Tujuannya adalah agar siswa memahami konsep ilmu secara menyeluruh, mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya,...
Seri Pendidikan: Konsep Metode Pembelajaran Deep Learning Dalam Kacamata Islam Oleh: Dr. H. J. FAISAL* Apa Itu Deep Learning dalam Konteks Pembelajaran? Dalam suasana mengkhidmati waktu kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di bulan Rabi’ul Awal 1447 Hijriah ini, izinkan saya untuk mengangkat konsep pembelajaran Deep Learning yang sedang trend 5 tahun belakangan ini di seluruh dunia, yang sebenarnya konsep pembelajaran ini justru telah dilakukan dan dicontohkan dengan sangat sempurna oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sejak 15 abad yang lalu, ketika beliau mendidik para sahabat dan umatnya di masa awal kehadiran Islam di Makkah dan Madinah. Dalam konsep pendidikan modern saat ini, konsep pembelaharan Deep Learning merujuk pada pendekatan belajar yang mendalam dan bermakna, bukan sekadar menghafal atau menyerap informasi secara dangkal. Tujuannya adalah agar siswa memahami konsep ilmu secara menyeluruh, mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya, dan mampu menerapkan, menganalisis, dan menciptakan solusi dari apa yang dipelajari. Tentu saja ini merupakan konsep paradoks atau berlawanan dengan konsep pembelajaran Surface Learning, dimana siswa hanya belajar untuk lulus ujian atau menyelesaikan tugas tanpa benar-benar memahami makna materi, seperti konsep pembelajaran yang selama ini berlaku dalam sistem pendidikan dan kurikulum nasional Indonesia. Menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Indonesia saat ini, Abdul Mu’ti, ada tiga pendekatan atau tiga pilar utama konsep Deep Learning dalam pendidikan, yaitu: Pertama, Meaningful Learning, dimana siswa mengaitkan materi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Kedua, Mindful Learning, dimana siswa belajar dengan kesadaran penuh, aktif, dan reflektif. Dan ketiga, Joyful Learning, yaitu dimana proses belajar dilakukan dengan rasa senang dan antusias, bukan karena tekanan beban pembelajaran, maupun tekanan dari guru itu sendiri. Pola pikir konsep ini juga penting bagi guru. Guru yang menerapkan mindset Deep Learning akan fokus pada pemahaman konsep, bukan sekadar penyampaian materi, mendorong diskusi, refleksi, dan eksplorasi, serta akan menggunakan strategi seperti pembelajaran berbasis proyek, Inquiry Learning, dan pemecahan masalah nyata. Adapun konsep Deep Learning ini mulai diusulkan sebagai pendekatan baru dalam sistem pendidikan Indonesia sejak tahun 2024, sebagai alternatif dari Kurikulum Merdeka. Tentu saja, idealnya bertujuan untuk menciptakan generasi pembelajar yang kritis dan kreatif, siap menghadapi tantangan global, dan tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga berdaya pikir dan berdaya cipta. Sejarah Singkat Konsep Belajar Deep Learning Konsep Deep Learning dalam pendidikan pertama kali diperkenalkan oleh Ference Marton dan Roger Säljö pada tahun 1976. Mereka melakukan studi di Universitas Goteborg, Swedia, dan menemukan dua pendekatan belajar mahasiswa, yaitu Surface Learning dengan pola belajar hanya untuk ujian, hafalan tanpa pemahaman. Dan konsep Deep Learning, dimana belajar adalah bertujuan untuk memahami, mengaitkan, dan menerapkan pengetahuan. Konsep Deep Learning ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh lain seperti: 1. David Ausubel (1968): Meaningful learning 2. David Kolb (1984): Experiential learning 3. Jack Mezirow (1991): Transformative learning 4. Michael