Shamsi Ali*
Ummattv, Mungkin saja ada yang salah paham. Seolah yang saya maksud menghitung-hitung (kalkulasi) kehidupan sama dengan kritikan Al-Qur’an “yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”. Iya ini tentunya realita. Begitu banyak manusia yang kecenderungan hidupnya hanyalah “jama’a maalan” (mengakumulasi kekayaan) dan “‘addadah” (menghitung-hitungnya).
Selain realita di atas, ada lagi satu peringatan penting tentang kalkulasi dan menghitung-hitung ini yang manusia harus ingat. Itulah yang diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “orang bijak (berakal) itu adalah yang selalu melakukan kalkulasi pada dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya”.
Jika pada ayat Al-Qur’an dipakai kata “addada”, dari kata ‘adad atau bilangan, pada hadits ini yang terpakai adalah kata “daana” atau melakukan kalkulasi yang dilandasi oleh kesadaran tanggung jawab. “Daana” yang menghasilkan kata “diin” dimaknai sebagai perhitungan dengan pertimbangan penuh akan tanggung jawab. Makanya hari pertanggung jawaban (youmul hisaab) juga dinamai, salah satunya, dengan “yaum ad-diin”.
Merujuk kepada makna kalkulasi pada hadits ini tentu banyak yang harus menjadi konsideran manusia. Salah satu di antaranya adalah perjalanan waktu dalam kehidupan manusia. Dalam perspektif Islam waktu adalah kehidupan. Dengan demikian perjalanan waktu atau berlalunya waktu juga dimaknai sebagai perjalanan dan berlalunya kehidupan. Setiap saat yang berjalan dan berlalu sekaligus bermakna jatah kehidupan yang berjalan dan berlalu.
Pada titik inilah sesungguhnya yang harus menjadi perhatian serius setiap orang. Jatah hidup kita telah pasti dan telah ditentukan (alladzi khalaqa fasawwa walladzi qaddara fahadaa). Secara umum manusia memiliki jatah yang berbeda-beda. Ada yang lama (panjang umur). Ada pula yang sebentar (berumur pendek). Panjang atau pendeknya umur manusia itu yang disebut “ajal”. Dan ajal ini memang telah ditentukan (ajalan musammaa).
Kalkulasi-kalkulasi kehidupan ini akan mengantar kepada pertanyaan-pertanyaan mendasar. Salah satu di antaranya kira-kira berapa jatah kehidupan kita? Pertanyaan ini mustahil untuk terjawab karena memang “laa tadri nafsun maadza taksibu ghoda” (tidak ada yang tahu akan hari esok, termasuk berakhirnya ajal). Yang tahu ajal manusia hanya Dia yang maha tahu dan menentukan.
Namun demikian manusia dengan kesadaran kalkulasi tadi dapat mengira-ngira berdasarkan tanda-tanda alam. Tanda-tanda alam itu banyak. Persendian semakin rapuh, mata menjadi tahun, bahkan keterbatasan dalam menikmati dunia di saat nafsu masih membara. Rasulullah misalnya memperkirakan umur umatnya di kisaran 65 tahun. Mungkin ada yang dapat bonus “10 tahun” menjadi “75 tahun”. Bahkan mungkin saja bonusnya “15 tahun” menjadi “80 tahun”.
Yang pasti tidak banyak yang diberikan bonus di atas 75 tahun. Apalagi lebih 80 tahun. Seringkali di saat seseorang dikarunia umur di atas 80 tahun orang akan berkata: “panjang umurnya ya?”. Padahal perjalanan masa 80 tahun itu terasa begitu singkat.
Belum lagi kita berbicara tentang apa dan bagaimana manusia menjalani hidupnya. “Apa dan bagaimana”sesungguhnya adalah dua pertanyaan yang juga mendasar bagi fase selanjutnya dalam kehidupan seseorang. Fase selanjutnya inilah yang disebut dalam hadits di atas “ba’dal maut” atau fase setelah kematian. Apa dan bagaimana kita telah mempersiapkan fase itu?
Bijak dan berakalnya seseorang menurut hadits di atas bukan pada deretan gelar akademik yang dimilikinya. Tapi bagaimana akalnya berfungsi dan memastikan bagi keselamatan dan kebahagiaan masa depannya. Dan masa depan yang paling pasti adalah fase setelah kematian (limaa ba’dal maut) itu.
Jika kita telah berumur 50 ke atas, ada baiknya disadari bahwa lebih 50 persen jatah hidup kita telah berlalu. Dari 50 persen itu kira-kira berapa persen yang akan dimaksimalkan untuk mempersiapkan “limaa ba’dal maut” (fase setelah kemarin)? Berapa untuk tidur, berapa untuk nonton drama Korea, berapa untuk main domino, berapa untuk media sosial, dan seterusnya. Lalu dari semua yang kita lakukan itu berapa persen yang bernilai persiapan “limaa ba’dal maut”?
Semoga kita semua semakin bijak dalam menyikapi perjalanan hidup. Ingat, penyesalan akan selalu hadir di belakang hari. Dan penyesalan yang paling perih dan menyedihkan adalah ketika waktu yang takkan berputar kembali itu telah tiba. Semoga Allah menjaga!
Manhattan City, 1 Agustus 2023