UMMATTV YOGYAKARTA--Bangsa Indonesia masih mengalami musibah berat. Pandemi Covid-19 minggu terakhir bahkan melonjak. Kematian terkait Covid di negeri ini sampai 27 Juni 2021 dari data Kemenkes RI sebanyak 57.138 orang. Rumah sakit overload, demikian pula para dokter dan tenaga kesehatan serta petugas lainnya bekerja superekstra melebihi beban, di antaranya terkena positif Corona dan meninggal. Dampak sosial-ekonomi dan lainnya akibat pandemi ini semakin berat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, jika tidak tertangani dengan seksama dan optimal, sungguh sangat berat beban yang dialami rakyat, lebih-lebih rakyat kecil yang mayoritas di negeri ini.
“Kehidupan rakyat semakin susah dan banyak tekanan. Ancaman jiwa oleh virus Covid-19 sangat besar dan mematikan. Tidak tahu persis kapan kondisi dan musibah berat ini akan berakhir. Beberapa tahun ke depan tentu merupakan hari-hari yang sulit dan berat bagi bangsa Indonesia. Kita terus ikhtiar dan munajat kepada Tuhan agar mampu keluar dari musibah yang sangat berat ini,” tutur Haedar pada Senin (28/6).
Karenanya, Haedar meminta kepada para elite yang sedang kontroversi soal isu presiden tiga periode maupun isu-isu panas lainnya, alangkah bijaksana bila menghentikan kegaduhan.
“Hentikan isu itu dan biarlah menjadi bagian dari wacana sesaat, sebaliknya alangkah elok bila dihentikan demi mencegah kedaruratan. Kasihan rakyat kecil yang menanggung beban berat akibat pandemi maupun oleh kondisi kehidupan kebangsaan yang sarat beban. Rakyat kecil itu hanya untuk mempertahankan diri, bisa bekerja serabutan, dan mencari sesuap nasi saja betapa susah dan sangat tidak mudah. Mereka serba terbatas dalam segala hal, sehingga pandemi ini makin menambah beban hidup bagi saudara-saudara kita yang rakyat kebanyakan itu,” jelas Haedar.
Boleh jadi para elite yang terus berdebat soal-soal bangsa atau isu panas itu tidak terganggu dengan pandemi Covid-19. Mereka sudah mapan atau establish dalam segala hal, bahkan berlebih. Sehingga tidak ada beban dalam situasi berat ini, yang bagi rakyat kecil sungguh sangatlah berat.
“Mungkin dengan memproduksi isu-isu kontroversial malah akan mendapat lebih banyak nilai-tambah bagi para elite itu. Namun bagaimana dengan tanggungjawab etik dan sosial di tengah bangsa yang tengah menghadapi musibah besar? Di sinilah kearifan para elite sangatlah diharapkan,” tegas Haedar.
Memang demokrasi yang sudah menjadi paradigma utama kehidupan kebangsaan di negeri ini sangat membolehkan untuk memperbincangkan isu-isu yang dianggap menyangkut hajat hidup bangsa dan negara. Sebaliknya tidak ada larangan, bahkan dianggap bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi bila ada larangan memperbincangkan isu-isu kebangsaan yang kontroversial sekalipun. Tetapi demokrasi juga menuntut pertanggungjawaban moral dan sosial ketika bangsa dan negera saat ini tengah memghadapi masalaah yang lebih besar.
“Demokrasi itu bukanlah tujuan, tetapi instrumen untuk mencapai tujuan negara. Di luar demokrasi masih terdapat aspek moral, etika, dan tanggungjawab atau kewajiban warga negara untuk tegaknya keadilan, kebaikan, perdamaian, persatuan, dan keutuhan Indonesia. Bila isu yang diperbincangkan itu dianggap untuk mencegah keterbelahan politik Indonesia, sebaliknya maka terbuka pula kemungkinan bahwa melalui isu-isu panas itu malah bangsa Indonesia menjadi terbelah secara nyata. Politik Indonesia itu menuntut moral dan nilai “hikmah kebijaksanaan” sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila, bukan sekadar politik nilai-guna dan asas kebebasan belaka,” terang Haedar.
