Dr. Totok : “Kalau kita menganggap staf, guru, siswa, dan orang tua sebagai keluarga, tentu kita akan menjaga mereka. Kita tidak akan membuat keputusan yang merugikan"
Sebagai tokoh yang telah berkiprah panjang dalam pengelolaan yayasan pendidikan baik sebagai pendiri, pengurus, maupun pengawas Dr. Totok Amin Soefijanto menyampaikan pesan penting bagi para pendiri dan pembina yayasan.
“Kita perlu bertanya: warisan apa yang ingin kita tinggalkan? Jangan berpikir tentang apa yang bisa kita ambil dari yayasan, tetapi pikirkan apa yang bisa kita wariskan 10, 20, bahkan 50 tahun ke depan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya membangun sistem dan nilai yang kokoh, serta menjaga komunikasi yang jernih dalam setiap pengambilan keputusan.
“Kekuasaan besar yang dimiliki pembina dalam struktur yayasan harus diimbangi dengan kedalaman iman, kebijaksanaan, dan kemampuan berkomunikasi secara empatik,” tambahnya.
Dalam wawancara tersebut, Dr. Totok turut menanggapi sejumlah kasus nyata di dunia pendidikan. Salah satunya menyangkut seorang dosen senior di sebuah perguruan tinggi di wilayah Jabodetabek. Dosen tersebut memegang jabatan penting di sebuah fakultas dan telah berjuang sejak awal dalam membangun program studi, mulai dari pengurusan legalitas hingga proses awal merekrut mahasiswa, bahkan sebagian biaya menggunakan dana sendiri kegiatan akademik.
Namun, secara tiba-tiba ia digantikan karena perubahan kebijakan pimpinan.
“Kasus seperti ini terjadi karena komunikasi tidak berjalan dengan baik. Mungkin pimpinan perguruan tinggi punya pertimbangan strategis, tetapi kepala prodi merasa tidak dihargai. Semua pihak seharusnya duduk bersama dan saling mendengar. Tidak bisa sepihak,” tegasnya.
Dr. Totok juga mengapresiasi beberapa yayasan yang telah menunjukkan keteladanan luar biasa. Beberapa di antaranya memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak guru, memberangkatkan yang berprestasi untuk umrah, hingga memperlakukan seluruh civitas akademika sebagai keluarga besar.
“Kalau kita menganggap staf, guru, siswa, dan orang tua sebagai keluarga, tentu kita akan menjaga mereka. Kita tidak akan membuat keputusan yang merugikan,” tuturnya.
Menurutnya, pendekatan ini merupakan bentuk amal jariyah yang tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga bernilai spiritual.
Menutup sesi wawancara, Dr. Totok mengingatkan bahwa tahun ajaran baru adalah momen yang tepat untuk melakukan refleksi dan pembenahan menyeluruh. Momentum ini berlaku tidak hanya bagi guru dan siswa, tetapi juga bagi para pembina dan pengurus yayasan.
“Kita sering mengadakan pelatihan untuk guru dan staf, tetapi pembina yayasan juga perlu penguatan, bagaimana menjadi pemimpin yang mengayomi, bukan yang otoriter. Komunikasi harus dibangun secara dua arah,” jelasnya.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa membangun dunia pendidikan tidak bisa dilakukan seorang diri. Diperlukan kolaborasi lintas peran, komunikasi yang sehat, dan visi bersama agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara berkelanjutan dan bermakna.
Catatan : Artikel di atas merupakan hasil Wawancara Eksklusif bersama Rektor Institut Media Digital Emtek (IMDE), Totok Amin Soefijanto, Ed.DLokasi: Kampus IMDE, Komplek Indosiar, Daan Mogot, JakartaReporter: Anwar Aras