Ummattv, Perikanan budi daya sering disebut juga dengan budi daya ikan atau akuakultur. Budi daya ikan menjadi salah satu andalan pemerintah dalam kegiatan ekspor. Potensi sumber daya alam Indonesia yang besar menjadi harapan untuk mengembangkan akuakultur. Pemerintah bahkan telah menetapkan beberapa komoditas seperti udang, lobster, dan rumput laut menjadi tumpuan ekspor. Namun, kebijakan pemerintah dengan melegalisasi penambangan sedimentasi dan pasir laut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada akhir Mei lalu menjadikan ekspor pasir laut dari Indonesia yang sebelumnya dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri kembali dibuka. Pemerhati lingkungan (Environmental Reporting Collective) menyatakan bahwa penambangan pasir yang masif, selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan Cina. Indonesia sendiri, Majalah Tempo juga menjelaskan tentang penambangan pasir laut di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di sana.
Pihak Destructive Fishing Watch (DFW) juga menyatakan klaim pemerintah bahwa pasir laut yang diekspor hanya berupa hasil sedimentasi bertentangan dengan hasil riset ilmiah. Riset ilmiah Physical Geography University of Sakatchewan tahun 2019, menyebutkan bahan baku yang dibutuhkan untuk proyek reklamasi bukan sedimen. Pasir laut yang digunakan untuk konstruksi reklamasi adalah yang berjenis angular atau bertekstur kasar. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah pasir yang ditambang dari dasar laut dan pantai.
Produksi perikanan Indonesia secara umum didapatkan dari perikanan tangkap dan akuakultur. Dalam akuakultur kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberhasilan produksi. Misalnya dalam budi daya rumput laut kondisi kualitas air dan dasar perairan baik sedimen maupun pasir harus berada pada keadaan yang baik. Menurut penelitian Nugraha di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara penambangan pasir merusak dan mengakibatkan menurunnya kondisi perairan di sekitar wilayah penambangan pasir yang merupakan areal budidaya rumput laut dan terjadinya abrasi pantai. Meningkatnya jumlah penambang pasir diduga berpengaruh terhadap kondisi perairan lokasi budidaya rumput laut dimana lokasi tersebut mengalami kekeruhan dan mengakibatkan banyak rumput laut tertutupi endapan lumpur.
Kebijakan pemerintah terkait legalisasi penambangan sedimenasi dan pasir laut perlu dievaluasi kembali demi terciptanya lingkungan pesisir yang berkelanjutan baik secara ekonomi maupun lingkungan. Sumber daya pesisir Indonesia yang luas perlu dijaga dengan melibatkan kerjasama semua pihak. Apabila legalisasi ini terus berlanjut maka diperkirakan dapat memengaruhi kondisi lingkungan perikanan sehingga dikhawatirkan produksi ikan maupun rumput laut Indonesia menurun drastis.