Bramantya : Membaca Era Society 5.0: Peluang dan Tantangan Umat

Bramantya : Membaca Era Society 5.0: Peluang dan Tantangan Umat

Bramantya :Teknologi boleh melesat, tetapi tujuan kita tetap sama: memuliakan manusia, menjaga bumi, dan membangun peradaban yang berakhlak.

Oleh : Muhammad Agung Bramantya*)

 

Abstrak

Bayangkan sekolah kita sebagai laboratorium kecil yang terhubung dengan kampung, sungai, sawah, dan puskesmas; data mengalir dari sensor sederhana ke ponsel guru, lalu ke papan informasi di balai RW. Siswa belajar membaca angka curah hujan sambil mengingat pesan Al-Qur’an tentang tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala pada awan dan hujan. Inilah lanskap Society 5.0: tatanan “super-cerdas” yang memadukan ruang siber dan ruang fisik untuk menyelesaikan masalah sosial (banjir, sampah, gizi, pertanian, dll) dengan tetap menempatkan manusia, bukan mesin, sebagai pusat. Konsep ini lahir dari kebijakan ilmu-pengetahuan di Jepang dan kini menginspirasi banyak negara. Bedanya dengan Industri 4.0 tidak hanya soal teknologi, tetapi orientasi: dari sekadar efisiensi produksi menuju kemaslahatan manusia. Prinsip human-in-the-loop memastikan manusia tetap memegang kendali pada keputusan berisiko, sejalan dengan etika AI global dan nilai-nilai Islam tentang amanah, keadilan, serta larangan berbuat kerusakan di bumi. Artikel ini memperkenalkan cara membumikan Society 5.0 di kelas/sekolah Indonesia melalui dua contoh sederhana (yaitu mitigasi banjir berbasis data dan pertanian presisi) serta panduan proyek yang mudah dieksekusi. Harapannya, guru dan siswa terdorong menjadi produsen ilmu, bukan sekadar konsumen teknologi.



***


Kita mulai dari titik yang akrab: Industri 4.0. Istilah ini populer sejak 2011 di Jerman, ketika pabrik dan rantai pasok mulai ditopang oleh internet of things, data real-time, dan sistem siber-fisik. Tujuannya jelas: meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Banyak sekolah mengenal 4.0 melalui robotika, cetak 3D, atau otomasi. Namun, Society 5.0 menggeser fokus: bukan lagi “mesin berbicara dengan mesin,” tetapi “teknologi bekerja untuk manusia.” Pemerintah Jepang menerangkannya sebagai masyarakat human-centered yang memadukan data, AI, dan robotika untuk kesejahteraan yang inklusif. Di sana, setiap elemen sosial di-“digital twin”—disalin menjadi model digital—lalu dirancang ulang agar pelayanan publik dan tata kota lebih tangkas. Bayangkan peta banjir yang bukan hanya memprediksi air naik, tetapi langsung memicu pengeras suara evakuasi, mengarahkan lalu lintas, dan mengoptimalkan pompa. Ini bukan mimpi; beberapa kota sudah melakukannya.

Pergeseran 4.0 ke 5.0 kerap disalahpahami sebagai “versi lebih canggih.” Padahal, yang diubah bukan sekadar alat, melainkan cara memaknai kemajuan. Tulisan akademik menyebut 4.0 cenderung technology‑driven, sementara 5.0 value‑driven (dituntun oleh nilai kemanusiaan, keberlanjutan, dan inklusi). Di Eropa dan berbagai forum internasional, 5.0 dipahami sebagai koreksi arah: mesin boleh semakin pintar, tetapi ukuran utamanya adalah martabat manusia dan keadilan sosial.

Di tingkat etika, prinsip global pun menguatkan arah ini. OECD AI Principles menegaskan bahwa AI harus menghormati hak asasi, keadilan, dan nilai demokratis. UNESCO menerbitkan Rekomendasi Etika AI (2021), standar lintas 194 negara, yang menempatkan pengawasan manusia, transparansi, dan akuntabilitas sebagai pilar. Ini terasa “sangat Islami,” karena sejalan dengan maqāṣid al‑sharī‘ah (tujuan syariat untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan/lingkungan, dan harta). Teknologi menjadi wasilah (sarana) untuk mencapai kemaslahatan, bukan tujuan yang menghalalkan cara.

