Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. Founder Komunikasyik.com)
Ummattv, Media Sosial (medsos) adalah medan perang. Di sana, banyak kepentingan (politik) diperebutkan. Masing-masing memainkan opini dengan beragam argumen. Sementara, di dunia pemasaran digital (online), tak kalah beragam brand (jenama) saling bersaing untuk mendapatkan tempat di mata publik (konsumen). Harapan semua pihak, tentu hadir produktivitas yang melahirkan kemenangan dan kemakmuran. Masing-masing menawarkan kelebihan dari segi ide (gagasan), produk baik barang maupun jasa serta personal branding (citra diri) dari tokoh tertentu, terutama tokoh politik yang bakal bersaing pada pemilu legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden di 2024 nanti.
Sayangnya, dalam perspektif komunikasi digital, harapan atas produktivitas menyisakan banyak problem efek samping. Semuanya itu muncul karena ketiadaan pendidikan literasi digital yang cukup, terutama pemahaman yang baik terkait penggunaan media sosial (medsos). Akibatnya, yang tampak lebih banyak pola-pola komunikasi nir adab, maraknya kabar bohong (hoaks), mis informasi dan dis informasi, kurangnya tabayun (koreksi dan cek kebenaran informasi). Alih-alih mendatangkan produktivitas yang membuka peluang kesejahteraan, dunia digital memaksa orang menelan informasi secara instan, cepat dan massal yang justru memunculkan efek yang disebut Nicholas Carr (2010) dalam The Shallows, bisa mendangkalkan cara berpikir kita. Kondisi demikian tentu tidak bisa dianggap remeh.
Tahun Politik
Bursa pemilu legislatif, capres dan cawapres 2024 telah dibuka. Artinya, kita sedang memasuki tahun politik. Banyak kekhawatiran publik yang dirasakan. Satu diantaranya, masyarakat bakal terbelah (terpolarisasi), lebih-lebih jika capres dan cawapres hanya dua pasang calon saja. Kegaduhan politik semakin menganga, saling serang antar tokoh, tak hanya melalui komunikasi verbal di media massa baik cetak maupun elektronik tapi juga melalui media sosial (medsos). Di platform terakhir ini, biasanya melibatkan para buzzer (pendengung) dengan satu tujuan saja, calon yang didukungnya menang pemilu. Alih-alih pesta demokrasi pemilu 2024 menjadi ajang pesta gagasan, yang hadir bisa jadi malahan kekacauan dari segala ranah. Tahun politik kali ini benar-benar menjadi pertaruhan peradaban (keadaban) demokrasi kita.
Tahun 2023 menjadi tahun di mana partai politik pasti bakal bekerja maksimal. Tentu agar bisa lolos ambang batas parlemen pemilu 2024 dan juga sekaligus bisa mengantar calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya bisa memenangi kontestasi pilpres. Ada ujian besar di tahun politik, diantaranya ujian stabilitas politik bisa tetap terjaga. Beban paling berat tentu saja di pundak penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Bagaimana ujian netralitas benar-benar dipertaruhkan. Termasuk di dalamnya adalah pemerintah dan aparat yang mesti terus terjaga netralitasnya. Upaya mewujudkan pemilu yang jujur, bersih, demokratis dan adil menjadi harapan semua pihak. Pemilu dengan sistem politik yang terbuka juga menjadi harapan. Di mana rakyat atau pemilih bebas memilih caleg yang dia kenal, disukai tak terbukti reputasinya. Bukan pemilu tertutup yang hanya mencoblos gambar partainya saja tanpa disertai rincian nama caleg.