Fullan (2018): Merumuskan 6 kompetensi global (6C’s) sebagai fondasi pembelajaran mendalam Studi di Kanada dan Norwegia yang dilakukan oleh Michael Fullan menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan ini terbukti lebih aktif secara kognitif, lebih reflektif, dan lebih siap menghadapi perubahan sosial dan disrupsi teknologi. Dari berbagai nara sumber yang dapat saya rangkum, inilah konsep 6C dalam konsep pembelajaran Deep Learning hasil pengembangan dari Michael Fullan sejak awal tahun 2015-an hingga kini, yaitu Critical thinking, Creativity, Collaboration, Communication, Citizenship, dan Character. Dari keenam konsepnya ini, Michael Fullan beranggapan bahwa karena dunia saat ini menuntut lebih dari sekadar nilai ujian, maka siswa sebagai subjek pembelajar sangat perlu untuk berpikir kritis terhadap informasi yang kompleks, berinovasi di tengah perubahan teknologi, berkolaborasi lintas budaya dan disiplin, berkomunikasi secara efektif di berbagai platform, berperan aktif dalam masyarakat global, dan pastinya memiliki karakter kuat untuk menghadapi tantangan hidup. Realitanya di Lapangan Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah guru-guru kita punya kemampuan 6 C ini atau tidak? Jawabannya….belum tentu. Dan justru di situlah letak tantangan sekaligus peluang besar dalam transformasi pendidikan kita. Banyak guru di Indonesia (dan di berbagai negara lain juga) masih terjebak dalam pola teaching to the test alias mengajar demi nilai, bukan demi pemahaman. Dimana akibatnya pendidikan nasional kita justru terjebak dalam keruwetan 6 C itu sendiri, yaitu antara lain: 1. Critical thinking belum banyak diasah karena siswa jarang diajak berpikir terbuka. 2. Creativity terhambat oleh kurikulum nasional yang tidak jelas kemana arah garis besarnya. Dan tentu saja masih terlalu kaku dalam memancing fleksibilitas pemikiran siswanya. 3. Collaboration masih sebatas kerja kelompok formal, bukan kolaborasi sejati. 4. Communication belum menjadi fokus utama dalam proses belajar. 5. Citizenship sering kali hanya diajarkan sebagai teori, bukan praktik sosial. 6. Character dibentuk lebih lewat disiplin semu daripada refleksi dan nilai-nilai. Maka dengan demikian, yang harus dilakukan adalah rubah dulu kurikulumnya, buat dulu Blueprint nya, latih dulu guru-gurunya, buat dulu pilot projectnya, baru terapkan. Karena sudah menjadi kebiasaan pengambil kebijakan di Indonesia, maunya menerapkan metode belajar baru secara cepat, tetapi tidak pernah mempersiapkan fondasinya. Maka akhirnya yang terjadi hanyalah sebatas fenomena latah nasional. Ya, fenomena latah secara nasional, khususnya dalam kebijakan pendidikan nasional ini sangat tercermin dari banyaknya kebijakan pendidikan kita yang hanya semangat di awal, tetapi akhirnya mangkrak di tengah jalan, Kita hanya mampu sebatas mengadopsi istilah keren dari luar negeri (seperti STEM, PBL, deep learning, dan lain-lain), tetapi tanpa pemetaan kebutuhan lokal, kesiapan sumber daya manyusia, atau ekosistem pendukung lainnya. Maka, akhirnya hanya jadi jargon di dokumen, bukan praktik nyata di sekolah. Contohnya, Kurikulum Merdeka, niatnya bagus, tetapi banyak guru yang belum paham filosofi dasarnya. Contoh lainnya adalah digitalisasi sekolah, tetapi infrastruktur dan literasi digital belum merata, dan juga pembelajaran berbasis proyek, tetapi guru belum dilatih untuk mendesain proyek yang bermakna. Bahkan banyak guru di daerah yang belum pernah mendengar istilah pembelajaran berbasis proyek ini, dikarenakan keterbatasan informasi dan teknologi di daerah mereka. Jadi, secara formal, menurut saya, fondasi sistem pendidikan yang seharusnya dibangun dulu sebelum mengambil atau mengadopsi sistem pembelajaran yang baru adalah: 1. Rancang terlebih dahulu kurikulum berbasis kebutuhan lokal dan kompetensi global. 