hemat: Mahal dalam Jangka Panjang

Salah satu alasan utama masyarakat memilih membeli sachetan adalah karena keterbatasan dana. Mereka berpikir bahwa membeli dalam ukuran kecil bisa menyesuaikan dengan pengeluaran harian yang terbatas. Namun, jika dihitung dalam jangka panjang, harga satuan dari barang sachetan justru jauh lebih mahal dibandingkan jika membeli dalam jumlah besar.

Sebagai contoh, satu sachet sampo 7 ml dijual seharga Rp1.000. Sementara itu, satu botol sampo 170 ml bisa dibeli dengan harga Rp15.000. Jika dihitung, harga per ml dari sachet adalah sekitar Rp143, sedangkan botol besar hanya sekitar Rp88 per ml. Artinya, membeli sachet hampir dua kali lipat lebih mahal per mililiter-nya. Kebiasaan ini menjadi beban ekonomi yang tidak disadari oleh masyarakat kecil, yang justru paling membutuhkan efisiensi dalam pengeluaran.

2. Lingkungan dan Limbah Plastik

Kemasan sachet biasanya terbuat dari plastik multilapis yang sulit didaur ulang. Karena ukurannya kecil dan tipis, sachet seringkali terbuang sembarangan dan mencemari lingkungan. Limbah dari kemasan-kemasan ini bisa bertahan puluhan hingga ratusan tahun di tanah atau laut, mencemari ekosistem dan membahayakan makhluk hidup.

Sebagai umat Islam yang diajarkan untuk menjaga kebersihan dan tidak merusak lingkungan, konsumsi produk sachet secara berlebihan bertentangan dengan nilai-nilai Islam tentang maslahah (kebaikan umum) dan tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Setiap Muslim dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pilihannya, termasuk pilihan dalam konsumsi.

3. Membudayakan Konsumsi Instan dan Tidak Produktif

Membeli secara eceran juga memperkuat budaya konsumsi instan dan tidak mendidik masyarakat untuk perencanaan keuangan jangka panjang. Budaya "harian" atau "tunggang langgang" dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga akan memperparah ketidakstabilan finansial. Padahal, Islam mengajarkan pentingnya tadbir (perencanaan) dan iqtisad (hidup sederhana dan seimbang).

Ketika seseorang hanya membeli sekadar untuk hari ini, tanpa memikirkan esok, itu bisa menjadi indikator kurangnya kesadaran terhadap perencanaan hidup. Dalam Islam, Rasulullah SAW mencontohkan hidup hemat, namun tetap memperhatikan masa depan. Membeli dalam jumlah besar dan disimpan dengan baik bisa menjadi bentuk tadbirul ma’isyah (manajemen nafkah) yang lebih islami.

4. Kebiasaan Ini Menguntungkan Korporasi Besar, Bukan Umat

Fenomena sachet seringkali dimanfaatkan oleh perusahaan besar untuk menguasai pasar masyarakat kecil. Mereka tahu bahwa konsumen dengan daya beli rendah tetap akan membeli jika diberi kemasan kecil, meski mahal. Maka, mereka memproduksi sachet dalam jumlah besar, mendapatkan keuntungan tinggi dari margin harga satuan yang besar.

Ironisnya, masyarakat kecil sebagai target utama dari produk sachet justru terjebak dalam siklus konsumerisme yang menguntungkan korporasi. Dalam jangka panjang, mereka tidak pernah bisa menabung atau mengakumulasi kekayaan karena pengeluaran mereka bocor secara perlahan tapi pasti. Ini bertolak belakang dengan prinsip ta’awun (saling tolong-menolong) dalam Islam, yang seharusnya menumbuhkan kemandirian ekonomi umat, bukan memperkuat dominasi ekonomi korporat.

5. Solusi Islami: Kolektif, Hemat, dan Bijak

Islam mendorong umatnya untuk bersikap bijak dalam pengeluaran (iqtisad), menjauhi pemborosan (israf), dan tidak hidup dalam kemiskinan terus-menerus karena kelalaian dalam perencanaan. Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah pembelian kolektif atau berbasis komunitas. Misalnya, beberapa keluarga di lingkungan yang sama bisa patungan membeli kebutuhan rumah tangga dalam jumlah besar, lalu membaginya secara proporsional. Hal ini lebih hemat dan ramah lingkungan.

Selain itu, edukasi mengenai literasi keuangan juga penting. Umat Muslim perlu diajarkan untuk mencicil pembelian besar, menyisihkan sebagian penghasilan untuk kebutuhan primer jangka panjang, dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebiasaan ini akan membantu keluar dari pola konsumsi instan dan menumbuhkan peradaban yang mandiri secara ekonomi.

Sebelumnya :