Ekonomi Islam vs. Ekonomi Konvensional: Dampak pada Masyarakat dan Lingkungan

Ekonomi Islam vs. Ekonomi Konvensional: Dampak pada Masyarakat dan Lingkungan

Kombinasi nilai-nilai moral dan ekonomi yang kuat, ekonomi Islam dapat memberikan solusi nyata bagi tantangan ekonomi dan sosial saat ini.

Oleh: Idris Parakkasi

Konsultan Ekonomi dan Bisnis Islam


Ekbis Syariah. Ekonomi Islam dan ekonomi konvensional mewakili dua paradigma yang berbeda dalam memahami dan mengelola aktivitas ekonomi. Keduanya memiliki landasan filosofis dan tujuan yang berbeda dalam membentuk kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi, ekonomi Islam berlandaskan syariah, yang menjunjung nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan keseimbangan. Di sisi lain, ekonomi konvensional berorientasi pada keuntungan maksimal dan efisiensi alokasi sumber daya.

Prinsip ekonomi Islam berakar pada Al-Qur'an dan Hadis yang menekankan keadilan, kesejahteraan, dan pelarangan praktik riba (bunga). Konsep keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (mizan) menegaskan bahwa setiap transaksi ekonomi harus adil dan tidak merugikan pihak manapun. Ekonomi Islam juga melarang gharar (ketidakpastian) dan mendorong kegiatan yang halal dan tayyib (baik). 

Ekonomi konvensional berlandaskan kapitalisme dan liberalisme, yang menekankan kebebasan individu dalam aktivitas ekonomi. Sistem ini berasumsi bahwa pasar akan mencapai keseimbangan secara otomatis melalui mekanisme penawaran dan permintaan, dengan fokus pada efisiensi dan keuntungan maksimal. 

Tujuan utama ekonomi Islam adalah tercapainya maqasid al-shariah (tujuan syariah), yaitu melindungi agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Ekonomi Islam berupaya menciptakan kesejahteraan kolektif dengan mengurangi ketimpangan, mendorong distribusi kekayaan melalui zakat dan wakaf, serta memastikan kegiatan ekonomi beretika dan berkelanjutan. 

Sistem konvensional fokus pada pertumbuhan ekonomi dan efisiensi alokasi sumber daya. Meski terdapat upaya redistribusi melalui pajak dan kebijakan sosial, tujuan utamanya adalah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan peningkatan daya beli masyarakat. 

Dalam ekonomi Islam, setiap transaksi harus sesuai dengan syariah. Larangan riba, maysir (perjudian), dan gharar menjadi landasan utama. Kontrak seperti murabahah (jual beli), musyarakah (kemitraan), dan ijarah (sewa) digunakan untuk menggantikan sistem bunga. Selain itu, kewajiban zakat dan pengelolaan wakaf berperan sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Ekonomi konvensional mengikuti regulasi negara dan standar internasional. Lembaga seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berperan dalam menetapkan aturan perdagangan dan keuangan.

 Hukum konvensional memperbolehkan bunga sebagai imbalan atas penggunaan uang, serta spekulasi di pasar keuangan. Ekonomi Islam didukung oleh lembaga seperti bank syariah, Baitul Maal wa Tamwil (BMT), pasar modal syariah asuransi syariah, pegadaian syariah, fintec syariah, lembaga zakat, dan lembaga wakaf serta lembaga bisnis syariah lainnya. Bank syariah menyediakan pembiayaan berbasis akad yang tidak mengandung bunga. Lembaga zakat dan wakaf bertugas menyalurkan kekayaan untuk kepentingan sosial, membantu mengurangi kemiskinan, dan memperkuat solidaritas sosial. 

Sistem konvensional didukung oleh bank komersial, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank. Instrumen seperti deposito berjangka, obligasi, dan saham digunakan untuk menggerakkan ekonomi. Sistem ini mengandalkan bunga sebagai sumber utama keuntungan dan alat kebijakan moneter. Implementasi ekonomi Islam terlihat dalam kewajiban zakat, infak, sedekah, dan pengelolaan wakaf. Melalui sistem ini, ekonomi Islam berupaya menekan ketimpangan dan mendorong solidaritas sosial. Selain itu, transaksi berbasis akad seperti murabahah dan musyarakah mendorong etika bisnis yang adil dan transparan. 

