Perkenalkan Saudara Tiri Kita: Mualaf di Pojok-pojok Indonesia

Perkenalkan Saudara Tiri Kita: Mualaf di Pojok-pojok Indonesia

“Torang  samua satu desa  baikrar tahun 2000., sekarang so tarada. Sekarang sisa 26 keluarga yang masih Islam di sini , yang lain so balik (murtad),” cerita dari bu Rifda salah satu mualaf dari desa Lata Lata kecamatan Kasiruta Barat Halmahera Selatan.

Perasaan  saya bercampur aduk antara sedih dan malu mendengar cerita beliau. Pada tahun 2000 desa Lata Lata yang terdiri dari 140 keluarga masuk Islam, mualaf tinggal sekitar 18 persen saja. Kondisi memprihatinkan ini disebabkan oleh banyak faktor namun faktor utamanya karena umat islam abai terhadap kondisi mereka. Kondisi mualaf yang memprihatinkan di pojok Indonesia timur ini juga terjadi di tempat-tempat yang lain.

“Torang baikrar so 15 taon, torang tara tau baca Fatihah deng sholat, kong tarada yang kasih ajar”. “Anak-anak so putus sekolah ,tarada biaya, kong bagaimana lagi untuk makang sulit, kadang ada beras kadang tarada” lanjutnya. Beliau bercerita sehari hari mencari daun paku,cabe liar dan daun ijuk untuk sapu  dihutan. “ Torang tarada rumah deng tanah. Torang menumpang di orang pe kebun, lanjutnya saat ditemui digubug dari kayu bekas bangunan berukuran 3x 4 meter ditengah kebun yang ditinggali bersama suami dan kedua anaknya . Kondisi bu Salma ini sebelas dua belas dengan 25 keluarga mualaf yang tinggal di desa Wayamiga   yang hanya berjarak selemparan batu dari pusat kabupaten Halmahera Selatan yang notabene mayoritas beragama Islam. Kondisi mereka miskin, tinggal dipojok-pojok kebun dan diabaikan. Sekali lagi terjadi pengabaian mualaf oleh saudara muslimnya sendiri.

“Torang samua satu desa baikrar di taon 2000, Saat itu ada 68 keluarga jadi islam,  kong saat ini sisa 10 keluarga,yang lain so balik (murtad). Tarada yang tau sembayang yang benar, kong tarada yang kasih ajar. So lama sekali tarada ustad datang. “ Tarada lampu (listrik) di musholla, torang bawa  lampu ces dari rumah saat sembayang magrib di musholla”.

Beliau melanjutkan bahwa sudah lama sekali tidak ada sholat Jumat disini . “ Torang sembayang Jumat di Albina”. Albina adalah masjid di desa terdekat berjarak 1 jam berjalan kaki melewati sungai sedalam pusar yang dihuni buaya. Hancur hati saya rasanya mendengar kisah pak Muhtar mewakili mualaf didesa Geti Lama kecamatan Bacan Barat Utara Halmahera Selatan ini. Sekali lagi terjadi pengabaian mualaf oleh saudara muslimnya sendiri.

Ada apa dengan sikap kita terhadap saudara mualaf ini? Padahal jika kita membaca dari buku buku sirah tergambar begitu besar perhatian Rosulullah terhadap mualaf ini. Misalnya pasca perang Hunain, Rosulullah membagikan Ghanimah dengan mempriotaskan kepada mualaf dari mekah dibandingkan sahabat, meski kondisi sahabat juga kekurangan secara ekonomi.

Meski lebih dari 50 ribu mualaf di Indonesia menurut Mualaf Centre Indonesia tahun 2020 tetapi jumlah itu tentu hanyalah puncak gunung es. Terdapat banyak mualaf yang tidak dicatat apalagi diperhatikan terutama di sudut-sudut Indonesia Timur. Terdapat perbedaan tantangan mualaf di kota-kota besar versus mualaf didesa-desa terpencil dari sisi ekonomi, pendidikan maupun kondisi geografisnya. Bayangkan pada 3 cerita diatas, tidak ada dai yang datang lagi sejak tahun 2003, hampir 17 tahun mereka diabaikan.  Kisah –kisah ini juga banyak terjadi pada lebih dari 100 keluarga mualaf yang dibina oleh penulis . Kondisi ini bisa jadi mewakili kondisi daerah-daerah lain di pojok- pojok Indonesia yang lain.

Jadi bagaimana bila kelak saat kita dibangkitkan dipadang Mahsyar dan  ditanya tentang apa yang sudah kita lakukan untuk saudara mualaf kita disudut-sudut Indonesia ini? Mari kita renungkan dan kemudian kita berbuat sesuatu.

*Penulis adalah dokter bedah sekaligus pengurus Jamaah Masjid Asy Syifa yang membuat program pembinaan mualaf di desa-desa terpencil di Halmahera Selatan

 

Sebelumnya :
Selanjutnya :