Sebelum berkenalan dengan sensor dan data, mari kita menyimak QS 2:164 dan QS 3:190–191. Dua ayat ini mengajak kita menatap langit, memperhatikan awan, badai, kapal yang berlayar, pergiliran siang-malam, dimana semuanya sebagai tanda yang mendorong akal untuk berpikir. Dalam bahasa hari ini, ayat-ayat itu adalah “undangan terbuka” untuk riset ilmiah. Sementara QS 28:77 memberi “rem”: maju, tetapi jangan berbuat kerusakan; kejar manfaat akhirat, tanpa melupakan tanggung jawab dunia. Nilai ini mewujud dalam tiga kebiasaan belajar:

  1. Tadabbur: melihat alam sebagai teks yang perlu dibaca, bukan sekadar latar foto;
  2. Amanah ilmiah: jujur pada data, tidak memanipulasi hasil agar terlihat “keren”;
  3. Maslahat: memilih topik yang memberi manfaat nyata—menurunkan risiko banjir, menghemat air, mengurangi sampah plastik.

Ketika sains ditempatkan sebagai jalan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, ilmu berubah dari sekadar hafalan menjadi ibadah. Ia berbuah pada akhlak berupa ketekunan, ketelitian, dan empati kepada sesama.

Dalam diskusi AI, istilah human‑in‑the‑loop (HITL) berarti manusia tetap menjadi bagian dari siklus pengambilan keputusan (mulai dari memilih data pelatihan, mengukur bias, sampai memberi override ketika sistem keliru). Mengapa ini penting? Karena data yang tidak lengkap bisa menghasilkan rekomendasi yang tampak meyakinkan tetapi menyesatkan. Di layanan publik, kesalahan seperti ini berisiko pada keselamatan. Karena itu, norma global menekankan pengawasan manusia, terutama pada keputusan berisiko tinggi seperti kesehatan, penanggulangan bencana, atau bantuan sosial. Intinya: AI membantu, manusia memutuskan.

Di sekolah, konsep HITL bisa dipraktikkan sederhana: siswa merancang alur data banjir mini. Sensor membaca tinggi muka air setiap 5 menit; sebuah skrip memberi status “WASPADA” jika melewati ambang. Namun, keputusan evakuasi harus memerlukan konfirmasi manusia (misalnya guru piket atau petugas RW) yang menimbang informasi lain: hujan di hulu, daya pompa, atau informasi resmi dari BPBD. Dengan cara ini, siswa belajar bahwa akurasi model penting, tetapi kebijaksanaan manusia tetap kunci.

Society 5.0 sukses bila ada ekosistem yang saling menguatkan. Kampus atau sekolah menyediakan pengetahuan dan talenta; industri dan UMKM menyediakan jalur adopsi; komunitas memberi konteks masalah; pesantren dan ormas mengawal adab, nilai, dan literasi kebajikan. Keempatnya bisa bersua di balai desa atau aula sekolah setiap bulan, bukan untuk seremoni, melainkan mendiskusikan data nyata: grafik tinggi air, peta titik rawan sampah, rekap hasil panen, atau kualitas udara kelas.

Model kolaborasi seperti ini juga mulai terlihat di luar negeri. Fakultas pertanian berkolaborasi dengan kampus teknologi untuk IoT, drone, geospasial, dan AI. Pada pertanian presisi berupa mendorong efisiensi air dan pupuk, serta meningkatkan hasil. Kolaborasi lintas lembaga membuat riset lebih cepat turun ke lahan, persis semangat 5.0: co‑creation yang berpusat pada manusia.

Jakarta memberi contoh yang mudah dibayangkan siswa. Jakarta Smart City membangun sistem peringatan dini banjir yang menggabungkan data dari ratusan endpoint (sensor ketinggian air, curah hujan, pompa) lalu menyalurkan informasi ke warga, bahkan melalui pengeras suara di lokasi rawan. Ketika air naik, pesan siaga terdengar; jalur evakuasi disiapkan; petugas lapangan bergerak. Di balik layar, ada arsitektur data yang harus selalu menyala, karena gangguan basis data saat hujan deras sama berbahayanya dengan pompa yang macet. Kisah teknis tentang ketahanan infrastruktur data ini sudah ditulis sebagai studi kasus oleh penyedia teknologi yang digunakan kota.

