Ucapan selamat dan harapan pada momentum Milad Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke 46 terus mengalir dari berbagai organisasi kemasyarakatan. Salah satunya Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah Prof Abdul Mu’ti mengatakan, MUI sebagai lembaga fatwa telah menjalankan fungsinya memberikan panduan hukum atas masalah tertentu.
Bagi Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, MUI saat telah berkembang pesat.
Bahkan, pria kelahiran Kudus ini melihat, MUI telah bertransformasi seakan menjadi Ormas Islam tersendiri, di antara ormas Islam lain di Indonesia.
Apalagi, bidang gerakan dakwah MUI hampir mencakup semua bidang kehidupan.
“Bidang gerak MUI hampir semua bidang kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, hubungan luar negeri, dan sebagainya,” ujar Prof Mu’ti kepada tim redaksi MUI.OR.ID, Senin (26/7).
Abdul Mu’ti menyarankan, kelembagaan MUI yang saat ini masih seperti “super body” harus terus dikaji dan dievaluasi. Tujuannya, agar MUI sebagai wadah ulama yang berasal dari berbagai Ormas benar-benar dapat terus berkembang.
Menurutnya, sesuai dengan namanya, idealnya MUI merupakan wadah atau forum berhimpun para ulama. Kompetensi dan kualifikasi keulamaan pun harus diperhatikan, sebagai pra-syarat penting bagi seseorang untuk bergabung di MUI.
“Kompetensi dan kualifikasi keulamaan merupakan prasyarat bagi seseorang untuk bergabung di MUI. Sekarang MUI seakan lebih menjadi lembaga Ormas Islam dimana keterlibatan seseorang di dalam MUI lebih merupakan representasi Ormas,” paparnya.
Ia juga mengingatkan, MUI jangan hanya melibatkan seseorang karena alasan representasi ormas dibanding kompetensi dan kulifikasi keulamaannya.
Pesan Mu’ti, MUI bisa memfasilitasi mereka yang memiliki kepakaran dan keinginan berkhidmat di MUI.
Pandangan pria yang pernah menamatkan gelar Magister ini Flinders University of South Australia, saat ini MUI seperti lembaga ormas Islam. Imbasnya, tambah Mu’ti, nuansa politik di organisasi yang lahir 17 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 ini cukup kuat.
“Sekarang MUI seakan lebih menjadi lembaga Ormas Islam dimana keterlibatan seseorang di dalam MUI lebih merupakan representasi Ormas. Akibat dari sistem ini, nuansa politik di dalam MUI terlihat cukup kuat. Proses pemilihan pimpinan banyak diwarnai oleh kepentingan politik,” jelasnya.
Akademisi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berharap, MUI dapat menjadi lembaga inkusif yang menjadi perhimpunan para ulama dari berbagai golongan atau mazhab di Indonesia.
Harapan Prof Mu’ti, setiap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar lebih inkusif dan menjadi representasi suara umat Islam meski tidak bersifat mengikat.
“Walaupun tidak bersifat mengikat, fatwa-fatwa MUI dapat lebih komprehensif, luas, dan luwes berdasarkan ajaran dan nilai-nilai Islam,” tutupnya. *