Ketika manusia menyerahkan sebagian besar proses berpikirnya kepada AI, entah untuk efisiensi, kenyamanan, atau kecepatan, maka tantangannya yang muncul ...........
Oleh: H. J. FAISAL*
AI Bukan Hasil Dari Kehampaan Manusia
Jika saat ini banyak manusia yang mengatakan bahwa Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) (baik dalam bentuk robot produksi, robot humanoid, AI generatif, AI educative, Superintelligent AI, dan lain sebagainya) akan menggantikan fungsi manusia, maka itu artinya manusia sudah merasa ‘kalah’ terlebih dahulu sebelum bertarung.
Pernyataan seperti itu memang bisa mencerminkan kekhawatiran atau bahkan rasa pesimis terhadap kemampuan manusia itu sendiri. Seolah-olah ada anggapan bahwa manusia tidak bisa bersaing lagi, dan akan kalah dengan sistem buatan mereka sendiri.
Tapi di sisi lain, bisa juga itu bentuk kewaspadaan dan introspeksi, atau semacam alarm agar manusia tidak kehilangan arah dalam mengembangkan teknologi.
Namun yang menarik adalah, AI sendiri tidak muncul dari kehampaan.
Justru AI adalah hasil akumulasi pengetahuan, kreativitas, dan kerja keras manusia itu sendiri. Jadi kalau ada yang merasa “kalah” dengan ciptaannya sendiri, mungkin tantangan utamanya bukan soal kalah-menang, tapi soal bagaimana mengembalikan pola pikir dan cara manusia untuk bertindak, agar dapat berdampingan dengan ciptaannya (baca: AI) sendiri.
Jadi, masalah sebenarnya di sini bukanlah kalah atau menang bukan...?
Ya, melainkan soal kesadaran akan tanggung jawab dan peran manusia itu sendiri dalam era teknologi yang semakin canggih.
Tetapi yang pasti, kita sebagai manusia jangan pernah merasa inferior terlebih dahulu terhadap kemajuan teknologi yang terus berkembang saat ini, terutama kemajuan teknologi AI, karena kita sebagai manusia tidak boleh menyerahkan sepenuhnya cara berpikir kita kepada AI, karena manusia tetap harus menjadi pengendali utama teknologi canggih tersebut melalui pemikiran humanisnya.
Ketika manusia menyerahkan sebagian besar proses berpikirnya kepada AI, entah untuk efisiensi, kenyamanan, atau kecepatan, maka tantangannya yang muncul bukan sekadar teknis, tapi juga ‘eksistensial’.
Dengan kata lain, apakah manusia masih bisa mengolah makna, empati, dan nilai, saat logika dan data dikerjakan mesin? Di sinilah letak pentingnya ‘humanisme teknologi’, bahwa teknologi hanyalah alat, dan arah serta nilainya tetap ditentukan oleh hati nurani, etika, dan visi manusia.
Artinya, ketika manusia mulai membingkai segala sesuatu, termasuk nilai-nilai, etika, bahkan relasi antarindividu melalui lensa teknologi, maka arah humanisme bisa menjadi kabur.
‘Humanisme teknologi’ yang seharusnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan di tengah kemajuan digital, justru bisa melenceng ketika manusia meletakkan teknologi sebagai pusat makna, bukan sebagai alat.
Akibatnya, muncul paradoks: manusia menciptakan teknologi untuk memudahkan hidup, tetapi justru merasa terasing olehnya, dengan kata lain, manusia mampu menggunakan AI untuk memperkuat nalar, tapi mulai kehilangan intuisi dan empatinya sendiri. Seperti ungkapan filosofi klasik: ‘ketika alat berubah menjadi tujuan, maka orientasi hidup bisa tergelincir.
Jadi, secara logika, AI tidak pernah berniat mengambil alih atau mengalahkan humanisme manusia, karena AI tidak punya ambisi.
Justru manusialah yang memutuskan seberapa besar ruang yang diberikan kepada AI. Jadi perasaan inferior itu bisa jadi lahir bukan dari kekuatan AI, tapi dari kekhawatiran manusia sendiri akan kehilangan jati dirinya.
