Imam Shamsi Ali*
Ummattv, Semakin termarjinalkannya kesadaran manusia tentang Tuhan atau tepatnya marjjnalisasi nilai-nilai ketuhanan (kefitrahan/kesucian) dalam hidup manusia menjadikan manusia semakin tidak sadar diri. “Mereka lupa Allah maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri” (Al-Quran).
Ketidak sadaran diri sebagai manusia yang secara esensial (mendasar) memiliki kefitrahan tadi menjadikan manusia semakin bingung dan kacau balau dalam cara pandang (mindset) maupun prilaku kehidupannya. Yang benar menjadi salah dan buruk. Yang salah boleh jadi dianggap benar dan baik.
Satu di antaranya adalah bagaimana manusia dalam dunia “so called modern” saat ini memandang konsep keluarga. Bahwa pandangan tentang dan Karakter dalam berkeluarga berubah secara mendasar. Konsep dasar keluarga menusia seperti pada semua ajaran agama-agama telah bergeser, bahkan terancam (being threatened).
Pergeseran atau ancaman kepada konsep Keluarga di dunia modern itu dapat terlihat pada segala aspeknya. Konsep perkawinan atau pernikahan yang secara traditional dikenal antara seorang pria dan wanita terancam dengan hadirnya apa yang disebut “universal marriage” dengan dasar “universal love” (cinta universal atau cinta lintas batas).
Akibatnya hubungan sesama jenis bukan lagi dianggap salah dan dosa. Sebaliknya bahkan menjadi bagian dari “basic human rights” (hak asasi mendasar manusia). Prakteknya dianggap sebagai bagian mendasar dari “freedom of choice” (kebebasan memilih) atau “freedom of expression” (kebebasan berekspresi).
Oleh karena hubungan sesama jenis ini yang terimplementasi dengan apa yang disebut “same sex marriage” (perkawinan sejenis), bahkan telah diformalkan (disahkan) dengan perundang-undangan, dari hari ke hari seolah menjadi pandangan “mainstream” dunia dalam mendefenisikan keluarga (khususnya di dunia so called Barat). Akibatnya setiap pandangan oposisi kepadanya dianggap melawan hukum dan nilai-nilai universal (kebebasan dan HAM) tadi.
Ancaman kepada tatanan keluarga dunia modern itu bahkan terjadi kepada upaya meruntuhkan institusi pernikahan. Pertanyaan nakal anak-anak muda seperti “emangnya dengan kata-kata: I do” dalam acara pernikahan menjadikan hubungan suami isteri berbeda dari yang tidak?”. Hal itu menggambarkan bahwa pemahaman keluarga tidak lagi terikat oleh institusi pernikahan. Itulah yang kita saksikan di kehidupan sebagian selebriti saat ini.
Contoh terdekat adalah bintang sepak boleh Ronaldo yang telah memilki beberapa anak dari “pacarnya”, Georgina Rodriguez. Syukurlah berita terakhir menyebutkan jika dengan diterimanya menjadi anggota sepak bola Saudi, Al-Nasar, Ronaldo segera akan menikahi pacarnya di Riyadh. Mungkin bagian dari jalan kebaikan bahkan hidayah baginya.
Ancaman lain kepada institusi pernikahan dunia modern adalah hadirnya konsep-konsep aneh dalam konsep cinta. Salah satunya adalah apa yang dikenal dengan cinta “silang”. Di mana sepasang suami-isteri boleh saja mencintai satu pasangan yang lain. Suami mencintai isteri orang. Dan orang itu mencintai isterinya. Demikian pula isteri masing-masing mencintai suami-suami tersebut. Jahatnya, konsep ini tidak terhenti pada batas perasaan. Tapi menjadi praktek hidup di mana mereka bisa saja melakukan hubungan suami isteri silang.
Generasi terabaikan
Selain pada konsep dan hubungan suami isteri dan pernikahan dalam dunia modern saat ini, ancaman itu juga sangat jelas pada sisi anak/keturunan. Dalam hal ini saya tidak berbicara tentang isu akidah atau agama. Tapi secara umum anak-anak menghadapi permasalahan mendasar dalam dunianya.
Keterbukaan dunia dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi, menjadikan anak-anak terekspos pada dunia yang boleh jadi secara mendasar sangat berbahaya bagi perkembangan dan “well being” (kesejahteraan) mereka. Dari ancaman moralitas (pornography misalnya) hingga ke tekanan mental karena media sosial dengan segala hiruk pikuknya menjadikan banyak anak-anak yang tertekan dan kehilangan jatidirinya.
Belum lagi realita di Amerika misalnya yang mengatakan bahwa 50% lebih anak-anak (generasi muda) merasa kesepian (lonely generation). Bahkan 2/3 persen atau 2 dari 5 generasi muda di Amerika merasa hidup tanpa makna atau tujuan yang pasti.
Akibatnya anak-anak atau generasi muda ini memiliki perasaan marah (angry) dan cenderung putus asa. Walhasil berbagai kekerasan termasuk penembakan menjadi pemandangan umum di negara yang merasa isrimewa (exceptional) ini. Indikasi itu nampak pada kecenderungan anak-anak muda bermain game atau Mendengarkan musik-musik yang bernada keras. Bahkan indikasi itu juga terlihat pada prilaku anak remaja kepada orang tuanya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh perusahaan internasional di bidang kesehatan bernama Cigna di tahun 2019 disebutkan bahwa salah satu penyebab dari generasi kesepian (lonely) dan marah (angry) itu karena mereka merasa terabaikan. Perhatian dan kasih sayang orang tua mereka rasakan sangat minim.
Kesimpulan dari semua itu adalah jika suami-isteri dan anak-anak telah mengamami kekacauan hidup seperti di atas maka tentunya institusi keluarga telah porak poranda. Dan dalam sebuah bangsa, bagaimanapun hebatnya, jika institusi kekuarga rusak maka bangsa itu dapat dikategorikan “a fail nation” (bangsa yang gagal).
Lalu apa solusi Islam menghadapi realita dunia modern ini? (Bersambung….).
* NYC Subway, 3 December 2023
* Presiden Nusantara Foundation