Pelajaran yang bisa dibawa ke kelas adalah metode ilmiah dalam skala kota: ukur, prediksi, verifikasi, perbaiki. Bahkan di Indonesia, ada studi yang memverifikasi akurasi peringatan dini BMKG untuk banjir. Verifikasi ini penting karena false alarm bisa membuat warga abai, sementara missed alarm bisa berakibat fatal. Siswa bisa meniru pendekatan ini dalam skala mini, berupa mencatat tinggi air selokan sekolah dan mencocokkannya dengan hujan di aplikasi cuaca, lalu membandingkan temuan mereka dengan informasi resmi. Mereka akan paham bahwa sains bukan ilmu menerka, melainkan proses menguji dugaan.

Konteks 2025 menambah urgensi. Beberapa laporan musim hujan memperingatkan potensi banjir dan hujan ekstrem di periode tertentu. Ini mengingatkan kita: kesiapsiagaan bukan hal sepele, melainkan kompetensi hidup. Apa gunanya matematika deret waktu? Di sinilah gunanya: memahami pola curah hujan dan memprediksi lonjakan debit. Apa gunanya fisika fluida? Untuk mengerti aliran dan gaya yang mendorong air melewati gorong-gorong. Bagi guru, inilah kesempatan emas mengontekstualisasi sains.

Contoh kedua datang dari lahan pertanian, bukan layar digital. Pertanian presisi terdengar rumit, tetapi intinya sederhana: memberi yang tepat, di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat. Sensor kelembapan tanah membantu menentukan kapan irigasi menetes; kamera atau drone membantu memantau gejala penyakit; model sederhana membantu memutuskan dosis pupuk. Riset menunjukkan bahwa integrasi IoT, analitik data, dan pembelajaran mesin dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi pemborosan input. Bahkan untuk lahan kecil, kunci keberhasilan bukan alat mahal, melainkan pelatihan pengguna, ketersediaan koneksi, dan pemeliharaan.

Bagi sekolah kejuruan atau madrasah aliyah yang punya kebun praktik, proyek mini ini realistis: stasiun cuaca murah (sensor suhu, kelembapan, curah hujan), sensor kelembapan tanah yang terhubung ke papan mikrokontroler, dan pompa kecil untuk irigasi tetes. Siswa belajar merangkai, mencatat, dan membaca data; guru mengaitkan dengan QS 6:141 tentang larangan berlebih-lebihan. Kita belajar hemat air bukan hanya karena tarif listrik naik, tetapi karena itu bagian dari adab bertani. Jika sekolah berkolaborasi dengan kelompok tani setempat, data yang dihasilkan bisa benar-benar mengubah keputusan (kapan menyiram, kapan menunda, kapan menambah mulsa). Hasilnya kecil tapi nyata: penghematan air dan kenaikan hasil. Apakah ini 5.0? Ya, karena manusianya terangkat martabatnya dimana petani membuat keputusan lebih cerdas, bukan sekadar menjadi target pasar alat teknologi.

Agar “human-centered” tidak jadi slogan, sekolah bisa mencoba mengembangkan dua lembar kerja:

Lembar Audit Maqāṣid.

Siswa diminta menilai rancangan proyek dari kacamata lima penjagaan: keselamatan (ḥifẓ al‑nafs), kejujuran akal dan data (ḥifẓ al‑‘aql), keberlanjutan dan perlindungan lingkungan/keturunan (ḥifẓ al‑nasl), keadilan biaya/manfaat (ḥifẓ al‑māl), serta ruang moral (ḥifẓ al‑dīn). Mereka mengisi apakah proyek menimbulkan risiko, bagaimana mitigasinya, siapa yang paling diuntungkan, siapa yang mungkin tertinggal, dan bagaimana menjamin martabat semua pihak.

Human‑in‑the‑Loop Canvas.

Di sini siswa menandai titik intervensi manusia di alur teknis: siapa yang memeriksa kualitas data? Kapan keputusan akhir mesti diambil manusia? Bagaimana prosedur override saat sistem salah? Dua alat sederhana ini membuat nilai jadi terukur dan didiskusikan, bukan sekadar dihafal. Praktik ini selaras dengan prinsip AI yang berpusat pada manusia di OECD dan standar etika UNESCO: menekankan pengawasan manusia, keadilan, dan akuntabilitas.

Society 5.0 mengundang kita merobohkan sekat mata pelajaran. Di satu proyek banjir, Fisika membahas gaya fluida pada saluran; Geografi mengulas morfologi DAS; Informatika mengajarkan sensor, logging, dashboard; PAI menghadirkan ayat tentang hujan dan larangan membuat kerusakan. Di ruang guru, kolaborasi ini lahir dari RPP sederhana: tujuan belajar yang sama (membaca masalah lingkungan dengan data), indikator penilaian yang selaras (teknis–etika), dan produk bersama (poster sains yang jujur, bukan poster yang “menghias data”).