Peran Pendidikan Dalam Upaya Memanfaatkan Teknologi Sebagai Alat
Dalam masaslah ini, mungkin yang kita perlukan bukan hanya literasi digital, tapi juga kebijaksanaan digital, yaitu kemampuan untuk memaknai, memilah, dan memanusiakan teknologi.
Saat ini pendidikan masih teroaku dan terpukau dengan munculnya teknologi canggih di bidang informasi dan pendidikan itu sendiri, seakan-akan masalah inti pendidikan telah selesai dengan kehadiran AI atau teknologi-teknologi humanis lainnya.
Padahal sejatinya, tujuan pendidikan itu sendiri adalah agar manusia mempunyai rasa empati dan logika berpikir yang benar, serta mampu beradaptasi dengan kemajuan di sekitarnya,
Dengan kata lain, teknologi bukanlah solusi final, melainkan sarana pendukung untuk meraih tujuan yang lebih luhur dalam pendidikan.
Kehadiran AI dan teknologi digital memang memberi ilusi kemajuan instan, antara lain akses ke informasi menjadi mudah, tugas administratif terotomatisasi, dan pembelajaran bisa dibuat sangat mudah dan menarik secara visual.
Namun, inti pendidikan tetaplah pembentukan karakter, pengasahan nalar kritis, serta penanaman empati dan tanggung jawab sosial. Dan pastinya, semua itu tidak bisa digantikan oleh kecanggihan algoritma semata.
Bahkan menurut saya, bila tidak hati-hati, kita bisa terjerumus pada pendidikan yang mekanis dan konsumtif, dimana siswa akhirnya hanya menjadi penerima informasi, bukan pencipta makna.
Padahal, seperti yang sering saya tegaskan dalam tulisan-tulisan saya, bahwa pendidikan seharusnya membekali manusia agar mampu berpikir sendiri, berperasaan, dan beradaptasi secara bijak terhadap realitas yang terus berubah.
Dan yang seharusnya menjadi tugas kita bersama sebagai insan akademis sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan teknologi secara bijak dalam membantu kehidupan manusia agar menjadi lebih mudah dan efisien, dan bukan mengagungkannya.
Inilah yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran kita bersama, ketika pendidikan mampu berbicara tentang bagaimana menjelaskan kemajuan teknologi, namun tidak mampu lagi mengasah nalar dan akal manusia untuk tetap menjadi mahluk sosial yang sejatinya selalu memerlukan interaksi dengan sesamanya, dan mengungkaplkan rasa empatinya secara alamiah, dan bukan dengan mesin algoritma.
Saya rasa kekhawatiran ini layak mendapatkan perhatian serius dari kita semua sebagai sesame insan pendidik, karena pendidikan sejatinya bukan hanya soal ‘mentransmisikan pengetahuan’, melainkan membentuk kepribadian dan memperkuat kualitas kemanusiaan seseorang.
Mengapa demikian? Karena ketika teknologi menjadi pusat perhatian dalam pendidikan, bahkan seolah-olah menjadi tolak ukur keberhasilannya, maka risiko terbesar adalah, manusia hanya akan dididik untuk menjadi efisien, tapi bukan untuk menjadi bijak.
Nilai seperti empati, kesabaran dalam dialog, kemampuan mendengar dengan tulus, serta keberanian untuk mempertanyakan dengan santun, semua itu tidak bisa diajarkan lewat antarmuka digital semata.
Kata kunci alamiah yang sudah saya singgung di atas sejatinya menjadi begitu penting saat ini, sebab empati sejati bukanlah respons yang diprogram, melainkan getaran batin yang muncul dari pengalaman dan perjumpaan. Dan itu hanya bisa tumbuh jika ruang pendidikan memberikan tempat untuk keheningan, refleksi, dan kebersamaan.
Kenaifan Yang Perlu Dirawat
Pendidikan yang sehat seharusnya justru menumbuhkan relasi antarmanusia yang otentik. Tanpa interaksi langsung, intuisi sosial bisa tumpul, dan rasa empati bisa menjadi artifisial, hanya mampu diekspresikan dengan emoji atau stiker-stiker buatan, tetapi tidak dapat dirasakan maknanya dengan sepenuh hati.
