PERNIKAHAN DAN KEMULIAAN GURU

PERNIKAHAN DAN KEMULIAAN GURU

Artikel ke- 1527

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ummattv, Pada 7 Mei 2023 saya menikahkan anak saya ketiga. Ini pernikahan pertama dari tujuh anak saya. Tempatnya di IPB Convention Center, Baranangsiang, Bogor. Alhamdulillah, acara pernikahan berlangsung dengan lancar dan berkesan. Dalam prosesi akad nikah, Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin berkenan memberikan tausiyah. 

Saat resepsi, Ust. Adi Hidayat juga berkenan menyampaikan nasehat perkawinan. Resepsi perkawinan pada sesi ini dihadiri sekitar 400 undangan. Semuanya duduk tekun mendengarkan nasehat Ust. Adi Hidayat. Beberapa orang tampak terharu bahkan meneteskan air mata. 

Saya bersyukur karena anak dan menantu saya, keduanya adalah guru pesantren. Saat acara lamaran, mereka menandatangani surat kesediaan untuk tetap menjadi guru pesantren at-Taqwa Depok,  selama diperlukan. Keduanya telah menyelesaikan pendidikan tingkat S-2. Alhamdulillah, kesediaan untuk menjadi guru pesantren mereka sambut dengan gembira. 

Jatuh bangun suatu lembaga pendidikan, bahkan jatuh bangun suatu bangsa, tergatung pada kualitas guru. Kualitas generasi saat ini merupakan cerminan dari kualitas guru sekitar 20 tahun lalu. Begitu juga, kualitas generasi kita mendatang, ditentukan oleh kualitas guru saat ini. 

Karena itu, jika kita ingin melahirkan generasi 2045 yang hebat, yang perlu dibentuk saat ini adalah guru-guru yang hebat. Yakni, guru yang berilmu dan bisa menjadi teladan kehidupan. Menjadi guru sejatinya adalah panggilan jiwa. Guru itu pejuang. Mengajarkan ilmu dan mendidik anak-anak agar menjadi orang baik adalah tugas mulia. 

Itulah tugas para nabi. Rasulullah saw ditugaskan untuk “menyampaikan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan al-Kitab dan al-hikmah” (QS al-Jumuah: 2). 

Merujuk kepada tugas Rasulullah saw, para guru bukan sekedar mengajarkan ilmu, tetapi juga mensucikan jiwa mereka; mensucikan hati mereka dari penyakit-penyakit kemusyrikan dan akhlak-akhlak yang buruk. Karena itu, susah menandingi kemuliaan guru. 

Betapa besar pahala yang didapat oleh para guru yang ikhlas dalam mengajar dan mendidik. Bukan hanya itu, para orang tua dari para guru itu pun mendapatkan aliran pahala yang tiada henti. Bahkan, siapa saja yang terlibat dalam pendidikan para guru, akan mendapatkan pahala, sesuai dengan perannya. Allah Mahacepat hitungannya. 

Bayangkan, jika seorang guru mengajarkan aqidah dan cara ibadah yang benar. Lalu, ilmu itu diamalkan dan diajarkan oleh murid-muridnya, maka akan terus mengalir pahala jariyah tersebut. Itulah ilmu yang bermanfaat. 

Karena begitu mulianya para guru itu, maka dahulu, para ulama kita banyak mendirikan lembaga pendidikan bernama “Kulliyyatul Mu’allimin”. Artinya, “Sekolah Guru”. Tahun 1918, KH Ahmad Dahlan mendirikan Kweekschool Muhammadiyah, yang nama lainnya, “Mu’allimin Muhammadiyah”. Syekh Ahmad Soorkati juga mendirikan Mu’allimin al-Irsyad.  Persatuan Islam (Persis) pun mendirikan “Mu’allimin” yang masih eksis sampai saat ini.

Pesantren Gontor, hingga kini, masih mempertahankan nama program pendidikan KMI (Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyah). Yakni, program pendidikan guru selama enam tahun. Para lulusannya, diharapkan menjadi guru pejuang, sebagaimana amanah KH Imam Zarkasyi. Lulusan pesantren yang tidak mau mengajar dikatakan laksana orang yang mati. 

Menurut KH Imam Zarkasyi, hidup itu berjuang, dan berjuang itu adalah mengajarkan ilmu yang telah diperoleh di pesantren selama bertahun-tahun. Bahkan, para santri yang mengajarkan ilmunya sampai ke pelosok-pelosok desa dan lereng-lereng gunung itulah, sejatinya “orang besar”. 

Di bulan Ramadhan 1444 Hijriah lalu, saya bertemu dengan seorang alumnus pesantren At-Taqwa Depok. Lulus pendidikan pesantren setingkat SMA (At-Taqwa College Depok), ia langsung menjadi guru di sebuah pesantren di Pulau Sumatra. Ia mengajar kitab berbahasa Arab dan bela diri. Setelah Idul Fithri, ia berangkat lagi ke pesantren tempat ia mengajar. Alhamdulillah, ia mengaku senang dengan aktivitasnya, dan didukung penuh oleh orang tuanya.

Menjadi guru pejuang adalah bagian dari proses pendidikan kepemimpinan yang sangat baik. Guru yang baik selalu berpikir, bekerja keras, dan berdoa untuk kebaikan para muridnya. Ia selalu berusaha menambah ilmu agar kualitas dan kompetensi diri serta pendidikannya semakin meningkat. Begitulah indahnya menjadi guru. 

Sayangnya, gambaran profesi guru yang mulia itu banyak dipandang kurang bergengsi bagi banyak lulusan-lulusan SMA yang pintar-pintar. Lihat saja jurusan-jurusan kuliah yang paling diminati oleh para calon mahasiswa. Mungkin memasuki kuliah guru tidak terlalu dibanggakan oleh siswa, orang tua, atau masyarakat. 

Inilah salah satu tantangan perjuangan umat Islam Indonesia yang sangat berat. Tetapi, karena berat itulah maka peluang keberhasilannya juga besar. Sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan! Semoga Allah menolong kita. Aamiin. (Depok, 10 Mei 2023).

NB.  Artikel ini diambil dari *Pojok 1000 Artikel Pilihan Adian Husaini* di www.adianhusaini.id.  

_informasi berlangganan: Admin: 085882930492_

Sebelumnya :
Selanjutnya :