Oleh : Hadi Santoso (Pegiat Dakwah di Jawa Tengah / ayah dari 3 orang anak yang terus belajar)
Ada satu wajah yang tak pernah meminta panggung, namun dari keteduhannya lahir para pejuang. Ada satu tangan yang jarang diabadikan, namun dari genggamannya tumbuh tiang-tiang peradaban.
Itulah wajah dan tangan seorang ayah.
Hari ini, 12 November, kita memaknai Hari Ayah Nasional. Izinkan saya mengajak kita semua, para ayah dari kalangan kader, murabbi, aktivis, dan pejuang dakwah untuk menunduk sejenak di hadapan cermin kehidupan. Karena di balik kesibukan, di balik seribu rapat dan agenda kepartaian, ada sesuatu yang mungkin saja meredup; cahaya ilmu dan kasih sayang di rumah.
Ketika Ayah Tak Lagi Membaca
Sebuah riset sederhana dilakukan untuk kader dakwah di Jawa Tengah (2025). Di antara hasilnya, 62% kader membaca 1–2 buku dalam 6 bulan terakhir, dan sebanyak 23% tidak membaca buku dalam 6 bulan terakhir.
Hasil ini tentu tidak sesuai harapan, dan harus menjadi perhatian bersama untuk perbaikan. Seharusnyalah kader rajin membaca buku.
Namun sebenarnya hasil tersebut tidak kelewat parah. UNESCO pernah merilis data bahwa minat baca masyarakat Indonesia adalah 0,001%. Hal ini berarti, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Sedangkat survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% saja penduduk Indonesia yang rajin membaca buku.
Bagi kader, membaca adalah keharusan. Rasulullah Saw adalah seorang ayah yang ummiy, memerintahkan umatnya untuk memiliki tradisi membaca. Membaca bukan sekadar mengeja huruf. Tradisi membaca bukan sekedar dimensi akademik, namun itu tanda kehidupan ruhani.
Bila kader dakwah berhenti membaca, maka dakwah akan kehilangan daya hidupnya. Dakwah adalah hasil dari tafakkur panjang, bukan sekadar kegiatan rutin. Saat seorang ayah berhenti membaca, sebenarnya ia sedang memadamkan lentera di rumahnya sendiri. Anak-anak kehilangan figur yang haus ilmu, kehilangan teladan yang menyalakan rasa ingin tahu.
Wahai para ayah, kembalilah membaca. Bacalah buku yang bisa terus memperbaharui imanmu. Bacalah sejarah agar kau tahu jalan panjang para pejuang di masa lalu, sehingga mampu terus menguatkan tekadmu. Bacalah kisah orang-orang besar, agar engkau mampu berjiwa besar.
Dari ayah yang membaca, lahirlah anak-anak yang berpikir. Dari keluarga yang berpikir, akan lahir masyarakat yang tercerahkan.
Ketika Ayah Tak Lagi Belajar Menjadi Ayah
Membaca adalah salah satu cara belajar. Mari introspeksi, apa yang kita baca setiap harinya?
Berjam-jam setiap hari kita memelototi handphone, sayang jika bukan sedang belajar untuk menjadi ayah yang baik. Padahal, menjadi ayah adalah profesi paling penting sekaligus paling rumit di dunia.
Jangan sampai kita pandai dalam strategi politik, tapi sering gagap saat harus mencari solusi agar anak kita keluar dari kecanduan game. Kuat berjam-jam berdiskusi tentang isu-isu politik dan kebangsaan, namun kehilangan kata-kata saat anak remaja kita menutup pintu kamar rapat-rapat. Pandai menyusun strategi pemenangan, tapi tidak tahu cara memeluk anak dengan lembut saat mereka sedang dalam gelisah.
Wahai ayah, teruslah belajarlah menjadi ayah. Jangan merasa cukup karena usia, pengalaman, atau jabatan. Anak-anak kita tumbuh di zaman yang tak kita alami. Mereka menghadapi badai digital dan perubahan dunia yang lebih cepat dari nafas kita. Tantangan terus berubah, oleh karenanya belajar menjadi ayah tak mengenal titik akhir.
Mari belajar dari Rasulullah Saw yang bersikap hangat dan lembut kepada anak dan cucu beliau. Mari belajar dari Nabi Ibrahim, yang berdialog dengan putranya, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu…” Itulah percakapan spiritual dua arah yang penuh kehangatan antara ayah dan anak, bukan perintah sepihak, namun ekspresi cinta dan iman.
