Tulisan ini dimaksudkan untuk menceritakan keteladanan H. Agus Salim. H Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Seorang diplomat ulung dan disegani, namun sangat sederhana dan sangat terbatas dari sisi materi.
Oleh : Zulfikri (Pembina Rumah Baca TerasSharing)
Pimpinan itu menderita. Kalau kata pepatah Belanda kuno, "Leiden is lijden!". Diartikan secara bebas, memimpin adalah menderita. Pepatah kuno Belanda itu dikutip oleh Mohammad Roem (Diplomat, Wakil Perdana Menteri, dan Menlu Indonesia yang dikenal luas melalui Perjanjian Roem-Roijen) dalam tulisannya yang berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita".
Tulisan itu dimaksudkan untuk menceritakan keteladanan H. Agus Salim. H Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Seorang diplomat ulung dan disegani, namun sangat sederhana dan sangat terbatas dari sisi materi. Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah sacrificing, bukan demanding. Memimpin adalah berkorban, bukan menuntut.
Di Muhammadiyah, kita sering mendengar lagu lama yang terus diputar tentang kesederhanaan. Keteladanan tokoh terbesar yang sering diceritakan adalah KH. Abdul Rozak (A.R) Fachruddin atau yang lebih akrab disapa Pak AR, pemimpin PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968-1990).
Sosok teladan yang lahir di Pakualaman, Yogyakarta pada 14 Februari 1916 dari pasangan K.H. Fachruddin dan Maimunah binti K.H. Idris Pakualaman itu benar-benar mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk memajukan umat Islam melalui organisasi Muhammadiyah.
Di Muhammadiyah, Pak A.R bekerja dari bawah. Ia pernah menjadi guru di sepuluh lebih sekolah Muhammadiyah, menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah, ketua ranting, ketua cabang, ketua wilayah, hingga akhirnya menjadi Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pak A.R tercatat sebagai pemimpin PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968-1990).
Saking terlalu sederhananya, selama hidupnya, Pak AR nyaris tak punya harta yang layak diwariskan. Motor Yamaha butut produksi tahun 1970-an yang sering dikendarainya setelah beliau menjadi Ketua PP Muhammadiyah, merupakan pemberian pengusaha batik bernama Prawiro Yuwono yang tidak tega melihat orang penting di Muhammadiyah itu berdakwah ke berbagai daerah hanya menggunakan sepeda.
Tak sedikit orang yang membujuk Pak AR untuk menerima hadiah mobil. Beliau tetap enggan menerima. Awal dekade 1980-an, perwakilan PT Astra datang menawarkan mobil Toyota Corolla DX keluaran terbaru secara cuma-cuma. Namun, Pak A.R lagi-lagi menolak. Alasannya sederhana saja, ia tidak bisa menyetir dan ogah direpotkan dengan urusan perawatan.
Pak A.R bahkan sempat berjualan bensin eceran di depan rumah yang dipinjami Muhammadiyah demi menambah biaya anaknya yang kuliah. Setiap berceramah, ia selalu menolak dikasih uang. Kalau pun terpaksa harus menerima, uang itu sepenuhnya akan dibagikan ke para pegawai Muhammadiyah yang belum sejahtera.
Hingga akhir hayat, Pak A.R tidak pernah memiliki rumah sendiri. Pak A.R pernah coba membeli rumah tetapi uang muka dan cicilan yang telah dibayarkan malah dibawa kabur pengembang. Tempat tinggal Pak A.R di Jl. Cik Ditiro 19A, Yogyakarta itu bukanlah rumah pribadinya, melainkan rumah pinjaman dari Muhammadiyah. Setelah Pak A.R meninggal, rumah itu diberikan kembali oleh keluarga Pak AR kepada Muhammadiyah, organisasi “pemilik lembaga pendidikan terbanyak" di dunia itu.
Meskipun hidup sangat sederhana, pergaulan dan pengaruh Pak A.R sangat luas. Pak Harto sebagai Presiden Republik Indonesia yang "sangat ditakuti" saat itu pun menghormati Pak A.R. Beliau mungkin termasuk orang Muhamadiyah yang paling dekat dengan Pak Harto. Saking dekatnya, bantuan-bantuan dari kantong pribadi Pak Harto kepada Muhamadiyah terlalu banyak untuk disebutkan. Berdirinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) hanya salah satu contoh saja.
"Pak Harto, Muhammadiyah bade bangun universitas, menawi kerso monggo," kata Syaifuddin Simon, mantan jurnalis Republika menirukan ucapan Pak A.R mengenai isi surat yang dikirim ke Pak Harto, kepada Tirto medio 2017 silam.
Saat Pak A.R wafat pada hari Jumat, 17 Maret 1995, di Rumah Sakit Islam Jakarta, ribuan pelayat menghadiri Masjid Istiqlal Jakarta untuk menyolatkan. Presiden Soeharto bahkan memesan khusus sebuah pesawat Hercules untuk membawa jenazah Pak A.R ke Yogyakarta. Di Masjid Besar Kauman Keraton Yogyakarta ribuan umat Islam juga sudah berkumpul. Meluber ke sisi barat alun-alun depan keraton untuk menyolatkan dan mengiringi jenazah beliau hingga dimakamkan.
Amien Rais dalam sambutan atas nama keluarga dan Muhammadiyah mengatakan Pak A.R pergi meninggalkan tiga warisan: kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan.
Buah "menderita" selama memimpin Muhammadiyah itu barangkali saat ini telah beliau nikmati dengan terangnya kubur beliau. Kendaraan mewah dan rumah megah beliau telah menunggu di Jannah.
Menjelang Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 yang akan diselenggarakan di Solo pada 18-20 November 2022 nanti, cerita keteladanan Pak A.R ini semoga tak sekedar menjadi lagu lama yang terus diputar pemanis telinga dan penghangat suasana. Tapi semoga cerita Pak A.R dapat diteladani oleh para Muktamirin dan seluruh anggota Perserikatan. Semoga lahir semakin banyak Pemimpin Muhammadiyah yang lebih baik dari Pak A.R. Amin
Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid0w6z2iVNgQHcJbSSm2mRpqBv4sAxPNXjdhpCA4XMTk8dNysXxvXur6ysuWzbCfyvvl&id=1333596993
Tags: Muhammadiyah, AR Facruddin, Hidup Sederhana