Oleh:
Fauziah Ramdani || Ketua Forum Muslimah Dakwah Kampus Indonesia
LEBARAN sebentar lagi, begitulah ungkapan yang seringkali terdengar. Hari ini kita hampir memasuki babak akhir perjuangan menuju kemenangan di hari yang fitri. Atas Seluruh kebaikan yang tercurah dari jiwa-jiwa umat Muslim selama Ramadhan saat Idul Fitri tiba begitu sangat terasa.
Suara takbir yang bergema disudut-sudut kota hingga dipelosok desa menjadi haru mengingatkan kita pada banyak kisah. Bahagia juga sedih tak mungkin terlupa karena tamu agung Ramadhan akan segera pamit. Menyambut hari raya paling sakral dan istimewa; hari raya Idul Fitri.
Berbondong-bondonglah kaum muslimin di negeri ini mempersiapkan diri dan keluarga menuju hari raya. Riuhnya pusat perbelanjaan dipadati oleh para pembeli ; mall-mall, supermarket, aneka pasar tumpah ruah oleh manusia. Seolah mereka benar-benar harus dan haus dengan ragam pakaian, makanan, minuman dan barang-barang lainnya yang wajib ada di hari raya Idul Fitri. Inilah realitas budaya dengan spirit agama yang tumbuh subur dan mengakar kuat di ibu pertiwi tercinta. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi fenomena tersebut?
Menyambut lebaran dengan penuh kebahagiaan tentu bukan hal yang sia-sia. Mempersiapkan diri bersama sanak saudara, kerabat dan teman sejawat untuk bertemu,bersilaturahim di hari raya idul fitri adalah sunnah yang dianjurkan. Di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam Sejarah mencatat perayaan Idul Fitri pertama kali diselenggarakan pada 624 Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah. Saat bertepatan dengan selesainya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin.
Sebuah perjuangan yang diganjar dengan perayaan yang begitu istimewa dan berkah ;yakni Idul Fitri. Perayaan idul fitri yang identik dengan pakaian baru tentu bukanlah hal yang berujung kesia-siaan. Sebab hakekatnya , kita ingin mempersembahkan yang terbaik setelah sebulan penuh berjuang mengalahkan ego, nafsu dan syahwat demi meraih berkahnya bulan Ramadhan. Belanja alias shoping lebaran akan menjadi momentum eksistensi syukur kita kepada Sang Kuasa atas nikmat dan rezeki yang diberikan. Namun jika saat berbelanja lantas nyaris menguras waktu, materi dan berujung kesia-siaan, apa yang akan kita tuai dari perangai yang justru akan mengundang kemudharatan?
Berbelanja sewajarnya dan secukupnya. Sesuai kebutuhan bukan karena ingin dan mau tetapi sejatinya kita berada di fase butuh dan harus memilikinya. Bukan hal yang mudah tentu saja, ditengah geliat hidup kaum urban yang serba konsumtif dan glamour.Tetapi bukan tidak mungkin kita tidak mampu menahan rasa ‘ingin’ dengan kesabaran untuk menahan diri,sebagaimana bulan puasa yang mengajarkan nilai-nilai tersebut di 30 hari menahan hawa nafsu untuk tidak makan, minum dan melakukan hal-hal lainnya yang bisa saja dibolehkan diluar waktu puasa.
Kondisi pandemi yang juga belum usai, seharusnya menjadi pelajaran bagi setiap kita untuk semakin mawas diri dan sigap mempertimbangkan segala hal dengan akal yang lurus bahwa Idul Fitri tahun ini adalah ajang muhasabah bagi kita, walau rasa rindu pada kampung halaman harus ditahan tanpa mudik, tetapi ajang silaturahim harus tetap berjalan, saling melapangkan dan memaafkan, merayakan hari kemenangan dan bersyukur masih dikaruniai umur yang berkah walau wabah pandemi belum juga usai.
Wallahu’alam.*