Pada krisis keuangan global (1998) negara-negara pusat ekonomi syariah seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah tidak begitu banyak memiliki konektivitas produk keuangan dengan Amerika serikat, sehingga efek krisisnya lebih rendah.
Oleh:
Basrowi*
DISADARI bersama bahwa wabah Corona tidak hanya mengancam jiwa manusia tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi dan bisnis tidak terkecuali ekonomi syariah. Implikasinya menjalar ke seluruh sendi ekonomi syariah lainnya yang semakin hari semakin memperparah kerusakan jaringan rantai pasok.
Ancaman itu ditandai, pertama, turunnya permintaan terhadap seluruh produk bisnis syariah. Tingkat okupasi hotel syariah dan paket perjalanan wisata syariah, termasuk biro perjalanan umroh, seluruhnya mengalai kerugian yang sangat besar.
Aktivitas konsumsi masyarakat muslim mengalami penurunan pada semua produk non-bahan pokok, termasuk makanan dan minuman halal, kosmetika halal, dan fesyen muslim.
Kedua, biaya produksi semua produk halal menjadi naik seiring dengan terganggunya rantai pasok bahan baku dan barang modal yang digunakan untuk memproduksi produk halal. Kenaikan biaya juga dipicu oleh kendala transportasi dan perubahan sistem kerja Sumber Daya Insani (SDI).
Ketiga, terhambatnya penanaman modal pada bisnis-bisnis syariah. Pertumbuhan asset bank syariah juga mengalami penurunan. Termasuk pengembangan kawasan industri halal di berbagai daerah menjadi terhambat.
Keempat, adanya peningkatan resiko pada lembaga ekonomi syariah, baik bank umum syariah, perusahaan pembiayaan syarian dan lembaga keuangan non bank mikro syariah. Selain itu ada juga masalah keuangan operasional, resiko pasar, dan resiko likuiditas.
Banyaknya bisnis syariah yang tidak beroperasi menyebabkan terjadinya gagal bayar pada bank syariah. Seluruh investor pasar modal terbang ke asset yang lebih aman (flight to safety).
Tingkat Keparahan Krisis
Sayangnya, pada saat krisis karena pandemi (2020), sistem kesehatan publik negara-negara episentrum ekonomi syariah belum mempunyai sistem kesehatan publik yang kuat, sehingga dampak krisis kesehatan ini jauh lebih parah dibandingkan negara maju.
Negara Konferensi Islam (OIC) hanya Oman yang mempunyai sistem kesehatan publik yang bagus versi WHO (nomor 8 dari 25 besar). Indonesia berada pada urutan 92. Libanon (91) dan Iran (93).
Dengan asumsi tingkat keparahan wabah relatif sama, maka beban keuangan ekonomi syariah tentu lebih berat. Akibat selanjutnya, bentuk recovery ekonomi syariah menjadi lebih lama. Industri pariwisata halal pada negara OIC juga berdampak paling parah.
Kalau membaca buku “Economic in the Time of Covid-19, bentuk shock dan recovery Ekonomi syariah termasuk industri pariwisata syariah, akan sangat sulit (L shape) dan butuh waktu yang lama.
Perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia membuat ‘surplus” yang ditempatkan pada bank syariah menjadi menipis. Padahal Petrodollar adalah induk yang tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran Bank Syariah.
Strategi Mitigasi
Berbagai strategi mitigasi yang perlu dilakukan terhadap sektor ekonomi syariah antara lain. Pertama, seluruh karyawan yang bergerak di bidang ekonomi syariah diberi kelonggaran untuk bekerja dari rumah.
Kedua, di bidang keuangan syariah, berbagai kredit syariah tidak perlu memberikan berbagai biaya tambahan meskipun dilakukan restrukturasi dan reschedule kredit. Bank syariah sebagai wajah utama ekonomi syariah diyakini mampu memosisikan sebagai lembaga keuangan syariah yang tahan krisis dibandingkan bank konvensional.
Ketiga, bank syariah harus mampu beranjak dari sekedar berlabel halal dalam pemenuhan sistem nilai Islam yang melandasinya. Empat pilar yang menyangga ekonomi syariah harus sama-sama berdiri kokoh, seperti pemenuhan hukum Islam (legal), kebutuhan diri (self interest), kesejahteraan umat (social interest), dan kesinambungan lingkungan (ecological interest). Jangan sampai hanya tiang nomor satu saja yang kokoh, sementara tiang yang lainnya miring.
Saat krisi pandemi inilah saat yang paling tepat untuk menegakkan ketiga tiang lainnya yang masih “doyong”. Ekonomi syariah mampu menghadirkan keadilan dalam berekonomi melalui keseimbangan anatara legal, self interes, social interest, dan ecological interest. Sebagaimana Denis Leary katakan, "crisis doesn't create character; it reveals it."
Keempat, penyaluran kredit (pembiayaan) tepat harus berjalan dengan tetap memperhatikan kehati-hatian untuk menghindari tingginya kredit bermasalah di kemudian hari, dengan cara menyeleksi dengan ketat calon kreditur.
Kelima, bank syariah harus tetap meningkat kualitas asset yang berkaitan dengan IT dan ATM setor tunai, serta pengetatan margin dan bagi hasil bersih.
Strategi Bank Syariah Berkinerja Tinggi
Michael E. Potter dalam bukunya Competitive Advantage berpendapat bahwa ada tida strategi untuk mencapai kinerja tinggi yaitu: keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus (baik fokus biaya maupun fokus diferensiasi).
Bank syariah dalam menjalankan bisnis saat krisis jangan sampai kehilangan fokus. Jangan sampai permasalahan dalam manajemen biaya menyebabkan pudarnya fokus. Bank syariah harus tetap melakukan efisiensi biaya sehingga mempunyai keunggulan bersaing dan keunggulan dalam melewati krisis pandemi.
Bank syariah menerapkan bagi hasil, jual beli, dan sewa. Kesepakatan nisbah atau porsi di awal tidak berubah hingga akhir perjanjian. Pendapat bank syariah bisa naik seiring dengan pendapatan bagi hasil. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, bank tidak terbebani bagi hasil yang tinggi. Bagi hasil kepada shahibul mal sangat tergantung pada pendapat bank.
Kondisi neraca bank syariah pada masa krisis akibat pandemi covid-19 akan elastis, karena besarnya biaya yang diperuntukkan untuk pembayaran bagi hasil juga akan turun seiring dengan menurunnya pendapatan. Dengan demikian jelas, bahwa bank syariah akan lebih bertahan dibandingkan bank konvensional.
Di saat seluruh bank akan mengalami depresi pendapatan, maka bank syariah harus melakukan penguatan market share. Hal itu harus dilakukan karena, keunggulan bank bukan ditentukan oleh asal perusahaan atau keunggulan masa lalu, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen.
Perusahaan harus mampu memfasilitasi kebutuhan pelanggan dengan berbagai platform dan sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan IT. Marketing digital akan menjadi differensiasi. Hal itu harus diimbangi dengan produk digital yang sesuai dengan kebutuhan customer.
Proses pemasaran 4.0 harus dilakukan oleh bank syariah. Selain itu, pemasaran 4.0 harus didukung dengan produk digital perbankan syariah yang handal. Ketika hal itu dilakukan, maka akan mampu meningkatkan market share yang signifikan di saat pandemi ini.*
*Alumni Ponpes Baitul Hikmah, S3 Unair, dan S3 UPI YAI Jakarta, Penggiat Ekonomi Syariah PPs UIN Raden Intan Lampung
Tags: Ekonomi, krisis