Negara seperti Malaysia dan Indonesia telah mengembangkan industri keuangan syariah, dengan pertumbuhan aset yang signifikan. Di Indonesia, sektor zakat dan wakaf menunjukkan potensi besar dalam pengentasan kemiskinan jika dikelola secara optimal. Ekonomi konvensional mengandalkan pasar dan kebijakan fiskal untuk menggerakkan pertumbuhan. Redistribusi dilakukan melalui pajak progresif dan program kesejahteraan sosial. Namun, ketimpangan masih menjadi tantangan besar dalam sistem ini. Ketimpangan ekonomi yang ekstrem terlihat di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, di mana 1% populasi menguasai sebagian besar kekayaan nasional. Sistem ini juga rentan terhadap krisis keuangan akibat praktik spekulatif di  pasar modal. Ekonomi Islam memiliki prinsip yang mendorong keberlanjutan lingkungan. 

Aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan dilarang, dan investasi diarahkan pada sektor-sektor yang ramah lingkungan. Larangan spekulasi juga membantu mengurangi volatilitas dan risiko lingkungan. Di beberapa negara, instrumen seperti sukuk hijau (obligasi syariah untuk proyek lingkungan) telah diterbitkan untuk mendanai proyek berkelanjutan. Sistem konvensional sering kali mengabaikan dampak lingkungan dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi. Overeksploitasi sumber daya alam dan ketergantungan pada energi fosil menjadi masalah serius. Meski terdapat inisiatif seperti ekonomi hijau dan pajak karbon, banyak negara masih menghadapi kesulitan dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan dan keberlanjutan.

Perbedaan fundamental antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional memberikan wawasan yang penting dalam upaya menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Ekonomi Islam, dengan fokus pada keadilan sosial dan keberlanjutan, menawarkan alternatif yang relevan bagi tantangan global saat ini, seperti ketimpangan dan perubahan iklim. Di sisi lain, elemen-elemen tertentu dari ekonomi konvensional, seperti efisiensi dan inovasi, tetap berperan penting dalam mendorong pertumbuhan.

Untuk menciptakan sinergi antara kedua sistem, ada beberapa Upaya yang perlu dilakukan antara lain; 

Pertama, Mendorong inklusi keuangan syariah. Pemerintah dan lembaga keuangan perlu memperluas akses masyarakat terhadap produk keuangan syariah, seperti pembiayaan mikro tanpa bunga melalui BMT/koperasi syariah. 

Kedua, penguatan lembaga zakat dan wakaf. Manajemen zakat dan wakaf harus lebih profesional agar dana yang terkumpul dapat didayagunakan secara optimal untuk mengentaskan kemiskinan dan mendukung proyek sosial. 

Ketiga, Mengintegrasikan prinsip keberlanjutan. Pemerintah dan sektor swasta perlu mendorong penerbitan instrumen keuangan berkelanjutan, seperti sukuk hijau, untuk mendanai proyek ramah lingkungan. 

Keempat, Peningkatan literasi keuangan Islam. Edukasi masyarakat tentang ekonomi dan keuangan syariah harus ditingkatkan agar lebih banyak individu dan pelaku bisnis beralih ke produk dan layanan syariah. Kelima, Regulasi yang mendorong investasi etis. Pemerintah dapat mengeluarkan regulasi yang mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang beretika dan tidak merusak lingkungan.

Dengan kombinasi nilai-nilai moral dan ekonomi yang kuat, ekonomi Islam dapat memberikan solusi nyata bagi tantangan ekonomi dan sosial saat ini. Implementasi prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi tidak hanya akan menciptakan kesejahteraan sosial, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan. Sinergi antara elemen positif dari ekonomi Islam dan konvensional akan memperkuat fondasi ekonomi global yang lebih adil dan berkelanjutan. Wallahu ‘alam.


Sebelumnya :