2. Kemudian susun Blueprint sistemiknya, mulai dari filosofi, struktur, hingga asesmen. 3. Latih guru secara bertahap dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar seminar atau pelatihan zoom satu hari. 4. Uji coba lewat pilot project di daerah terpilih, evaluasi, lalu skalakan. 5. Libatkan komunitas pendidikan secara komprehensif, yaitu guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri. Dan percayalah, tanpa itu semua, kita hanya akan terus mengulang siklus kebijakan yang “ramai di atas, tetapi bingung di bawah”. Praktik Konsep Belajar Deep Learning Dari Sang Maestro Pendidikan Sepanjang Zaman, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Kini, di era pendidikan yang sibuk mengejar akreditasi dan ranking Internasional, istilah Deep Learning menjadi primadona baru. Seminar digelar, modul disusun, dan guru dilatih untuk mengajarkan “pembelajaran bermakna.” Tetapi sayangnya, makna itu sering kali tertinggal di slide PowerPoint saja. Padahal, Deep Learning bukan barang baru. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sudah mempraktikkannya 1455 tahun (15 abad) yang lalu, tanpa Wi-Fi, tanpa LMS, tanpa jargon. Beliau tidak mengajarkan dengan metode, tetapi dengan makna. Tidak dengan teori, tetapi dengan teladan. Beliau membentuk manusia, bukan hanya mengisi kepala. Beliau mengajarkan ilmu yang menyentuh jiwa, bukan sekadar memenuhi silabus. Dan beliau tidak pernah memaksa muridnya untuk menghafal, tetapi mengajak mereka untuk merenung. Sementara itu, sistem pendidikan kita masih sibuk mengejar angka. Murid dinilai dari skor, guru dinilai dari laporan, dan sekolah dinilai dari akreditasi. Tetapi, kalau begitu….siapa yang mengajak dan menilai kedalaman berpikir? Siapa yang menilai kejujuran dalam belajar? Ironisnya, IQ rata-rata manusia Indonesia disebut-sebut hanya di angka 80-an. Tidak terlalu jauh dari simpanse, katanya. Tetapi kalau soal ego, kita juara dunia. Sudah salah, tetap ngeyel pula. Sudah terbukti keliru, tetap merasa benar. Pantang mundur tanpa punya rasa malu….Ampun, dah. Dan di sinilah letak tragedi pendidikan kita, rendah nalar, tinggi ego. Kita tidak kekurangan kurikulum yang kekinian, tetapi kekurangan kerendahan hati. Kita tidak kekurangan teknologi, tetapi kekurangan akhlak, adab, dan pemikiran. Kita tidak kekurangan guru, tetapi kekurangan pembimbing jiwa. Maka konsep pembelajaran Deep Learning dianggap bukan sekadar metode, tetapi sudah dianggap sebagai cara hidup, yang menuntut refleksi, kesadaran, dan keberanian untuk mengakui bahwa kita belum tahu. Tetapi sayangnya, sistem kita lebih suka jawaban cepat daripada pertanyaan mendalam. Lebih suka hasil daripada proses. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengajarkan konsep pembelajaran Deep Learning dengan kesabaran. Beliau tidak marah ketika sahabat bertanya. Beliau tidak tersinggung ketika ditantang berpikir. Beliau justru mendorong dialog, diskusi, dan perenungan. Beliau tidak membentuk murid yang hafal, tetapi murid yang paham. Dan jika kita bicara 6C nya Fullan, yaitu Critical Thinking, Creativity, Collaboration, Communication, Citizenship, Character, sesungguhnya semua itu sudah ada di dalam metode dan sistem pendidikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Beliau tidak menyebutnya 6C, tetapi beliau langsung menjadi teladan dalam konsep 6 C itu sendiri. Critical Thinking? Beliau mendorong tafakkur dan tadabbur. Creativity? Beliau menyusun strategi perang dan diplomasi yang tidak tertandingi. Collaboration? Beliau membangun masjid bersama sahabat. Communication? Beliau berdialog dengan semua golongan. Citizenship? Beliau menyusun Piagam Madinah. Character? Beliau adalah Al-Qur’an berjalan. Apa lagi yang kurang, coba? Islam Bukanlah Jalan Alternatif Tetapi Jalan Yang Utama Tetapi kita masih sibuk membandingkan Islam dengan teori Barat. Padahal Islam tidak perlu dibandingkan. Islam hanya cukup dihidupkan. Karena semua kebenaran dalam ilmu adalah sunnatullah. Dan semua sunnatullah itu sudah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Lucunya, kita takut pada Artificial Intelligent (AI). Takut digantikan, takut dilupakan. Padahal AI tidak punya hati, tidak punya intuisi, tidak punya empati. AI bisa menyusun soal, tetapi tidak bisa membaca air mata siswa. AI bisa memberi skor, tetapi tidak bisa memberi pelukan semangat dan cinta kasih kepada siswa. Jangan takut pada digitalisasi dan AI. Selama kita tidak menyerahkan cara berpikir kemanusiaan kita, kita tidak akan pernah dikalahkan. Justru AI akan belajar dari kita. Mereka yang takut adalah mereka yang belum paham cara kerja AI, dan pastinya belum paham cara kerja hati manusia itu sendiri. Pendidikan adalah proses ruhani. AI tidak punya ruh. Maka selama guru masih punya ruh, punya hati, dan punya akhlak, pendidikan akan tetap hidup. Bukan karena teknologi, tetapi karena kita adalah manusia, makhluk sempurna yang diberikan ruh, akal, hati, dan nafsu. Tetapi jika guru hanya sibuk mengisi e-Raport, dan murid hanya sibuk joged TikTok, maka pendidikan bukan lagi proses ruhani. Pendidikan akan berubah menjadi rutinitas birokrasi. Dan Deep Learning hanya jadi poster di dinding, bukan praktik di ruang kelas. Maka mari kita kembali ke akar. Kembali ke pendidikan yang membentuk manusia. Kembali ke pembelajaran yang menyentuh jiwa. Kembali ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai teladan, bukan sekadar inspirasi. Sekali lagi, pahamilah dengan kedalaman pemahaman yang benar, bahwa Islam bukanlah sebuah alternatif. Islam adalah menu utama. Islam adalah sumber kebenaran. Islam adalah jalan hidup yang paling rasional. Dan jika Anda masih ragu, masih malu, atau masih enggan menerima Islam sebagai fondasi pendidikan, maka anda sejatinya belum paham Islam. Dan itu berarti, Anda belum lulus sebagai manusia. Muslim bukan hanya yang shalat, tetapi yang berpikir dengan nilai Islam. Bukan hanya yang puasa, tetapi yang mendidik dengan akhlak Islam. Dan bukan hanya yang mengucap syahadat, tetapi yang menjadikan Islam sebagai kompas hidup. Maka mari kita berhenti malu, berhenti ragu, dan berhenti menunggu. Mari kita hidupkan kembali pendidikan Islam yang berakar pada wahyu, berjiwa pada akhlak, dan bertujuan pada keberkahan. Karena pendidikan bukan panggung, tapi ladang amal. Dan Islam adalah cangkulnya. Saya tidak sedang menawarkan teori. Saya sedang mengajak anda pulang. Pulang ke nilai, pulang ke makna, dan pulang ke Islam sebagai jalan hidup. Bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai satu-satunya arah yang benar. Belajar Pendidikan Islam Yang Sebenarnya Di Sekolah Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Islam (MMPI) Kampus UNIDA Bogor Di tengah kebingungan sistem pendidikan yang sibuk mencari inspirasi dari