Oleh: Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr
Auditor Halal Senior LPPOM MUI dan Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University
Saat ini, vaksin corona virus disease 2019 (COVID-19) tengah menjadi pusat perhatian masyarakat. Dalam hal ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mendapat peran mengawal kehalalan vaksin untuk masyarakat Indonesia.
Pemeriksaan kehalalan produk, termasuk vaksin, dimulai dari hulu hingga hilir. Artinya, dari mulai bahan baku, proses pembuatan, pengemasan, hingga vaksin sampai ditangan konsumen. Sebelumnya, LPPOM MUI sudah berpengalaman dalam mensertifikasi kehalalan beberapa vaksin, seperti vaksin influenza dan vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG).
Vaksin adalah senyawa yang sengaja dibuat untuk merangsang pembentukan senyawa antibodi (anti-penyakit) agar tubuh memiliki kekebalan terhadap penyakit atau mengurangi pengaruh infeksi dari penyakit-penyakit tertentu. Walaupun vaksin dianggap paling efektif melawan dan memusnahkan penyakit infeksi, setiap jenis vaksin tetap memiliki efektivitas yang terbatas.
Seringkali vaksinasi pada seseorang mengalami kegagalan karena sistem kekebalan tubuh tidak memberikan respons yang diinginkan atau bahkan tidak merespons sama sekali terhadap antigen yang diberikan oleh vaksin. Hal ini dapat terjadi karena faktor-faktor klinis, seperti diabetes, penggunaan steroid, infeksi HIV, atau usia. Faktor genetik juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhinya. Yakni, jika sistem kekebalan seseorang tidak memiliki galur sel B yang dapat menghasilkan antibodi dan bereaksi efektif dalam mengikat antigen dari patogen.
Di Manakah Titik Kritis Kehalalan Vaksin?
Kehalalan suatu produk umumnya diketahui dari status kehalalan bahan baku yang digunakan, dan proses pembuatan, dan fasilitas produksinya. Pada proses pembuatan vaksin yang menggunakan kultur jaringan, rekombinan atau yang memerlukan perbanyakan bakteri atau virus, tentu perlu dianalisis bahan media yang digunakan. Beberapa jenis vaksin yang beredar dapat diketahui bahan baku dan proses pembuatannya, sehingga dapat dianalisis titik kritisnya.
Jenis-jenis vaksin yang beredar di dunia digolongkan sesuai dengan jenis antigen yang ada didalamnya, sehingga formulasi vaksin akan memengaruhi cara pemakaian, cara penyimpanan, dan cara pemberiannya. Selain itu, vaksin berguna untuk mencegah penyakit menular, seperti polio, measles, hepatitis B; menekan atau mengurangi kemampuan patogen untuk menyebar (herd immunity); serta melindungi individu yang tidak dapat divaksinasi.
Dirangkum dari berbagai sumber, diketahui bahwa jenis vaksin dapat dibedakan antara monovalen atau polivalen, dan kombinasi. Vaksin monovalen berisi satu jenis strain atau antigen, contohnya vaksin campak. Vaksin polivalen berisi dua atau lebih strain /serotipe dari antigen yang sama, contohnya oral polio vaksin (OPV). Sementara pada vaksin kombinasi, sebagian antigen yang dikombinasikan menjadi satu sediaan suntikan untuk mencegah beberapa jenis penyakit yang berbeda.
Contohnya vaksin DPT yang berisi tiga jenis antigen, yaitu difteri, pertussis, dan tetanus. Penggabungan beberapa jenis antigen sangat bermanfaat untuk mengatasi masalah logistik apabila vaksin dikemas dalam satu kemasan satu jenis antigen saja. Selain itu, hal ini juga menjadi solusi untuk mengatasi ketakutan anak-anak akan rasa sakit akibat suntikan yang berulang-ulang.
