UMMATTV JAKARTA--Penting sekali kemandirian dakwah. Baik dalam menjaga integritas da'i maupun kemurnian dakwah. Dengan kemandirian kepribadian dan finansial, para juru dakwah dapat menghidupi kebutuhan hidup dan dakwahnya sendiri. Tidak bergantung pada bantuan donatur, sehingga 'izzah dan marwah terjaga.
Demikianlah kemandirian dakwah yang terus diikhtiarkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah). Lembaga yang didirikan Dr M Natsir dan koleganya pada 1967 ini, program utamanya adalah dakwah pedalaman.
Menurut Ketua Laznas Dewan Dakwah, Ustaz Ade Salamun, kemandirian tersebut menjadi jalan kesuksesan dakwah.
Ustaz Ade menceritakan yang terjadi di Desa Solan, Kec Bula, Kab Pulau Seram Bagian Timur.
''Ketika saya berkunjung ke sana tahun 2009, warga sangat miskin spiritual maupun material. Padahal, laut terhampar di sekelilingnya. Tapi mereka bergantung pada hasil hutan yang sebatas jangkauan saja,'' tuturnya saat ditemui di Menara Dakwah jl Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, Jum'at (11/9).
Laznas Dewan Dakwah kemudian merekomendasikan pengiriman dai tangguh ke Solan.
''Alhamdulillah, dai kita mampu menciptakan kemandirian dakwah,'' kata aksesor Amil Zakat bersertifikat ini.
Dai itu mengajak masyarakat untuk mandiri secara ekonomi dengan cara bercocok tanam. Di dusun tersebut memang banyak lahan tidur.
Bersama masyarakat, sang dai membabat lahan untuk ditanami sayuran seperti terong, kacang panjang, dan kangkung.
Hasil panen berlimpah. Tetapi karena mudah layu, maka tidak keburu untuk dijual ke desa lain terdekat yang berjarak 50 kilometer.
“Hasil panen ini hanya dikonsumsi masyarakat sekitar,” ujar Ustaz Ade.
Kemudian, jelas Ustaz Ade, masyarakat beralih menanam tumpang sari jagung dan kacang tanah. Jenis tanaman biji-bijian ini dinilai lebih tahan lama dari sayuran. Sehingga sebagian hasil panen masih bisa dijual.
“Alhamdulillah begitu panen dapat Rp20 juta. Dibeli oleh perusahaan eksplorasi minyak di sekitar Solan. Dari sini masyarakat kaget, ternyata lahan yang selama ini dibiarkan bisa menghasilkan sesuatu,” ungkap Ustaz Ade.
Dari situlah, masyarakat pun sukarela mengikuti pengajian yang digelar dai tadi. Ustaz Ade menyebut program ekonomi produktif itu sebagai ‘gula-gula’ dakwah.
“Kemandirian dakwah ini menjadi gula-gula yang dapat menarik masyarakat. Juga menjadi nilai bargaining dai,” jelas Ustaz Ade.
Selain di Dusun Solang, ada juga di Dusun Tubeket, Desa Makalo, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat kisah dai sukses membangun kemandirian dakwah.
Menurut Ustaz Ade, dai Dewan Dakwah yang ditugaskan di sana merintis pengelolaan 20 hektar lahan sawah yang sudah beberapa kali panan raya. Dan itu tentu bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Dikatakan Ustaz Ade, program ekonomi merupakan alat dakwah. Artinya, dai tidak hanya melakukan pembinaan agama saja, melainkan mendorong dan membangun ekonomi masyarakat.
“Dai akan bersama-sama masyarakat bercocok tanam, menjaga hutan, berternak, bikin kripik yang menghasilkan uang,” kata Ustaz Ade.
Jenis usaha produktif yang dilakukan para dai ini tentu saja setelah dilakukan pemetaan. Karena masing-masing daerah berbebeda kebutuhan maupun potensi.
Ustaz Ade mengungkapkan, sebelum diterjunkan ke daerah pelosok para dai akan dibekali pemetaan sosial dakwah.
“Apa sih yang dibutuhkan di sana? Jadi meski dai sudah belajar 4 tahun, latihan di masjid, ikut kafilah dakwah, tetapi mereka tetap perlu dibekali. Karena daerah beda-beda. Di tempat ini pertanian, di tempat itu perdagangan,” ungkap Ustaz Ade tentang materi pembekalan calon da'i.
Kemandirian dakwah yang diupayakan Dewan Dakwah ini mampu mengurangi ketergantungan dari bantuan donatur. Seperti saat wabah covid-19 ini, para dai mampu tetap bertahan menggerakkan roda dakwah.
“Dengan kemandirian ini dirasakan dampaknya. Secara mandiri mereka tak lagi tergantung secara penuh dari bantuan pusat,” demikian Ustaz Ade. *