Upaya menjaga stabilitas politik, Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) secara rutin menggelar apa yang disebut dengan sosialisasi Empat Pilar (Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika). Upaya normatif ini bertujuan menjaga persatuan dan kesatuan di tahun politik. Memahamkan bagaimana misalnya demokrasi perwakilan menjadi salah satu bagian dari pelaksanaan Pancasila, sila keempat mengantarkan demokrasi menjadi persatuan bangsa, bukan sebaliknya, justru menyisakan keterpecah-belahan bangsa. Sosialisasi Empat Pilar pula yang memberikan pemahaman bahwa menjelang pemilihan umum (pemilu 2024), saat ini rakyat telah punya semangat dan kesadaran politik. Yang artinya, telah punya apa yang disebut dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Sementara, kunci demokrasi Indonesia adalah kedaulatan rakyat, di mana kedaulatan tidak akan mungkin menjadi kekuatan tanpa persatuan. Dengan persatuan sebagai bingkai dalam pertarungan elektoral, maka yang memenangkan kontestasi pemilu akan mengedepankan kepentingan rakyat, bukan segelintir kelompoknya saja.
Indonesia, akan menyelenggarakan pemilu serentak di 2024 nanti. Tak hanya menentukan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD, tapi juga Gubernur, Bupati, Walikota bersama wakilnya masing-masing. Kesadaran pentingnya Empat Pilar demikian, perlu dimiliki oleh setiap kandidat yang bakal bertarung. Satu inspirasi paling diperlukan melalui Empat Pilar ini adalah spirit keadaban ruang publik. Suhu politik yang memanas jelang pemilu tak terhindarkan, akan tetapi ruang publik tak boleh diisi dengan narasi yang memecah belah persatuan. Memang, dinamika politik akan terus diwarnai dengan silang pendapat dan perdebatan melelahkan. Terlebih saat ini, era disrupsi informasi dan post-truth politik, sangat mudah menyebarkan kebencian dan berita bohong. Akan tetapi, narasi kebaikan tak boleh kalah dengan narasi adu domba dan kebencian.
Di sini, sebelum masyarakat dituntut untuk memegang teguh norma-norma yang dianjurkan dalam Empat Pilar, sejatinya justru sang kadidat peserta kontestasi yang harus memiliki dan mengamalkan terlebih dahulu. Dalam konteks media sosial (medsos), diperlukan apa yang disebut dengan istilah digital leadership, seorang kandidat yang bukan menjadi seorang ahli (teknologi) akan tetapi mereka yang cukup punya wawasan dan pengetahuan dalam dunia digital terutama soal moral dan etika dalam dunia media sosial (medsos).
Hal ini diperlukan. Seni memimpin di era digital diharapkan mampu memberikan warna yang positif. Dengan bantuan teknologi terbaru, termasuk media sosial (medsos), kandidat seharusnya bisa memanfaatkannya sebagai media strategi komunikasi, menawarkan beragam ide, gagasan dan program-program perubahan (pemberdayaan). Bukan larut dalam arus konten negatif baik disadari atau tidak seperti memainkan politik berbasis SARA, penyebaran kabar bohong (hoaks), misinformasi, disinformasi maupun kampanye hitam (black campaign).
Kearifan Komunikasi
Melahirkan digital leadership yang kokoh, satu kemampuan penting yang diperlukan adalah kearifan komunikasi di media sosial (medsos). Layaknya hakikat komunikasi yaitu untuk mencapai, kesepahaman bersama, saling pengertian (mutual understanding), maka kearifan yang melingkupi kecerdasan dan kebajikan memegang peranan besar melahirkan wajah komunikasi politik di media sosial (medsos) yang berkeadaban. Dewdney (2006) dalam The New Media mengatakan bahwa ketika bicara media sosial (medsos), tidak melulu tentang teknologinya, akan tetapi sangat terkait dengan konteks budaya dan praktik penggunaan medianya. Merujuk pemahaman demikian, kajian komunikasi di ranah digital tentu saja tidak melulu fokus tentang perkembangan terbaru teknologinya, justru yang lebih penting adalah relevansi kekinian, bagaimana melahirkan masyarakat yang beradab di tahun politik yang sedang berlangsung saat ini.