Karena itulah mendesaknya, diperlukan sebuah sistem pendidikan yang mampu mengeluarkan rangsangan alami manusia itu sendiri untuk berinteraksi secara sosial, namun tetap mampu mengikuti kemajuan perkembangan teknologi yang digunakan untuk kebaikan, karena disitulah fungsi utama pendidikan, agar manusia mampu berpikir baik, berkata baik, dan bertindak baik,
Pendidikan ideal bukan hanya mencetak manusia pintar, tetapi cerdas dalam menghidupkan manusia yang utuh, yang mampu berpikir jernih, berkata dengan kasih, dan bertindak dengan kebijaksanaan.
Teknologi memang bisa menjadi kendaraan menuju masa depan, tapi yang menentukan ke mana dia bergerak tetaplah ‘kompas moral dan sosial’ yang tertanam dalam diri manusia. Di sinilah pentingnya sistem pendidikan yang merangsang respons alami, bukan sekadar mengisi memori.
Terdengar naif memang, tetapi itulah yang sedang terjadi. ketika pendidikan sudah tidak lagi perduli tentang 'kenaifan' tersebut, dan lebih mementingkan kepada pendidikan yang berorientasi kepada pragmatisme dan materialisme, maka itulah saatnya manusia harus mengucapkan selamat tinggal kepada sesama manusia, kepada alam, bahkan kepada penciptanya, sehingga hanya kehancuran yang akan terjadi, seperti perang, untuk perebutan sumber daya, kekuasaan, dan ketimpangan sosial.
Namun bagaimanapun, jika ini memang harus disebut sebagai ‘kenaifan,’ maka mungkin justru kenaifan seperti inilah yang perlu dirawat, karena dia lahir dari nurani yang masih jernih, dari hati yang belum tumpul oleh gempuran logika transaksional dan obsesi efisiensi.
Karena ketika pendidikan tidak lagi mengajarkan manusia untuk mencintai sesamanya, untuk bersyukur pada alam, dan untuk merendahkan diri di hadapan Pencipta, maka sesungguhnya manusia sedang menyiapkan jalan sunyi menuju keterasingan dan kehancurannya sendiri. Perang, eksploitasi, dan segala macam bentuk ketimpangan sosial, itu hanyalah gejala dari hilangnya jiwa kemanusiaan dalam proses pendidikan dan kehidupan itu sendiri.
Penutup
Berdasarkan pemaparan pemikiran saya yang sangat sederhana di atas, maka dapat ditarik sebuah hipotesa yang cukup sederhana pula, bahwasannya kecerdasan buatan (AI) tidak akan menggantikan ‘posisi’ manusia, selama pendidikan mampu membekali peserta didiknya dengan kemampuan berpikir reflektif, aktif, serta pemahaman terhadap sesama manusia.
Sekali lagi, AI memang dapat memproses data, namun tidak bisa menggantikan intuisi, penilaian moral, dan kebijaksanaan kontekstual, hal-hal yang hanya bisa dimiliki oleh manusia,
Penguasaan teknologi semata, tidak cukup untuk menghadapi tantangan masa depan. Pendidikan harus mampu membentuk karakter, empati, dan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang tidak dapat direplikasi oleh algoritma mesin.
Dan jika pendidikan gagal menanamkan kemampuan ini, maka manusia akan tersisih, bukan karena AI lebih cerdas, melainkan karena manusia menyerahkan seluruh proses berpikirnya kepada algoritma mesin. Pendidikan harus mendorong peserta didik untuk memahami pemikiran orang lain.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung dengan kecanggihan teknologi saat ini, kemampuan untuk memahami perspektif berbeda, membangun dialog, dan menyusun makna bersama merupakan keterampilan dasar yang tidak bisa ditiru oleh AI.
Pada dasarnya, AI pastinya akan selalu bisa berkembang, tetapi hanya manusia yang dapat merasakan, memaknai, dan menyadari dan menjaga akar kemanusiaannya, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk takut dikalahkan atau akan tergantikan ‘posisi’nya oleh AI.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 29 Juli 2025
*Dosen Prodi PAI Pascasarjana UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI