Keputusan perubahan status Hagia Sophia lahir dari sebuah proses hukum yang konstitusional. Namun, bagi yang dijangkiti islamphobia, isu ini seolah-olah menjadi energi baru untuk menyerang Islam sebagai agama pedang, haus darah dan penaklukan barbar.
Oleh:
Fahmi Salim
Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI
MASJID "Hagia Sophia" (dalam bahasa Yunani berarti: Hikmah Ilahi), yang dalam bahasa Turki disebut Aya Sofia sudah resmi kembali dibuka, yang ditandai dengan pelaksanaan shalat Jumat pada 24 Juli 2020 lalu. Inilah moment sejarah penting bukan hanya bagi rakyat Turki, juga kaum muslimin di dunia, setelah menanti 86 tahun Aya Sofia dimuseumkan.
Semuanya larut dalam kebahagiaan, yang insyaa Alloh menjadi tonggak awal kejayaah umat Islam. Apalagi, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan menegaskan dalam pidatonya, kebangkitan Aya Sofia adalah tanda menuju awal gerbang pembebasan Masjid Al-Aqsha dan Baitul Maqdis.
Namun, tak semua pemimpin dunia Islam mengucapkan selamat kepada Presiden Erdogan, termasuk Indonesia. Kebanyakan pemimpin negara Arab memilih diam, bahkan para buzzer rejim Arab bersikap sinis dan bernada insinuatif, setelah berbagai protes dari Amerika Serikat, Israel dan beberapa negara Eropa atas perubahan status Aya Sofia menjadi masjid. Aksi protes ditunjukan kelompok sayap kanan Yunani, misalnya dengan membakar bendera Turki di kota Thessaloniki, dan membunyikan lonceng-lonceng gereja sebagai tanda berkabung pada Jum'at lalu. Begitu pula, yang dilakukan Israel yang paling ketakutan dengan kebangkitan Islam.
Banyak media, termasuk kami dari AFI Media yang menyiarkan secara langsung moment shalat Jumat pertama di Masjid Aya Sofia. Seperti dilaporkan kontributor kami di Turki, Andika Rahman Nasution dan Darlis Aziz. Ratusan ribuan warga Turki sejak pagi hari berdatangan untuk mengikuti shalat Jumat itu. Para jamaah tetap mengikuti protokal kesehatan selama masa wabah Covid ini, dengan mengenakan masker dan shaf berjarak.
Alunan ayat-ayat suci Alquran dan pembacaan shalawat nabi mengawali prosesi ibadah shalat Jumat. Sebelumnya, para jamaah juga melakukan sujud syukur. Sementara, di dalam masjid, sebuah karpet dengan motif Ottoman abad ke-17 sudah dibentangkan di lantai untuk pelaksanaan shalat jumat. Namun, menurut Otoritas Direktorat Keagamaan Turki, ikon Kristen yang berada di sekitar Aya Sofia tetap dilestarikan. Mosaik kekristenan yang tergambar di langit-langit masjid meliputi gambar Yesus, Bunda Maria dan Roh Kudus hanya ditutup tirai ketika pelaksanaan ibadah shalat. Selain itu, ubin lantai yang dahulu jadi tempat penobatan Kaisar Byzantium selama lebih dari 1 millenium oleh Patriarkh Konstantinopel juga dikosongkan tak boleh diisi shaf jamaah.
Sebelum azan berkemundang, Presiden Erdogan membacakan surat Al-Fatihah, sebagai simbol pembukaan Aya Sofia, yang disambut dengan teriakan takbir oleh jamaah. Erdogan telah membawa kembali Republik Turki modern, kepada ruh Islam yang menjadi pondasi utama masyarakat Turki. Sekulerisme yang dipaksakan Kemal Ataturk tahun 1924 sejatinya adalah barang import dan asing bagi rakyat Turki. Erdogan yang menang pemilu tahun 2002, perlahan mencabut larangan jilbab di tempat umum, menghidupkan pendidikan agama, dan menjinakkan militer Turki yang pernah jadi benteng sekulerisme Ataturk.
Kita harus saling menghormati, terutama menghormati kedaulatan Turki. Masyarakat Turki lebih merasakan identitas nasionalismenya pada Imperium Ottoman, bukan pada Kekaisaran Bizantium yang secara historis dan kultural kini menjadi Yunani, apalagi nasionalisme sekuler model Ataturk. Karena itu, dunia internasional tidak perlu mempersoalkan pengembalian status Aya Sofia menjadi masjid. Keputusan perubahan status Hagia Sophia lahir dari sebuah proses hukum yang konstitusional. Namun, bagi yang dijangkiti islamphobia, isu ini seolah-olah menjadi energi baru untuk menyerang Islam sebagai agama pedang, haus darah dan penaklukan barbar. Stereotip yang basi dan dibantah sendiri oleh para sejarawan dan orientalis yang objektif.