Indonesia setelah reformasi itu memang kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya sangat demokratis, bahkan demokrasi menjadi overproduksi. Namun perlu dicatat, bahwa demokrasi itu sarana dan bukan tujuan. Selain itu demokrasi dalam praktiknya selama hampir dua dasawarsa ini demokrasi substansial semakin terkalahkan oleh demokrasi prosedural yang pragmatis dan liberal.
“Siapa yang dapat menghentikan politik uang, transaksional, dinasti, dan oligarki akibat demokrasi yang prosedural, liberal, dan overproduktif di negeri ini saat ini. Kurang apa lagi demokrasi di negeri ini, yang dalam sejumlah hal dan prosesnya memgalami deviasi dan distorsi dari jiwa Pancasila dan konstitusi yang diletakkan para pendiri Indonesia tahun 1945,” jelas Haedar.
Kontroversi isu atasnama demokrasi juga harus diperhitungkan dampaknya bagi masyarakat. Boleh jadi karena sebagian warga ikut mengkonsumsi isu-isu kontroversial atasnama demokrasi itu, terbuka kemungkinan sebagian warga pun terbawa arus, yang akhirnya terlibat pro dan kontra dengan sesama warga lainnya yang berbeda pandangan.
“Kondisi gaduh dan kontroversi itu terlalu mahal harganya bagi kepentingan bangsa dan negara. Terjadi mobilisasi masa yang saling berbeda sikap politik secara diametral, yang pertaruhannya sangat mahal bagi keutuhan Indonesia. Akibatnya, rakyat yang sudah menderita akibat musibah pandemi makin menanggung beban berlipat oleh isu-isu kontroversial atasnama demokrasi,” jelas Haedar.
Karenanya dalam memahami dan menerapkan demokrasi seyogyanya para elite dan warga bangsa perlu berpijak nilai-nilai luhur kebangsaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila, konstitusi, dan kepentingan negara yang lebih luas. Pemahaman demokrasi harus substansial dan mendalam, bukan pada pikiran verbal semata.
“Tidak sekadar bersandar pada paham demokrasi untuk demokrasi yang bersifat kegunaan, tetapi pada nilai dan kemaslahatannya. Apalagi kalau niatnya keliru dan bergagasan demokratis yang ternyata tidak sejalan dengan jiwa demokrasi, fondasi hidup bangsa, serta kemaslahatan Indonesia ke depan,” ucap Haedar.
Bersikaplah moderat dan tidak radikal-ekstrem dalam memahami serta mempraktikkan demokrasi di Indonesia, karena di landasan politik Indonesia itu ada nilai Pancasila. Letakkan demokrasi dengan segala perdebatannya yang gaduh itu dalam konteks nilai serta kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Lebih-lebih ketika Indonesia saat ini tengah sarat beban akibat pandemi Covid-19 dan masalah kebangsaan lainnya, yang dampaknya sangat membuat rakyat menderita.
“Kepada para cerdik pandai marilah sebarluaskan dan manfaatkan ilmu dan akses yang dimiliki untuk mencerdaskan, mencerahkan, dan membawa kemaslahatan dalam kehidupan bangsa, negara, dan kemanusiaan semesta. Ilmu itu memerlukan etika dan kebijaksanaam agar menjadi suluh keadaban dan peradaban. Insya Allah bila para cerdik pandai memanfaatkan ilmu dan kearifannya untuk kemaslahatan umum serta mencegah diri dari kemudaratan, maka para pemilik ilmu akan menjadi pewaris para Nabi yang mengeluarkan umat manusia dari kegelapan pada kehidupan yang bercahaya pencerahan. Ilmunya akan membawa dirinya ke sorga,” tutup Haedar.* (Muhammadiyah.or.id)