luar, hadirnya Kuliah Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Islam (MMPI) di kampus UNIDA Bogor menjadi oase pemikiran yang jernih. MMPI kampus UNIDA Bogor tidak datang dengan jargon, tetapi dengan kesadaran. MMPI kampus UNIDA Bogor tidak menawarkan metode baru yang belum jelas, tetapi mengembalikan arah kebenaran yang sudah lama ditinggalkan. MMPI kampus UNIDA Bogor tidak sibuk membandingkan Islam dengan teori Barat, karena langsung menegaskan, bahwa Islam bukanlah sebuah jalan alternatif. Islam adalah solusi. Islam adalah sistem. Islam adalah jalan hidup. Dan pendidikan adalah salah satu jalur utama untuk menghidupkannya. Di kampus UNIDA Bogor ini, Islam tidak diposisikan sebagai pelengkap kurikulum, tetapi sebagai fondasi epistemologis. Islam bukan sekadar nilai tambahan, tetapi sumber nilai itu sendiri. Tauhid menjadi filosofi dan landasan utamanya. Maka MMPI bukan sekadar jurusan, tetapi gerakan pemikiran yang mengembalikan pendidikan ke arah yang benar. MMPI kampus UNIDA Bogor hadir untuk meluruskan pemikiran yang sungsang, yang selama ini menganggap Islam sebagai versi lokal dari teori global. Padahal Islam adalah wahyu, bukan wacana. Islam adalah petunjuk langsung dari Sang Pencipta manusia, bukan hasil eksperimen manusia. Maka ketika dunia sibuk menyusun kompetensi abad ke-21, MMPI UNIDA Bogor menyusun ulang kesadaran abad ke-7 yang telah terbukti membentuk peradaban. Abad dimana kelimuan dan keimanan menyatu dengan sangat indah dan harmonis, tanpa ada penyekat embel-embel ilmu agama dan ilmu selain agama. Semuanya adalah ilmu Allah Ta’ala. Dan ketika dunia sibuk mengejar inovasi, MMPI kampus UNIDA Bogor sibuk membangun integritas. Ketika dunia sibuk bicara efisiensi, MMPI kampus UNIDA Bogorselalu berbicara tentang keberkahan. Di ruang kuliah MMPI kampus UNIDA Bogor, mahasiswa tidak hanya belajar teori manajemen, tetapi juga belajar menjadi manusia yang bertanggung jawab atas ilmu dan amalnya. Mereka tidak hanya belajar menyusun rencana kerja, tetapi juga menyusun niat yang lurus. Karena dalam Islam, niat adalah awal dari semua manajemen. MMPI UNIDA Bogor tidak mengajarkan cara mengelola lembaga saja, tetapi cara mengelola jiwa. Tidak hanya bicara output, tetapi juga bicara akhlak. Tidak hanya bicara strategi, tetapi juga bicara syura, amanah, dan ihsan. Maka jika ada yang masih menganggap Islam sebagai alternatif, MMPI UNIDA Bogor hadir untuk menyadarkan. Bahwa Islam adalah sistem utama, bukan sistem tambahan. Bahwa Islam adalah kompas, bukan sekadar peta. Dan bahwa Islam adalah jalan lurus, bukan jalan samping atau jalan yang berputar-putar tanpa konsep dan tanpa tujuan yang jelas. Jadi, untuk Anda yang masih ragu, masih malu, atau masih enggan menerima Islam sebagai fondasi pendidikan, maka MMPI UNIDA Bogor mengajak Anda untuk berpikir ulang. Karena jika Anda belum menjadikan Islam sebagai kompas hidup, maka itu artinya anda belum paham arah. Dan jika Anda belum paham arah, maka Anda masih tersesat dalam sistem yang sibuk mengejar bentuk, tetapi lupa isi. Sibuk mengejar metode, tetapi lupa makna. Sibuk mengejar proyek, tetapi lupa tujuan. Mari bergabung bersama saya, dan dosen-dosen hebat lainnya, yang paham tentang bagaimana seharusnya sebuah sistem pendidikan yang sehat itu berjalan, yaitu sistem pendidikan dengan konsep Deep Learning nya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Wallahu’allam bisshowab Jakarta, 7 September 2025 *Dosen Prodi PAI, dan Pascasarjana MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI