Oleh : Arief Riyanto, S.Pd. (Founder parentspedia.od)
Memaafkan adalah salah satu bentuk kebesaran hati yang tidak hanya memberikan ketenangan bagi diri sendiri tetapi juga mempererat hubungan sosial.
Dalam kehidupan, setiap individu pasti mengalami luka batin akibat kesalahan orang lain, baik disengaja maupun tidak. Namun, pilihan untuk memaafkan atau menyimpan dendam ada di tangan kita.
Memaafkan bukan berarti melupakan, melainkan melepaskan beban yang bisa menghalangi kebahagiaan. Memaafkan menjadi kunci yang akan membuka kedamaian, bukan hanya bagi orang yang kita maafkan, tetapi utamanya bagi diri kita sendiri.
Jika kita merasa bahwa hidup kita paling berat, paling sakit dan sulit untuk memaafkan, coba kita tengok perjalanan hidup teladan terbaik sepanjang masa. Ya, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.
Sebagai seorang nabi, hidup beliau tidaklah mudah, dan mungkin kita mengetahui itu. Lika-liku kehidupannya yang sangat luar biasa berat tentunya juga sangat menyesakkan dada, namun beliau menjadi teladan terbaik dalam hal memaafkan.
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah ketika beliau menaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah). Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memiliki kekuatan penuh untuk membalas semua perlakuan buruk yang pernah dilakukan oleh kaum Quraisy terhadapnya dan para pengikutnya.
Namun, dengan penuh kasih sayang, beliau justru memberikan amnesti umum dan berkata kepada orang-orang Quraisy,
"Hari ini aku katakan kepada kalian ebagaimana Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya (dalam surat Yusuf ayat 92): 'Tidak ada cercaan terhadap kamu, semoga Allah mengampuni kamu, Dia Maha Penyayang di antara para penyayang". (HR. Baihaqi)
Kisah lain dari kelapangan hati Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam memaafkan Zainab binti al-Harits, seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuninya dengan daging beracun. Alih-alih membalas dendam, Rasulullah memilih untuk memaafkannya.
Begitu pula ketika beberapa penduduk Thaif melempari beliau dengan batu hingga terluka karena menolak kehadiran Rasulullah, malaikat Jibril menawarkan bantuan untuk membalas mereka, tetapi Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam justru menolak dan berdoa agar suatu hari penduduk Thaif mendapat hidayah.
Kita tahu bahwa memaafkan manfaatnya begitu besar, namun memaafkan bukanlah hal yang mudah. Penghalang terbesarnya, yakni ego dan trauma mendalam yang dirasakan.
Tiga puluh hari yang mulia telah kita lalui. Bulan Ramadhan telah menempa untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Fisik kita dilatih dengan puasa dan psikis kita dilatih dengan rasa sabar serta malam harinya yang menjadi waktu terbaik bagi kita untuk konseling kepada Allah melalui doa-doa tulus yang dipanjatkan.
Saat hari kemenangan tiba, saat itulah kita sudah menjadi versi terbaik kita. Sehingga momen silaturahmi menjadi waktu yang tepat untuk menjemput kebahagiaan dengan memaafkan.
Saat maaf terucap, dunia terasa lebih ringan. Bukan hanya luka yang sembuh, tetapi cinta, persahabatan, dan kebahagiaan pun kembali menetap. Memaafkan adalah pilihan yang bisa kita ambil kapan saja. Maka, mengapa harus menunda kebahagiaan?
Jadi, sudahkah kita memberi maaf hari ini?