Imam Shamsi Ali*
Ummattv, Tgl 6 Juli lalu saya mendarat di kita Balikpapan. Konon kabarnya Balikpapan itu digelari sebagai ibukotanya Kalimantan. Sedangkan Samarinda sendiri adalah Ibukotanya Kalimantan Timur. Balikpapan dan Kalimantan Timur bahkan Kalimantan secara menyeluruh memang identik dengan kekayaan alam, khususnya di pertambangan dan Kelapa sawit.
Kunjungan saya ke Balikpapan kali ini sebenarnya tidak disengajakan. Hanya karena sebuah jepretan kamera HP yang diambil di sebuah acara di Makassar. Foto ini rupanya sampai ke Walikota Balikpapan, yang kemudian meminta agar saya bisa dihadirkan di kota ini.
Yang lebih spesial lagi, yang menjempret saya dengan HP di Makassar adalah Mayjen (purn) Andi Muhammad Mappanyuki, mantan Panglima Kodam Sultan Hasanuddin. Beliau yang lebih dikenal dengan Panglimata adalah salah seorang putra terbaik Sul-Sel. Gambar itu sendiri diambil oleh beliau ketika saya hadir berbicara di acara yang beliau adakan “berdzikir bersama Panglimata” di gedung Manunggal Makassar.
Perjalanan ke Balikpapan juga cukup melemahkan dan menyita energi dan waktu. Selain penerbangan harus transit di Surabaya, juga karena penerbangan itu tertunda selama sekitar 3 jam. Sehingga penerbangan lanjutan dari Surabaya ke Balikpapan harus dipindahkan ke penerbangan lainnya. Awalnya dijadwalkan mendarat pukul 4:30 sore, kini mendarat sekitar pukul 7:30 sore. Padahal acara bersama Walikota Balikpapan di Islamic Center harusnya dimulai pukul 7:30 malam.
Sesampai di bandara kami dijemput langsung menuju rumah jabatan Walikota. Kami disambut oleh Bapak Walikota dengan penyambutan yang luar biasa. Diikuti oleh jamuan malam untuk memastikan bahwa kami kenyang sebelum acara TabLig akbar dimulai.
Setelah santap malam kami bersama Walikota dan Panglimata’ diikuti oleh rombongan segera menuju Islamic Center yang telah dipenuhi oleh jamaah. Kami memasuki Masjid itu dengan rasa gembira dan haru melihat antusias jamaah yang luar biasa menyambut kami.
Acara dimulai dengan pembacaan Al-Qur’an. Dilanjutkan dengan sambutan Walikota. Tibalah masanya saya tampil di depan untuk menyampaikan ceramah umum. Sejujurnya perasaan saya malam itu sedikit berkecamuk. Rasa lelah dari perjalanan panjang, ditambah malam sebelumnya saya memang kurang tidur.
Untuk sekedar diketahui, kali ini saya sudah sengaja kembali ke tanah air dengan sebuah beban. Beban yang cukup berat yang rasanya tidak perlu saya rincikan di tulisan ini. Tapi beban itu cukup menjadikan saya kerap tidak bisa tidur nyenyap di malam hari. Ada perasaan tanggung jawab yang menghantui.
Karenanya ceramah saya malam itu melebar kemana-mana. Terasa tidak fokus. Padahal kebiasaan saya dalam ceramah adalah menyampaikan poin per poin dengan target yang jelas. Malam itu saya menyinggung banyak hal. Dari Islam dan Dakwah di Amerika, makna hijrah dan perubahan, hingga bagaimana seharusnya arah pembangunan yang digariskan oleh Islam.
Koneksi keberkahan langit dan keberkahan bumi.
Namun, dari sekian poin yang saya sampaikan malam itu, hal yang paling saya tekankan adalah urgensi memastikan keterikatan atau koneksi antara keberkahan langit dan keberkahan bumi. Saya seolah ingin memastikan bahwa dua arah keberkahan itu tidak tidak akan membawa “kebaikan maksimal” jika keduanya tidak terkoneksi secara baik.
Poin saya ini sesungguhnya bukan hal asing dalam konsep pembangunan (development) dalam Islam. Di Al-Qur’an sendiri Allah SWT menggariskan: “sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya akan Kami bukakan kepada Mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi”.
Ayat di atas menekankan bahwa sejatinya keberkahan (kebaikan, kenikmatan, kemajuan dan kesejahteraan) bumi hanya akan teruwjud jika keberkahan langit (agama, akidah dan ibadah) terperhatikan. Sehingga pada ayat itu didahulukan penyebutan “akan Kami bukakan bagi mereka keberkahan-keberkahan dari langit”. Setelah itu Allah menyebutkan “keberkahan dari bumi” tanpa menyebutkan lagi Kata-kata “akan Kami bukakan”.
Seolah dengan terbukanya keberkahan langit (kepedulian beragama) dengan sendirinya keberkahan bumi akan terbuka lebar. Sebuah konsep yang mungkin belum dipahami dan diyakini secara baik oleh umat ini.
Konsep keterikatan “barokaat samawiyah” (keberkahan langit) dan “barokaat ardhiyah” (keberkahan bumi) bukanlah hal asing bagi mereka yang paham agama. Hal itu tentunya dimulai oleh kenyataan bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan imbang. Dengan sendirinya langit dan bumi (batin dan jasad) adalah dua hal yang tak terpisahkan. Konsep hasanah fid-dunya dan hasanah fil-akhirah adalah konsep baku nan super populer di agama ini.
Jika konsep ini ditarik ke dalam ranah kebangsaan kita maka hal ini pastinya juga merupakan pandangan hidup kebangsaan yang mendasar. Indonesia adalah negara dan bangsa dengan Pancasila sebagai falsafah kehidupannya. Dan sila pertama dari Pancasila ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan yang menjadi falsafah kehidupan bangsa seolah menegaskan jika keberkahan pembangunan (kemakmuran) hanya akan terjadi jika nilai-nilai samawi ditinggikan. Membangun infrastruktur, jembatan, jalan tol, dan lain-lain, tidak akan maksimal tanpa meninggikan nilai-nilai samawi.
Itulah salah satu poin penting yang saya sampaikan pada kajian Muharram atau tahun baru Islam di Balikpapan kali ini. Hal yang melatar belakangangi kenapa hal ini saya tekankan adalah karena Balikpapan dan Kaltim secara umum dikarunia ragam keberkahan bumi. Keberkahan bumi itu perlu diimbangi dengan keberkahan langit (kepedulian Tuhan dan agama).
Saya senang dan bangga karena kali ini Balikpapan dipimpin oleh seorang Walikota yang luar biasa. Selain muda dan pintar, beliau juga adalah seorang pengusaha yang sukses. Tapi semua karunia Allah kepada beliau itu diikat dengan keberkahan langit (Keimanan).
Saya hanya mendoakan semoga beliau senantiasa dijaga oleh Allah di jalanNya, dikaruniai kebahagiaan lahir batin (dunia akhirat), serta diberikan kesuksesan dan keberkahan dalam segala usaha dan langkah-langkah dalam kebaikan. Amin ya Mujib!
Udara JKT-Dubai, 9 Juli 2023
* Presiden Nusantara Foundation