Secara umum, bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan suatu vaksin adalah antigen, stabilizer, ajuvan, antibiotik, dan pengawet. Untuk mengetahui titik kritis kehalalan suatu produk dapat dicermati dari status kehalalan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan pembantu yang digunakan.
1. Antigen yang merangsang terbentuknya imunitas adalah komponen yang dihasilkan dari struktur organisme penyebab penyakit yang dikenal sebagai “benda asing” oleh sistem kekebalan tubuh manusia.
2. Penambahan bahan penstabil (stabilizer) ditujukan untuk menjamin stabilitas vaksin selama penyimpanan dalam sistem rantai dingin yang tidak stabil. Stabilitas vaksin terutama sangat dipengaruhi oleh suhu, dan pH. Bahan penstabil yang banyak digunakan dalam pembuatan vaksin adalah MgCl2, MgSO4, laktosa-sorbitol, dan sorbitol – gelatin.
3. Penambahan ajuvan kedalam formulasi vaksin konvensional bertujuan untuk merangsang, meningkatkan dan memperpanjang respon kekebalan spesifik terhadap antigen vaksin. Pada vaksin yang baru yang dibuat melalui purifikasi subunit atau vaksin sintetik yang dibuat menggunakan biosintetik, rekombinan, dan teknologi modern akan mengandung antigen dalam jumlah sedikit, sehingga sangat penting digunakan ajuvan agar diperoleh respons kekebalan yang diinginkan.
Dengan kata lain, ajuvan adalah kelompok senyawa yang heterogen dengan hanya satu persamaan, yaitu kemampuannya untuk merangsang respon kekebalan. Ajuvan sengaja ditambahkan kedalam vaksin untuk merangsang pembentukan antibodi terhadap antigen dalam vaksin secara lebih efektif. Contoh ajuvan yang dapat digunakan diantaranya garam aluminium, kalium klorida, monobasic kalium fosfat, dan natrium klorida. Meski begitu, walaupun saat ini sedang diteliti jenis-jenis ajuvan dalam teknologi vaksin.
4. Penggunaan antibiotik (dalam jumlah sedikit) pada pembuatan vaksin bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada kultur sel virus yang sedang dikembangbiakkan. Hal ini ditunjukkan dengan kadar antibiotika yang terdeteksi dalam vaksin sangat rendah, misalnya pada vaksin MMR dan IPV, hanya ada 25 µgr neomycin untuk setiap dosis vaksin (< 0, 000025 gr). Oleh karena itu seseorang yang alergi terhadap neomycin harus dipantau secara ketat agar timbulnya reaksi alergi setelah vaksinasi dapat ditangani dengan cepat.
5. Penambahan bahan pengawet pada vaksin bertujuan untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur dengan kemasan multidosis. Beberapa jenis bahan pengawet yang umumnyadigunakan dengan kemasan multidosis antara lain thiomersal, formaldehid dan derivat fenol.
Thiomersal adalah senyawa kimia yang berisi ethyl mercury, walaupun sampai saat ini belum belum pernah ada yang melaporkan efek samping pada dosis yang dipakai dalam program imunisasi. Formaldehid dipakai untuk inaktivasi virus (contoh IPV) dan untuk mendetoksifikasi toksin bakteri pada pembuatan vaksin difteri dan tetanus dengan jumlah sangat rendah, sehingga tidak merugikan kesehatan manusia. Setelah itu, proses purifikasi dilakukan untuk menghilangkan semua formaldehid dalam vaksin. Cara yang dipilih pada proses purifikasi perlu mendapatkan perhatian juga, terkait bahannya.
