Oleh: Ustadzah. Fauziah Ramdani
(Dosen Stiba Makassar, Ketua Forum Muslimah Dakwah Kampus Indonesia & Penulis Buku “Muslimah Anti Viral”)
Kehadiran media sosial di era digitalisasi saat ini tidak bisa dipungkiri lagi fungsinya. Merambah hingga pelosok desa, mengjangkau setiap kalangan masyarakat, tidak lagi sebatas menjadi konsumsi kaum urban saja. Eksistensinya bahkan telah menjadi kebutuhan (hajat) hidup sehari-hari. Apalagi dengan masa pandemi yang terjadi lebih dari dua tahun hingga saat ini , dimana urgensi bermedia sosial yang sebagian besar masyarakat menjadikannya sebagai ladangpemenuhan kebutuhan finansial (ekonomi) serta aktivitas-aktivitas lainnya.
Di lain sisi, penggunaan media sosial (media online) sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini yang tidak sedikit menguras perhatian dan keprihatinan bersama. Efek negatif yang timbul dari para pelaku pengguna media sosial dengan terbuka luasnya kemudahan untuk mengkakses media online saat ini berdampak buruk bagi kesehatan mental, psikologis, menganggu relasi sosial, mengundang timbulnya kejahatan yang tentunya berakibat fatal pada pelanggaran nilai-nilai norma, etika hingga syariat agama.
Lalu bagaimana syariat memandang eksistensi media sosial yang saat ini semakin meningkat jumlah penggunanya dengan beragam aplikasi online yang bisa dinikmati kapan dan dimana saja. Syariat berbicara bagaimana setiap aktivitas dalam kehidupan ini dapat bernilai ibadah dan berbuah pahala di sisi Allah azza wa jalla. Maka dalam kaidah ibadah ,ada dua syarat penerimaan suatu ibadah yakni ikhlas lillahita’ala dan ittiba’ yakni mencontohi amalan sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Sudahkah aktivitas bermedia sosial kita bernilai pahala dengan menyertakan nilai ikhlas lillah dan bercermin pada bagaimana kaidah nabiullah shallallahu’alaihi wasallam melakukannya?
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ”Tidaklah menyelamatkan seorang di antara kalian amal perbuatannya (dalam riwayat Muslim: Tidaklah memasukkan seseorang ke dalam surga amal perbuatannya). Mereka bertanya: ’Tidak pula engkau wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ’Tidak pula saya, hanya bahwa Allah telah mencurahkan kepadaku anugerah dan rahmat-Nya. Maka berlaku tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan (tidak ekstrem), kalian pasti akan sampai.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya mengejar rahmat , kasih sayang Allah tabarakalla dalam melaksanakan ibadah wajib maupun sunnah merupakan buah dari nikmatnya beribadah kepadaNya.. Dari sejak kita tertidur hingga bangun kembali setiap aktivitas yang dilakukan akan membuahkan pahala dan menurunkan rahmat dari sisi Allah jika kita menjadikan ikhlas sebagai pondasi awal kita beraktivitas dengan segala jenisnya. Menjahui kesyirikan dan melepaskan diri dari segala bentuk kesesatan. Media sosial adalah alat yang bisa digunakan dengan lepas kendali dari penggunanya saat rambu-rambu dalam menggunakannya sudah tidak diindahkan lagi karena ego dan nafsu sesaat. Bersikap berlebihan dalam menikmati setiap aplikasi media sosial dan bahkan tidak menjadikannya sebagai ruang untuk berbuat kebaikan.
Media sosial bagaikan pedang bermata dua jika tak pandai mengambil manfaatnya maka pasti kita yang akan tersakiti dengannya bahkan ‘terbunuh’ olehnya. Olehnya itu, seorang muslim di zaman teknologi sudah menjadi keniscayaanlah harus mengetahui adab-adab dalam menggunakan sosial media sesuai dengan anjuran syariat.