Perubahan status Aya Sofia tak seharunya menjadi kontroversi, jika dunia Internasional mau bersikap adil. Lihatlah, dunia berdiam saat masjid bersejarah di India, Masjid Baabri dihancurkan kaum radikal Hindu. Atau Masjid Ahmar yang dibangun di abad ke-13, diubah menjadi klub malam di Israel. Banyak masjid bersejarah lainnya dibombardir Zionis Israel sejak tahun 1948, namun adakah sikap protes atau empati dari dunia Internasional? Dunia barat meneriakkan toleransi dalam kasus Aya Sofia, tapi mendiamkan kezaliman yang menimpa rumah ibadah kaum muslimin. Inilah jargon toleransi yang memihak dan hipokrit.
Aya Sofia pertama kali dibangun sebagai gereja katedral oleh dua arsitek Isidoros dan Anthemios di bawah Kekaisaran Bizantium Kristen Ortodoks pada abad ke-6. Awalnya bernama Megale Ekklesia (Gereja Hebat), kemudian diubah menjadi Hagia Sophia yang bermakna kebijaksanaan suci. Hagia Sophia telah hancur berkali-kali sepanjang sejarah, dan kerusakan terbesar selama serangan Tentara Salib pada 1204. Tentara Romawi Barat di bawah komando Paus Roma, menjarah banyak barang berharga yang suci bagi umat Kristiani Ortodoks. Hagia Shopia yang saat itu rusak baru dibangun kembali saat Kekaisaran Bizantium mengalahkan pasukan Romawi Barat dan kembali menguasai Konstantinopel.
Hagia Sophia berubah menjadi masjid ketika Sultan Mehmed II atau yang kita kenal Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Sejak itu, bangunan ikonik itu direnovasi dan dipelihara dengan baik, serta difungsikan sebagai masjid kekaisaran selama periode Ottoman. Arsitek Mimar Sinan saat itu memperindah situs bersejarah ini dengan menambahkan 4 menara. Gedung madrasah didirikan disekeliling Masjid Aya Sofia.
Menurut Dr. Mehmed Ali Bolat, dosen sejarah Ottoman dari Istanbul Sabahattin Zaim University yang juga menjadi tamu program NGESHARE, mengatakan bahwa masjid Aya Sofya menjadi simbol keadilan dan kemenangan perjuangan melawan para penjajah. Inilah upaya Turki untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana jejak kemenangan yang telah diraih Kekhalifahan Turki Usmani. Aya Sofya tidak sekedar masjid bagi masyarakat Turki, juga masjid bagi umat Islam dunia. Lihat lengkapnya di link ini: https://youtu.be/i2gIJnCshw4.
Kepala Otoritas Agama Turki, Ali Erbaş ditunjuk menjadi khatib menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Aya Sofya. Pedang yang dipegang selama khutbah Jumat memiliki filosofi sebagai simbol penaklukan. Tradisi Ottoman yang akan kembali dilestarikan dalam khutbah shalat Jumat. Sebuah penaklukan yang telah dinubuwatkan oleh Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam, dilakukan oleh seorang pemimpin terbaik dan pasukan terbaik.
Penaklukan itu bukan penganiayaan dan penghancuran, tapi kebangkitan dan rekonstruksi. Jika Islam menaklukkan sebuah kota, maka tidak ada penjarahan, pembantaian, bahkan tidak ada pula pemaksaan agama. Berbeda dengan yang dilakukan para penjajah di era klasik dan modern.
Dalam khutbahnya, Erbas mengutuip surat Ali Imran ayat 159, “Ketika kamu telah bertekad bulat, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bersandar [kepada-Nya].” Inilah pesan ilahi kepada kita semua, bahwa umat Islam memiliki tugas perjuangan yang tidak akan pernah habis, untuk menegakkan rasa kasih sayang sesama dan toleransi, kedamaian, ketenangan, dan kebaikan di seluruh dunia, sebagaimana dahulu yang percah diucapkan Sultan Al Fatih, “Bahwa mulai sekarang, jangan takut dengan kebebasan dan hidupmu, harta benda kalian tidak akan dijarah, tidak ada yang akan dianiaya, tidak ada yang akan dihukum karena agama”.
Karena itulah, Aya Sofya menjadi simbol penghormatan terhadap semua kepercayaan dan keberagaman. Dunia seharusnya banyak belajar pada Masjid Aya Sofya, bukan menghujat dan memprovokasi kebencian terhadap Turki dan Islam. Begitu pula, para pemimpin dunia harus berani berkaca dengan dirinya sendiri, sudahkah mereka menegakan keadilan, kemakmuran dan perdamaian dunia? Wallahu a'lam.*
Tags: Fahmi Salim, Erdogan, Turki