Contoh: Inactivated Vaccine (Killed Vaccine)
Virus dibiakkan dengan tissue culture (cell line atau vero cell yang berasal dari ginjal kera). Pemecahan virus dilakukan dengan tripsinasi menggunakan enzim tripsin, dan inaktivasi virus menggunakan beta propiolakton yang bertujuan menginaktifkan RNA. Kemudian dilakukan purifikasi menggunakan kromatografi kolom dengan fase diam silika atau sukrosa gradien, sehingga didapatkan whole virus (sebagai bahan aktif pembuatan vaksin). Bahan aktif dilarutkan dalam laurat dapar fosfat atau larutan dapar saline. Kemudian, ajuvan ditambahkan untuk menguatkan respons imun (disebut imunogenik, dan umumnya digunakan aluminium hidroksida). Tahap akhir adalah dispensing (bottling) dan pengemasan.
Dari proses di atas, kita dapat metentukan titik kritis kehalalan produk yang dihasilkan. Pertama, pada proses pembiakan virus dengan teknik kultur jaringan harus dipastikan status kehalalan bahan-bahan yang digunakan. Kedua, pemecahan sel virus dengan enzim tripsin juga harus dipastikan berasal dari bahan baku dan proses yang halal. Ketiga, proses inaktivasi virus menggunakan beta propiolakton, bahan ini juga harus dipastikan status kehalalannya. Terakhir pada proses purifikasi harus dipastikan menggunakan teknik yang tepat. Tidak ada masalah apabila menggunakan silika, namun lain halnya ketika menggunakan gradien sukrosa.
Contoh: Vaccine Recombinant (RNA)
MRNA
Vaksin rekombinan RNA terdiri dari informasi genetik aktual dari virus dalam bentuk messenger RNA, atau mRNA, sejenis molekul yang tugasnya mengangkut salinan instruksi genetik di sekitar sel untuk memandu perakitan protein. Bayangkan sebuah mRNA sebagai pita ticker panjang yang memuat instruksi. Ini adalah bahan yang cukup sensitif, dan itulah mengapa vaksin harus disimpan pada suhu sekitar -100°F (-73°C) sampai digunakan.
Vaksin yang diberikan sebagai suntikan di otot lengan ini berisi urutan RNA yang diambil dari virus itu sendiri, sehingga menyebabkan sel-sel memproduksi protein "lonjakan" besar dari virus. Dengan sendirinya, tanpa virus lainnya, lonjakan tersebut tidak berbahaya, tetapi tubuh akan tetap bereaksi. Inilah yang membuat tubuh kebal dan siap untuk mengusir virus yang sebenarnya.
Lipid
Vaksin ini menggunakan nanopartikel lipid untuk membungkus RNA. Nanopartikel adalah bola berminyak kecil yang melindungi mRNA dan membantunya meluncur di dalam sel. Partikel-partikel ini mungkin berukuran sekitar 100 nanometer.
Ada empat lipid berbeda dalam "rasio yang ditentukan". Lipid ALC-0315 adalah bahan utama dalam formulasi. Itu karena ia dapat terionisasi (dapat diberi muatan positif), dan karena RNA memiliki muatan negatif, mereka saling menempel. Ini juga merupakan komponen yang dapat menyebabkan efek samping atau reaksi alergi.
Lipid lainnya adalah molekul kolesterol yang sudah dikenal, adalah “pembantu” yang memberikan integritas struktural pada nanopartikel atau menghentikan penggumpalannya. Selama pembuatan, RNA dan lipid diaduk menjadi campuran berbuih untuk membentuk apa yang digambarkan FDA sebagai cairan beku "putih ke putih".
Garam
Umumnya, vaksin rekombinan RNA mengandung phosphate buffer saline (PBS). Bahan ini sangat umum digunakan untuk menjaga pH atau keasaman, agar vaksin mendekati pH tubuh seseorang. Zat dengan keasaman yang salah dapat melukai sel atau cepat rusak.
Gula
Vaksin termasuk gula tua biasa, juga disebut sukrosa. Ini bertindak sebagai krioprotektan untuk melindungi nanopartikel saat membeku dan menghentikannya agar tidak saling menempel. (*)
Sumber:
- www.who.int
- www-prevention-com.cdn.ampproject.org
Halalmui.org