Pertama, Mengingat bahwa islam menuntut agar dapat kita dapat menggunakan waktu dengan melakukan hal yang bermanfaat dan tidak mengundang kemudharatan. Tidak ada yang melarang penggunaan sosmed, namun kita harus sedapat mungkin menjaga diri agar tidak terjerumus terlalu dalam ke dalam kelalaian memanfaatkan waktu. Di antara tanda baiknya seorang muslim adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Waktunya diisi hanya dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Sedangkan tanda orang yang tidak baik islamnya adalah sebaliknya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya:
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Sementara itu di hadist yang berbeda, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menasehati kita dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Umur yang bermanfaat mendatangkan berkah yang melimpah, aplikasi sosial media yang kita miliki seyogyanya tidak menjadikan usia kita habis ditelan oleh kesia-siaan; menyebarkan informasi hoax, bergibah , saling membully dan menjadikan pandangan ini semakin buruk dengan asyik menikmati tayangan-tayang amoral. Salah satu tanda Allah berpaling dari kita adalah Allah biarkan kita sibuk mengurusi hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kita. Kita tidak diberi taufiq dan hidayah untuk melakukan kebaikan.
Muslim yang baik keislamannya akan meninggalkan kegiatan bersosial media yang hanya sekedar berburu like dan dislike, terlalu sibuk memerhatikan follow dan unfollow tanpa menebar faedah dan kebaikan. Maka mari kita bagi waktu kita dengan bijak, agar hisab Allah pada waktu kita lebih ringan.
Kedua; Menanamkan dengan tekad yang kuat bahwa setiap postingan, komen, copas, dan share kita di sosmed akan dihisab, semuanya dan tak ada yang terluput olehNya!Ada malaikat yang tak kenal lelah ditugaskan untuk selalu mencatat setiap perbuatan kita. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Qaf : 18 yang artinya:
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
Mari berusaha untuk senantiasa mengontrol jari jemari agar tidak mudah memposting, berkomentar, copy-paste, dan menshare, dan diam adalah salah satu cara terampuh untuk mengontrolnya. Sesungguhnya zaman yang penuh fitnah ini, semakin menguji kita untuk istiqomah dengan syariat atau justru berbalik arah memenuhi panggilan syahwat dan syetan laknatullah.
Ketiga: Jangan lupa untuk senantiasa memasang niat, niat karena Allah. Niatkanlah untuk menjalin tali silaturahmi, niatkan untuk berbagi faedah yang disampaikan oleh para ulama dan ustadz juga pengalaman-pengalaman yang bernilai positif dan mengandung hikmah dan pelajaran berharga yang akan menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah ta’ala.
Jika tujuan menggunakan sosmed adalah untuk menebar faidah dan berdakwah, maka penggunaan sosmed yang semacam ini akan berpahala. Akan tetapi jika penggunaan sosmed hanya untuk sekadar trend, ikut-ikutan, maka tentu hal ini akan mengundang kesia-sian dan kerusakan bagi diri kita.
Keempat: Mampu membedakan ranah publik dan ranah pribadi. Menjaga aib diri dan keluarga dengan tidak mempermudah jari jemari menyampaikan curahan hati dan rahasia menjadi konsumsi publik.
Kelima: Ingatlah bahwa tidak semua yang kita dengar kita sampaikan. Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, dari Hafshah radhiyallahu ‘anha yang artinya: “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan segala hal yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Keenam: Hindari ghibah dan fitnah di sosial media. . Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda mengenai definisi ghibah dan dusta/buhtan/fitnah. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menjelaskan bahwa ghibah adalah menceritakan keburukan saudaramu, meskipun keburukan/aib itu memang benar adanya. Sedangkan dusta/buhtan/fitnah adalah menceritakan keburukan/aib yang tidak ada pada saudaramu. Kelak di akhirat Allah Ta’ala akan menyediakan bangkai saudara kita yang kita ghibahi, sebanyak apa kita mengghibahi seseorang maka sebanyak itulah bangkai yang Allah sajikan pada kita untuk kita makan sampai habis. Bukan menjadi masalah ketika yang disajikan banyak itu adalah makanan kesukaan kita, namun ini adalah bangkai, tentu suatu hal yang buruk dan tidak mendatangkan manfaat.
Mulailah untuk belajar tidak mencar-cari keselahan dan aib saudara kita apalagi di sosial media, ruang paling mudah bagi kita untuk menatapi, membaca dan berkomentar semaunya. Dan ingatlah bahwa setiap dari kita tidak pernah akan luput dari pada aib, sekiranya tidak karena hidayah Allah pada kita, niscaya kita pun juga akan memiliki aib yang kita benci dari saudara kita tersebut. Maka marilah kita mengajak diri, kerabat dan keluarga dekat kita untuk sosial media sebagai lumbung pahala, untuk mempermudah kita meraih surgaNya.
Wallahu a’lam…