Guru berperan sebagai mentor yang melihat lebih jauh dari sekedar angka. Guru menuntun niat, mendorong berpikir kritis, dan menegakkan adab ilmiah. Siswa didampingi untuk bertanya dengan baik (“data apa yang kita perlukan?”), menguji asumsi, dan memberi alasan etis atas pilihan teknisnya. Dengan pendekatan ini, kelas berubah menjadi studio desain yang menyenangkan.

Mulailah dari yang dekat. Ajak siswa berkeliling kampung: selokan mana yang sering meluap, titik sampah mana yang “selalu penuh,” ruang kelas mana yang paling pengap. Minta mereka memilih satu masalah, lalu merumuskan indikator: tinggi air, kelembapan tanah, suhu–kelembapan ruang, atau volume sampah. Di tahap berikut, siswa menggambar alur sensor → data → visualisasi → tindakan. Mereka juga mengisi Lembar Audit Maqāṣid dan HITL Canvas. Pada akhir pekan kedua, tiap kelompok menempelkan poster 1 halaman: masalah, rancangan teknis, data awal (jika ada), rencana uji coba, serta dampak sosial yang diharapkan.

Untuk proyek ini, SOP keselamatan wajib: guru menentukan batas tegangan, melarang kabel berserakan, dan memastikan sensor air tidak membahayakan. Jangan lupa izin bila memotret atau merekam data di rumah warga. Proyek kecil ini mengajarkan satu hal besar: teknologi yang baik adalah teknologi yang amanah. Teknologi menjaga manusia dan memuliakan lingkungan.

Penilaian tidak lagi menanyakan “berapa banyak komponen elektronik” yang digunakan. Fokusnya pada empat hal: (1) seberapa paham siswa pada masalah yang dipilih, (2) seberapa kuat orientasi mereka pada kemaslahatan (siapa terbantu, siapa perlu disertakan), (3) realistis atau tidak rancangan teknisnya (apakah sensor cocok, bagaimana validasinya), dan (4) etika & adab ilmiah (kejujuran data, privasi, keselamatan, dan cara berkomunikasi). Empat pilar ini selaras dengan Profil Pelajar Pancasila: bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan berakhlak mulia. Ia juga sejalan dengan maqāṣid: melindungi jiwa, akal, harta, dan lingkungan.

Kesenjangan infrastruktur adalah kenyataan. Tidak semua sekolah punya internet yang stabil atau laboratorium yang lengkap. Solusinya: mulai manual. Tinggi air bisa diukur dengan penggaris, suhu dengan termometer ruangan, curah hujan dengan penakar sederhana. Data dicatat di buku besar, lalu difoto dan dimasukkan ke spreadsheet. Ketika dana tersedia, barulah sensor murah ditambahkan. Society 5.0 bukan lomba membeli alat, melainkan kompetisi berpikir dan berkolaborasi.

Literasi data dan bias data juga butuh perhatian. Siswa perlu paham bahwa data bisa bising atau timpang. Karena itu, minta mereka membandingkan hasil sensor dengan observasi visual, berita BMKG, atau papan informasi kelurahan. Ini bagian dari proses verifikasi yang juga dilakukan peneliti ketika memeriksa kualitas peringatan dini banjir. Menghadapkan siswa pada praktik verifikasi mengajarkan kesabaran ilmiah: kebenaran dibangun dari uji ulang, bukan dari satu kali pengukuran.

Etika dan privasi adalah tantangan lain. Siswa perlu tahu mana data yang boleh dibagikan dan mana yang harus dilindungi. Wawancara warga memerlukan persetujuan; publikasi hasil harus menghapus informasi sensitif. Prinsip human‑centered menuntut kita menjaga martabat semua pihak, persis yang ditekankan oleh standar UNESCO dan OECD: hormati hak asasi, jaga keadilan, pertahankan pengawasan manusia.

Pendidikan perlu cermin agar bisa memperbaiki diri. Cermin itu bisa berbentuk indikator sederhana:

  • Teknis. Apakah ada penghematan air/energi, penurunan waktu respons banjir, atau perbaikan kualitas udara kelas?
  • Sosial. Apakah lebih banyak warga terlibat? Apakah kelompok rentan (anak-anak, lansia) diikutsertakan dalam rencana?
  • Etika. