UMMATTV, JAKARTA--Hijrah dalam Islam berpindah dari kondisi yang serba mengekang menuju keadaan yang lebih merdeka. Nabi dan kaum muslimin berpindah dari Makkah yang penuh ancaman ke daerah baru di Yasrib yang lebih bebas untuk menjalankan ajaran Islam untuk kebahagiaan hidup sejati manusia di dunia dan akhirat.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menukil QS. Al Baqarah ayat 218 di mana Allah menggambarkan dalam Al-Quran tentang hijrah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 218).
“Hijrah satu kesatuan dengan transendensi keimanan dan humanisasi proses mujahadah dalam kehidupan. Hijrah bukan soal perpindahan dari Mekkah ke Yastrib tapi juga proses perubahan untuk menuju satu tata baru,” kata Haedar dalam kajian Menyambut Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah pada Senin (09/08).
Haedar menerangkan setelah Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau banyak meletakkan fondasi-fondasi untuk membuat Muslim diterima dan membuatnya sebagai pemimpin teladan. Bahkan, rasa hormat ini juga datang dari warga non-Muslim, salah satunya dari warga Yahudi.
“Akhirnya terbangun peradaban yang lahir dari Islam, laki-laki dan perempuan dimuliakan martabatnya, Muhajirin dan Anshar bersatu. Setelah Nabi Saw wafat, dinamika internal di antara umat Islam pasti terjadi,” tutur Haedar.Haedar kemudian menegaskan bahwa hijrah merupakan proses berkelanjutan dengan spirit perubahan menuju ke keadaan yang lebih baik lagi. Dalam sejarah zakat, misalnya, pada zaman Abu Bakar bahkan pemerintah harus sampai turun tangan menertibkan orang-orang yang membangkang bayar zakat. Dalam hal ini, Haedar mengungkapkan bahwa Muhammadiyah termasuk pelopor regulasi dan pengorganisasian zakat secara profesional.
“Coba bayangkan ada kesadaran zakat ditarik menjadi pranata modern yang terorganisasi, itu rintisan Kiai Dahlan di samping sekolah, poliklinik, panti asuhan, rumah yatim, dan lain-lain,” ungkap Haedar.Ciri khas yang paling melekat pada diri seorang Kiai Dahlan yang berbeda dengan tokoh pembaharu lainnya semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, kata Haedar, adalah mampu melahirkan pranata modern dalam wujud lembaga. *
Sumber: Muhammadiyah.or.id