Sebuah tawaran kerafifan komunikasi yang bisa dihadirkan, salah satunya adalah kearifan komunikasi profetik. Sebuah kearifan komunikasi berbasis kenabian yang jauh hari basis intelektualnya sudah dipaparkan oleh Prof. Kuntowijoyo Di mana istilah profetik sendiri difungsikan sebagai paradigma atau cara pandang berdasarkan tujuan etis tertentu. Sebuah cara pandang yang menggunakan spirit kenabian. Tak hanya berarti komunikasi yang mencontoh bagaimana tata cara nabi dalam berkomunikasi, akan tetapi lebih jauh dari itu, bagaimana menjalankan komunikasi yang selalu berusaha meneladani tujuan kenabian.
Basis teologis spirit profetik diambil dari Surat Ali-Imran ayat 110 dalam Al-Quran yang bunyi artinya “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. Kuntowijoyo menyerap ayat tersebut dengan istilah akademis sebagai humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (al iman billah). Untuk melahirkan keadaban komunikasi, spirit profetik ini penting menjadi rujukan.
Pertama, humanisasi (amar ma’ruf). Terkait dengan bagaimana arus komunikasi di media sosial (medsos) semestinya melahirkan semangat memanusiakan manusia. Dalam istilah bahasa Jawa “Nguwongke”. Dalam arti, di tahun politik kali ini, tak hanya menjadikan rakyat (publik) sebagai obyek yang melulu dimobilisasi untuk mendukung kandidat calon tertentu. Tapi, menjadikan mereka sebagai manusia dengan kesadaran politik untuk bisa berpartisipasi aktif. Bisa bersuara dengan bebas. Pemilu menjadi ruang bagi publik menyuarakan beragam kegelisahannya. Justru kandidat (calon) harus lebih banyak mendengar suara rakyat, bukan justru terus menerus menjejali beragam politik pencitraan nir gagasan bahkan lebih banyak menjadi sampah digital dengan maraknya foto kandidat terpampang besar-besaran dalam setiap materi kampanye.
Kedua, liberasi (nahi munkar). Arus komunikasi media sosial (medsos) sudah semestinya tidak lagi toleran terhadap kabar bohong (hoaks), adu domba, diskriminasi, politik SARA, kampanye hitam (black compaign), mis informasi, dis informasi serta ujaran kebencian. Arus komunikasi di media sosial (medsos) mestinya menghidarkan itu semua, baik dilakukan oleh kandidat, para influencer (pemengaruh), buzzer (pendengung) bahkan publik (rakyat) sendiri. Banyak yang berpandangan bahwa semuanya itu sulit terwujud. Tetapi, sulit itu kategori bisa. Artinya, dengan usaha maksimal, beragam performa negatif tersebut bisa ditekan sekecil mungkin.
Ketiga, transendensi (berketuhanan). Layaknya Pancasila, hanya bisa maksimal dijalankan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Hukum positif seperti UU ITE barangkali tidak cukup menakutkan bagi pelanggar hukum di media sosial (medsos). Satu-satunya jalan terakhir menjadikan orang berindak arif dalan berkomunikasi adalah kembali pada hati nurani dan ajaran agama masing-masing. Ucapan dan tindakan dikembalikan kepada pengamalan ajaran masing-masing. Itulah spirit transendensi sebagai pengawal gerak beragam komunikasi etis di media sosial (medsos).
Terakhir, iklim politik di tahun politik memang mengkhawatirkan. J.A Liorente (2017) dalam The Post-Truth Era menyebutnya dengan era post-truth. Sebuah iklim sosial politik di mana obyektifitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang benar. Maka, agar terhindar dari fenomena demikian, kearifan komunikasi profetik di media sosial (medsos) bisa menjadi jawaban atas ucap dan gerak langkat kandidat maupun publik. Hanya dengan usaha demikian, keadaban digital menjadi mungkin untuk kita harapkan. []