Memahami Siswa Secara Utuh: Fondasi Konseling yang Efektif

Memahami Siswa Secara Utuh: Fondasi Konseling yang Efektif

Salah satu keterampilan dasar yang sangat ditekankan dalam pelatihan ini adalah active listening atau kemampuan mendengarkan aktif.

Oleh : Anwar Aras


Masuk ke dalam dunia konseling, hal pertama yang perlu dipahami oleh para pendidik adalah karakteristik peserta didik. Pemahaman ini menjadi pondasi penting untuk membangun relasi yang kuat dan efektif antara guru dan siswa. Hal ini ditegaskan oleh Andi Siti Tenriawaru Ahmad, S.Psi., M.Psi., Psikolog, usai menjadi narasumber dalam Workshop Konseling Guru yang diselenggarakan oleh Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah (YPWI) pada 28–29 Juni 2025 di Aerotel Smile Makassar.

"Setiap jenjang pendidikan memiliki tugas perkembangan yang berbeda. Siswa TK tentu berbeda kebutuhannya dibandingkan siswa SMA. Jika guru tidak memahami ini, pendekatan konseling bisa keliru dan tidak efektif," ujar Andi Siti.

Kegiatan ini sendiri merupakan kelanjutan dari pelatihan sebelumnya, yang telah membahas secara mendalam mengenai karakteristik peserta didik di setiap tingkat. Pengetahuan tersebut menjadi bekal penting dalam membangun pendekatan konseling yang tepat sasaran.

Lebih jauh, Andi Siti menjelaskan bahwa konseling bukanlah langkah pertama, tetapi bagian dari proses yang lebih luas dalam menangani masalah siswa. Sebelum masuk ke tahap konseling, guru perlu melakukan identifikasi awal melalui wawancara, observasi, dan asesmen sederhana. Namun dalam kenyataan di lapangan, keterbatasan jumlah guru BK membuat banyak guru harus merangkap peran sebagai konselor.

"Guru sekarang bisa dikatakan menjalankan double job. Karena itu, melalui pelatihan ini, kami ingin membekali mereka dengan basic skill dalam konseling, agar mereka tetap bisa mendampingi siswa, terutama yang sedang mengalami permasalahan emosional atau sosial," lanjutnya.

Salah satu keterampilan dasar yang sangat ditekankan dalam pelatihan ini adalah active listening atau kemampuan mendengarkan aktif. Bukan sekadar mendengar kata-kata siswa, tetapi memahami isyarat verbal dan nonverbal yang mengiringi pernyataan mereka.

"Kadang, kata-kata tidak mampu mewakili kondisi batin yang sebenarnya. Guru harus bisa membaca gestur, nada bicara, bahkan ekspresi wajah siswa. Inilah yang disebut listensil, kemampuan mendengarkan secara penuh dengan empati," tambahnya.

Selain itu, peserta pelatihan juga dibekali keterampilan seperti parafrase dan refleksi. Parafrase membantu konselor untuk menyampaikan kembali pernyataan siswa dalam kalimat berbeda, namun dengan makna yang sama. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi emosi dan membangun rasa diterima.

"Refleksi adalah proses di mana guru menjadi seperti cermin bagi siswa. Guru membantu siswa menyadari apa yang sebenarnya mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan. Ketika siswa bisa melihat kembali permasalahannya secara utuh, mereka akan lebih mudah menemukan solusi dari dalam dirinya sendiri," jelasnya.

Konseling yang baik bukan hanya menyelesaikan masalah sesaat, tapi mendorong siswa untuk tumbuh dan menyadari potensi dalam dirinya. Ketika seorang siswa merasa didengar, diterima, dan dirahasiakan segala keluh kesahnya, maka ia akan merasa aman untuk terbuka. Ini adalah kunci keberhasilan konseling.

"Jika suasana nyaman dan kepercayaan sudah terbangun, proses konseling akan berjalan lebih lancar. Guru tidak harus menjadi psikolog, tapi bisa menjadi pendamping yang peka dan berempati tinggi," tutup Andi Siti.

Melalui pelatihan ini, diharapkan para guru semakin memahami pentingnya peran mereka dalam mendukung kesehatan mental siswa, tidak hanya dari sisi akademik, tetapi secara menyeluruh sebagai pribadi yang sedang berkembang.

Sisipkan gambar ...

Sebelumnya :