Kampanye LGBT, Jangan !

Kampanye LGBT, Jangan !

Jauh hari, Marshall McLuhan telah menyebut media sebagai “The Extension of Man” (kepanjangan manusia). Lewat media, manusia mendapatkan beragam informasi.

Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. Tinggal di Depok)

Anda lesbian atau homo, orang tidak begitu peduli. Tapi ketika Anda coba kampanye kalau LGBT itu sah, wajar, bukan penyimpangan seksual, maka Anda akan berhadapan dengan mayoritas publik.

Ya, mereka yang masih punya akal waras, meyakini fitrah dan tentu saja ajaran masing-masing agama yang dianutnya. Karena, saya yakin tak ada satupun agama di Indonesia yang melegalkan LGBT. Inil pemahaman sederhana, terang benderang dan jelas. Tapi, kenapa LGBT masih saja menjadi polemik?

Saya tak akan bahas LGBT dari segi kejiwaan, bukan ranah saya. Tapi saya hanya fokus pada perspektif komunikasi yang salah satunya menaruh perhatian pada pesan (message) komunikasi. Lebih tepatnya perhatian terhadap arus informasi publik.

Seperti kejadian yang hangat beberapa hari ini. Masih marak beragam komentar tentang tayangan podcast Deddy Corbuzer yang mengangkat tema pasangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mengundang pasangan homo ke acaranya. Tayangan yang dinilai memberi ruang dan mengkampanyekan LGBT. Sebuah provokasi yang membahayakan masa depan anak-anak kita.

Derasnya protes netizen (warganet) kemudian memaksa sang host meminta maaf dan menghapus konten yang sudah diunggah. Ini sebuah fenomena yang tak boleh dibiarkan dan dilupakan begitu saja. Harus ada refleksi kritis kenapa tayangan-tayangan berbau kampanye LGBT ini masih terus saja terjadi dan diproduksi.

Seolah tak pernah jera para kreator kontennya. Lagi-lagi, publik kembali harus tergopoh-gopoh untuk melakukan kontra wacana terhadap kampanye LGBT yang coba merangsek masuk dari berbagai jalan. Bahkan para pendukungnya sangat percaya diri sekali mengatakan LGBT bukan penyimpangan seksual, tapi variasi alam semesta. Alamak.

Tak hanya bagi para pelaku LGBT. Bahkan marak mereka yang mengaku aktivis HAM, praktisi media, buzzer, pekerja LSM, begitu bersemangat mengkampanyekan LGBT. Semua itu atas nama pembelaan terhadap minoritas. Tapi, apakah mereka benar-benar memperjuangkan minoritas? Belum tentu.

Isu LGBT memang “seksi”, banyak dana yang digelontorkan di mana banyak pula lembaga sengaja pro LGBT untuk bisa mengakses proyek. Dananya banyak. UNDP misalnya, beberapa tahun silam saya pernah kucurkan 108 M untuk dukung LGBT di Indonesia dan tiga negara Asia. Begitulah, kenapa isu ini begitu menggiurkan. Itu baru UNDP, tentu masih ada dan banyak lembaga lain yang bisa berikan dana segar untuk kampanye LGBT.

Nah, apakah dengan demikian publik tak bisa melawannya? Tentu bisa. Caranya? Dengan literasi media. Sebuah usaha menjadikan publik berdaya di hadapan media, berdaya atas tayangan-tayangan yang sekiranya membahayakan. Di media, khususnya di layar kaca (televisi), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memang sudah punya aturannya. Kampanye LGBT sangat dilarang tayang di televisi. Melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012. Artinya, KPI tidak memberikan ruang sama sekali bagi promosi LGBT. Hanya, tanpa adil publik, peraturan sebatas peraturan.

Dengan literasi media, bisa melahirkan partisipasi publik. Artinya, kita juga bisa ikut ambil bagian. Masyarakat berhak bilang “Tidak” atau “Jangan” atas promosi LGBT. Kita berhak mengontrol media agar lebih humanis dan tidak aneh-aneh. Kita berhak mengintervensi media (televisi dan radio) karena sejatinya frekuensi televisi hanya dipinjamkan. Frekuensi milik publik.

Untuk radio selama lima tahun, untuk televisi sepuluh tahun. Artinya, kita punya hak mendorong tayangan televisi dan radio memberikan kemanfaatan publik. Bukan sebaliknya, membiarkan televisi dan radio dengan seenaknya berkampanye mempromosikan LGBT, baik terang-terangan maupun terselubung.

Masalahnya sekarang, siapa yang mengontrol tayangan semisal Youtube? Di sini, ada kekosongan hukum. KPI sendiri berniat kelak bisa turut andil dalam mengawasi tayangan di Youtube. Tapi pekerjaan rumah KPI mengawasi tayangan beragam stasiun televisi sudah begitu berat dan kerap kecolongan.

Di sinilah partisipasi publik diperlukan. Kritik atas promosi LGBT perlu terus disuarakan. Hanya kekuatan publik, warganet, netizen kritis yang memungkinkan melawan kampanye dan promosi LGBT.

Jauh hari, Marshall McLuhan telah menyebut media sebagai “The Extension of Man” (kepanjangan manusia). Lewat media, manusia mendapatkan beragam informasi. Hanya, yang harus dipahami, realitas (informasi) yang disampaikan media adalah realitas yang sudah diseleksi, yang sering disebut realitas tangan kedua (second hand reality).

Itu sebabnya, kita tak boleh membiarkan media “curi-curi” agenda promosikan LGBT dalam siarannya. Begitu juga tak boleh biarkan narasi dalam arus informasi di media sosial didominasi mereka yang pro LGBT. Betul, kita harus punya pikiran terbuka (open minded) atas beragam pandangan dan opini. Tapi tidak untuk promosi dan kampanye LGBT.


Sebelumnya :
Selanjutnya :