“Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin-pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Saya percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.”( Muhammad Natsir)
“Dalam pangkuan al-Quran, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan tapi tidak pula identik (sama)… Tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran-ajaran Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan yang tak akan kunjung kering, bahwa di atas tanah dan dalam iklim Islamlah, Pancasila akan hidup subur.” (Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional)
Pada bulan Mei 1954, saat peringatan Nuzulul Quran, Ramadhan 1373, Mohammad Natsir – seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia — menyampaikan sebuah makalah dengan judul “Apakah Pancasila Bertentangan dengan Ajaran Al-Quran?”
Natsir menulis: “Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin-pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Saya percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.”
Ringkasnya, tulis Natsir, “Bagaimana mungkin, Quran yang memancarkan tauhid, akan terdapat a priori bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa?” Natsir juga menegaskan, bahwa Pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita usahakan terlaksananya di dalam negara dan bangsa Indonesia. Karena itu, Mohammad Natsir menyesalkan adanya dikotomisasi antara al-Quran dan Pancasila; seolah-olah antara tujuan Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata tak “kenal damai” dan tidak dapat disesuaikan.
Selanjutnya Mohammad Natsir menulis: “Dalam pangkuan al-Quran, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan tapi tidak pula identik (sama)… Tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran-ajaran Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan yang tak akan kunjung kering, bahwa di atas tanah dan dalam iklim Islamlah, Pancasila akan hidup subur.”
Menurut Mohammad Natsir – pelopor Mosi Integral yang menyatukan kembali NKRI — Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sekedar buah bibir, sebagaimana anggapan orang-orang yang jiwanya sebenarnya skeptis dan penuh ironi terhadap agama.
“Bagi orang ini dalam ayunan langkahnya yang pertama ini saja Pancasila itu sudah lumpuh. Apabila sila pertama ini, yang hakikatnya urat-tunggal bagi sila-sila berikutnya, sudah tumbang, maka seluruhnya akan hampa, amorph, tidak mempunyai bentuk yang tentu. Yang tinggal adalah kerangka Pancasila yang mudah sekali dipergunakan untuk penutup tiap-tiap langkah perbuatan yang tanpa sila, tidak berkesusilaan sama sekali,” kata Natsir. (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957), hlm. 148-149).
Sejalan degan itu, Ketua MUI Pertama, Buya Hamka – dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum MUI pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976 — menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Hamka mengkritik orang yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam UUD ’45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri, lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia.
Hamka menegaskan: “Tafsir-tafsir yang berbagai ragam itu kadang-kadang dengan tidak disadari telah menyinggung perasaan orang yang beragama, seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidaklah boleh dicampur-aduk dengan Tuhan Kenegaraan. Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam Preambule UUD’45 itu telah dituliskan dengan jelas: “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.”
Islam dan Pancasila
Prof. Kasman Singodimedjo, salah satu tokoh penting dalam perumusan Pembukaan UUD 1945, 18 Agustus 1945, menegaskan bahwa: “Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah, Allahu Ahad, Allahus Somad, Allah yang Tunggal, dan dari Allah yang Esa itulah sesuatunya di alam semesta ini, dan siapa pun juga bergantung dan tergantung. Dan itulah Allah yang tidak beranak (Lam Yalid) dan Yang tidak diperanakkan (Wa Lam Yulad), pula tidak ada di alam semesta ini siapa pun dan apa pun yang sama atau mirip-mirip dengan Yang Maha Esa (Allah) itu (Wa Lam Yakun Lahu Kufuan Ahad). (Lihat buku: Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun). ,
Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman mengajak umat Islam untuk menerima Pancasila. Tapi, tulisnya, “Bahwa umat Islam disamping itu masih punya anggapan bahwa Islam itu adalah lebih sempurna dari Pancasila, hal itu tentunya tidak akan, dan tidak seharusnya dianggap salah oleh siapa pun.”
Bahkan, menurut Kasman, umat Islam keliru jika menganggap Pancasila lebih tinggi dari Islam. Sebab, Islam itu didekritkan langsung oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. (QS 3:19). Bahwa ternyata Pancasila dan bukan Islam yang dijadikan sebagai dasar negara, Kasman mengakui, hal itu sebagai ujian dari Allah, dan agar umat Islam berusaha mengubah dirinya sendiri, agar menuju kondisi yang lebih baik. “Saya telah merenungkan bertahun-tahun mengenai hal ini,” kata Kasman, mengutip al-Quran surat ar-Ra’d ayat 11.
Tentang Islam dan Pancasila, Kasman merumuskan dengan ungkapannya, “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.” (*) (Depok, 13 Februari 2020).
Sumber : Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.net)
Tags: Muhammad Natsir, Alqur'an, Pancasila