Rumah Perjuangan Pertama
Dr. Almuzzammil Yusuf menyampaikan pesan 5 Rumah Perjuangan; yakni rumah keluarga (rumah tangga), rumah ibadah (tempat penguatan spiritual), rumah politik (pusat perjuangan politik), rumah kebangsaan (penguatan persatuan nasional), dan rumah kemanusiaan (pengabdian lintas golongan).
Gagasan tersebut hadir sebagai arsitektur nilai yang menyatukan perjuangan spiritual, politik, kebangsaan, dan kemanusiaan, bukan sekadar program kerja.
Di posisi pertama, rumah keluarga atau rumah tangga. Aspek ini menekankan bahwa keberhasilan dakwah dan perjuangan bersumber dari keberhasilan rumah tangga. Targetnya adalah mewujudkan baiti jannati (rumahku surgaku). Ini adalah benteng pertama yang harus terus dikokohkan.
Para ayah mungkin khilaf, seolah dakwah adalah urusan luar rumah. Sibuk di atas panggung, forum, atau rapat. Sementara di balik itu semua, ada ruang tamu rumah yang sepi. Ada meja makan yang dingin. Ada anak-anak yang merasa jauh, meski ayahnya bicara tentang “umat” setiap hari.
Wahai ayah, dakwahmu tidak akan kuat bila rumahmu rapuh. Karena rumah adalah laboratorium cinta tempat iman diuji dan dikuatkan. Keluarga yang kokoh akan melahirkan kader yang kokoh. Maka, jangan biarkan rumahmu menjadi kosong dari ruh dakwah hanya karena engkau sibuk mengurus dakwah di luar.
Pesan Allah Swt sangat jelas dalam firmanNya: _“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”_ (Q.S. At-Tahrim: 6)
Mari kita mulai lagi dari hal kecil, misalnya menyediakan waktu membaca buku bersama keluarga. Ajak anak berdiskusi tentang satu ayat Al-Qur’an sebelum tidur. Bicaralah dengan istri tentang visi keluarga seserius kita membahas visi partai atau visi perusahaan. Lakukan halaqah kecil bersama keluarga di ruang tamu, bukan hanya rapat di sekretariat partai.
Miliki tradisi *Kumpul Keluarga* minimal sebulan sekali. Ada sangat banyak agenda bisa dihadirkan saat kumpul keluarga. Sekedar bercengkerama, saling tausiyah, saling bercerita, berdoa dan berdzikir bersama, menyimak tilawah, atau acara santai memasak bersama, traveling, berkemah dan lain sebagainya. Jadikan keluargamu hangat dengan cinta, kasih sayang, dan ilmu pengetahuan.
Peradaban besar tidak dibangun di istana, tapi di rumah-rumah mukmin yang menyalakan ilmu dan kasih sayang. Ketika rumah menjadi tempat ilmu dan kasih sayang, maka Allah Swt akan menurunkan keberkahan di dalamnya.
Wahai para ayah, engkau adalah pejuang dakwah, tapi juga murabbi bagi keluargamu. Engkau bukan hanya penggerak struktur, tapi penanam nilai di hati anak-anakmu. Maka jangan biarkan tanganmu begitu kuat mengangkat bendera organisasi, tapi lemah memeluk keluargamu. Jangan biarkan matamu tajam membaca data-data politik dan bisnis, tapi buta membaca perasaan anakmu. Jangan biarkan hatimu berapi-api untuk urusan dakwah, namun menjadi dingin saat di rumahmu sendiri.
Seorang ayah bukan sekadar sosok, ia adalah cahaya bagi anak-anaknya. Bila seorang ayah kehilangan cahayanya, maka satu generasi akan berjalan dalam gelap
Selamat Hari Ayah Nasional 12 November 2025. Semoga Allah menyalakan kembali lentera ilmu dan kasih di hati setiap ayah pejuang. Agar dari rumah-rumah sederhana kader dakwah, lahir generasi yang berilmu, beradab, dan membawa berkah untuk semesta.
Sukseskan Gerakan Nasional Kumpul Keluarga. Jadikan tradisi rutin bulanan di keluarga kita masing-masing.