Oleh : HG Sutan Adil
Ummattv, Sebagai Kota Pusaka dan kota tertua di Indonesia, Palembang menjadi saksi bisu adanya keberadaan sistem pemerintahan dan kekuasaan sejak zaman dahulu. Tercatat ada kekuasaan Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam, Pedagang VOC, Kolonialis Belanda dan Inggris, serta menjadi salah sutu wilayah Pemerintahan di Republik Indonesia saat ini. Hal inilah yang menyebabkan banyak terdapat keberadaan peninggalan sejarah di Kota Palembang. Salah satunya adalah keberadaan bekas Keraton Kuto Gawang.
Keraton Kuto Gawang di abad ke XVI dan XVII, merupakan pusatnya pemerintahan Kerajaan Palembang dan layaknya bisa disebut sebagai Ibu Kota Kerajaan Palembang yang juga dihuni oleh rakyat Palembang yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa bangsa pendatang dari berbagai pelosok nusantara dan dunia. Sehingga Kota Palembang ini sudah pantas pula dibilang sebagai Kota Kosmopolitan karena ditandai dengan hadirnya masyarakat kosmopolitan global yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, bangsa, tingkat ekonomi, dan gaya hidup.
Lokasi tempat Ibukota Kerajaan Palembang sebagai pusat pemerintahannya ini dulunya dibangun di kawasan sekitar Kelurahan Sungai buah dan Kelurahan 1 Ilir, Kota Palembang, di tempat yang sekarang merupakan kompleks pabrik pupuk terbesar di Indonesia yaitu kawasan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).
Berdasarkan catatan sejarah, Inti dari Kota Palembang di masa Kerajaan Palembang itu berbentuk benteng persegi empat yang dan dikelilingi oleh dinding dinding kayu tebal dari kayu Unglen dan Kayu Besi glondongan yang rata-rata berdiameter 30x30 cm di setiap batangnya. Kota berpagar benteng itu mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1.093 meter), baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter).
Dihilirnya, ibukota ini dilindungi semacam benteng dari tonggak-tonggak kayu atau cerucup yang ditanam dan membentang di sempanjang depan bentenng keraton dan juga mulai dari Pulau Kemaro sampai Plaju di seberangnya. Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil yang terdapat di Sungai Musi, disampingnya terdapat beberapa pulau kecil lainnya ke hilir ke arah muara sungai sungsang di selat Bangka.
Ibukota yang berbenteng ini, sebagaimana dilukiskan berupa sketsa oleh Joan van der Laen, seorang panglima perang VOC yang menyerang Palembang di tahun 1659 M, menghadap ke selatan (Sungai Musi) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Disebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Tali Gawe, dan di sebelah baratnya dibatasi oleh Sungai Buah. Ketiga sungai ini terlihat terus lurus ke Utara dan satu sama lainnya tidak berhubungan.
Diseberang (Sebelah Hulu) bagian Selatan Keraton Kuto Gawang ini atau sebelah barat muara Sungai Komering, dikhususkan untuk pemukiman bagi orang orang asing dan juga Loji-loji dagang mereka. Dibagian selatan ini terlihat pemukiman dirakit dan darat dari warga asing tersebut seperti dari bangsa Arab, Cina, Inggris, Belanda, Portugis, dan Asing lainnya.
Dibelakang benteng kayu ini yang disusun secara rapih sekali dan teratur, terdapat pula tembok dari tanah dimana tersusun meriam-meriam pertahanannya. Dibagian pinggir sungai musi terdapat pula tiga Buluarti atau anjungan (bastion). Dua diantaranya yang terletak dibagian tengah dan barat adalah dibikin dari batu. Ketiga buluarti ini dilengkapi pula dengan alat-alat persenjataannya seperti meriam besar, meriam kecil atau lelo, dan lain sebagainya. Pintu utama masuk ke dalam kota ini adalah dari sungai rengas, dan begitulah terdapat pula pintu-pintu lainnya dari samping kiri kanan dan belakang.
Keraton Kuto Gawang yang merupakan sebuah kota yang dikelilingi pagar kota yang kokoh digambarkan tidak berdiri sendiri. Kota ini mempunyai pertahanan yang berlapis dengan kubu-kubu yang ada di Pulau Kemaro, Plaju, Baguskuning (Sungai Gerong) di samping cerucuk yang memagari dipasang memotong Sungai Musi antara Pulau Kemaro dan Plaju.
Jaringan sungai dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk sistem pertahanan kota. Di mana perlu telah dibuat juga parit keliling untuk pertahanan kota atau keraton. Terlihat bahwa Kekuatan Kuto Gawang ditopang oleh suatu sistem perbentengan dan kubu yang ada di bagian hilir Musi, yaitu benteng Tambak Bayo di muara Sungai Komering dan Benteng Martapura disebelah baratnya serta Benteng Manguntama dan Bamangagan di Pulau Kemaro, yang letaknya dekat dengan Keraton Kuto Gawang sebagai pelindung. Dengan sistem pertahanan ini membuat Ibukota dan Keraton Kuto Gawang menjadi terlindungi dari serangan musuh dan pedagang pedagang yang akan berbuat curang.
Namun pada tahun 1659 M, disaat Raja Palembang bernama Sido Ing Rejek, dengan kekuatan armada yang luar biasa besar saat itu, VOC dapat menaklukkannya dan membumi-hanguskan Ibu kota dan Keraton Kuto Gawang ini dibawah komando Joan Van Der Laen. Akan tetapi keberadaan VOC ini tidak bisa bertahan lama ,hanya beberapa minggu saja, karena terusir kembali oleh adik Raja Palembang, yaitu Ki Mas Hindi, melalui pemblokadean bahan pagan dan perjuangan gerilya dari hulu sungai musi.
Akibat pemblokadean pangan dan serangan gerilya ini, Joan Van Der Laen terpaksa kembali ke Batavia karena kehabisan stok pangan yg mengakibatkan kekuatan tentaranya melemah.
Sebelum melakukan serangan ini, komandan VOC saat itu Van der Laen terlebih dahulu membuat gambar2 sketsa tentang peta Ibu Kota Palembang dan Keraton Kuto Gawang ini, sehingga dari catatan dan sketsa inilah sejarah Keraton Kuto Gawang dapat terungkap dan menjadi pedoman penulisan sejarah Ibu Kota dan Keraton Kuto Gawang Kerajaan Palembang sampai sekarang.
(Sumber : Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang
*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 15/1/2023