Mungkin karena masih minim pengalaman dan pergaulan, sehingga semua ilmu yang dimilikinya seolah ingin dimuntahkan tanpa disaring terlebih dahulu.
Oleh:
Dr. Dewi Suriyani, M.Pd (Dewi Ummu Thoriq) || Dosen FKIP Universitas Ibn Khaldun Bogor dan Alumni Beasiswa KSU Baznas
MELIHAT maraknya status dan postingan-postingan yang berisi bahasan islami menjadi suatu kesyukuran bagi kita terkhusus bagi yang sering berselancar di dunia maya. Terlebih di masa Covid ini, dimana kajian-kajian offline ditiadakan, maka kajian-kajian virtual atau online menjadi alternatif yang baik.
Namun, ada terselip keprihatinan akan realita yang berkembang akhir-akhir ini. Akibat kurang memahami fiqh da'wah dan Sirah Nabi dalam dakwah, atau entah karena faktor apa, akhirnya tujuan berdakwah yang sesungguhnya mulia, mengajak manusia untuk semakin dekat dan ta'at pada Rabbnya, menunjukkan Islam yang rahmatan lil 'alamin dengan akhlak dan adab yang mulia, malah menjadi sarana dan wasilah yang seolah efektif untuk memecah belah ummat, Tulisan-tulisan provokator yang menjelek-jelekkan sebagian ulama, kelompok/ ormas, dan tokoh-tokoh muslim lainnya yang berbeda pemahaman. Bahasa-bahasa yang pedas, dan tajam tertuju pada da'i-dai yang berbeda pandangan dan latar belakang keilmuan. Dan hal ini semakin marak dan semakin buruk seolah berbalas-balasan tiada hentinya.
Entah karena faktor apa. Tentu kita tak berharap hal ini adalah karena munculnya banyak alumni/ da'i-dai muda dari barbagai universitas Islam dalam dan luar negeri. Sebab masih banyak diantara mereka yang bisa berdakwah dengan cerdas dan santun. Namun tak dipungkiri, sebagian kecil ada yang masih seperti ini. Mungkin karena masih minim pengalaman dan pergaulan, sehingga semua ilmu yang dimilikinya seolah ingin dimuntahkan tanpa disaring terlebih dahulu, efek dari merasa disalahkan, akhirnya berusaha membalas dengan tanpa melihat siapa orang-orang yang menjadi pembaca atau followersnya. Efeknya tak sedikit followersnya yang baru belajar ngaji ikut-ikut menghujat, mencerca dan mencela yang tidak sepaham. Lalu bagaimana kita hendak memujudkan "Persatuan Indonesia" jika sesama muslim saja selalu bertengkar karena perbedaan?
Pembaca yang Budiman, sekadar flashback masa lalu, dulu, saat saya awal-awal hendak serius mempelajari Islam, saya sempat tertarik pada kelompok kajian yang kesannya bagus. Sebab menurut informasi, para asatidzahnya banyak membahas kandungan Al Qur'an dan mengajarkan Sunnah-sunnah Rasulullah, serta tak lupa mengajarkan bahasa Arab. Namun (mungkin saat itu kebetulan saja), begitu saya coba ikut kajiannya, sungguh hati saya tidak tenang, karena kajian yang bertajuk Tabligh Akbar tsb, disisipi dengan banyak celaan-celaan terhadap sosok-sosok ulama, tanpa ragu menyebut beberapa nama asatidzah dengan jelas, dari kelompok-kelompok yang berbeda. Yang rupanya beda pemahaman dan beda kelompok kajian atau beda guru dengan mereka.
Sungguh, saya yang baru mau mulai belajar, tidak mencari hal-hal seperti itu. Saat itu saya baru mulai belajar bagaimana berhijab dengan benar, thoharah dan sholat yang benar, baca Qur'an yang benar, dan tentu saja bagaimana menjadi pribadi muslim yang baik. Bukan orangtua tidak mengajarkan, namun pada masa remaja, banyak faktor-faktor yang membuat kita tidak serius dalam menjalankan ajaran Islam yang sebenarnya sudah ditanamkan dengan baik oleh orang tua.
Dari pengalaman "pahit" yang pernah saya alami tersebut, saya mundur dan tidak pernah ikut lagi kajian mereka dan hanya menjadi "penonton" dari luar saja. Saya kembali lebih memilih untuk terus belajar dari para asatidzah di sebuah wadah kajian yang selama puluhan tahun hingga kini Alhamdulillah tak pernah saya temukan pengalaman buruk di masa lalu.
Apakah tidak pernah dibahas tentang manhaj, aqidah, maupun fikrah-fikrah sesat dan menyimpang dari Islam pada kajian ini? Tentu dibahas. Setelah beberapa lama (baca: tahun) belajar materi-materi keislaman dasar, seperti sholat, puasa, hijab/ jilbab, akhlak, ukhuwah, belajar memperbaiki makhraj dan tajwid dan masih banyak hal penting lainnya, baru kemudian kita bisa ikut dalam kegiatan yang diistilahkan daurah dengan tema manhaj/ firqah. Pesertanya juga bukan orang-orang yang awam banget yang baru mau belajar Islam. Pemateri biasanya adalah para masyaikh langsung dari Saudi/ Timur tengah, atau dari para asatidzah yang memang qualified/ kredibel menyampaikan hal tersebut sesuai background keilmuannya. Namun hal tersebutpun dibahas dengan sangat hati-hati tanpa menyebutkan orang-orang tertentu, kelompok/ormas tertentu.
Alhamdulillah saya bersyukur hingga saat ini Allah masih menjaga saya dan keluarga untuk tetap bisa belajar Islam, dipertemukan dengan para asatidzah yang 'alim namun berakhlak mulia, diukhuwahkan dengan saudara-saudara seiman yang punya ghirah dakwah tinggi namun tetap mengutamakan adab dan ukhuwah.
Menjadi bagian dari dakwah ilallah adalah keutamaan dan kemuliaan dariNya, dan semoga kita semua dapat melakukannya dengan tulus dan ikhlash karena Allah semata, penuh adab dan akhlak sebagaimana yang dicontohkan Nabi kita.
Jadi jangan heran jika saya pribadi senang terus belajar dari berbagai ulama dan dari kalangan manapun, menghirup ilmu yang bermanfaat tanpa dibatasi sekat-sekat perbedaan, namun saya tetap merindukan "rumah" tempat saya dapat mengunyah dan menela'ah ilmu agar lebih sempurna terserap. Wallahu ta'ala a'lam.*
Tags: Dakwah, Ukhuwah Islamiyah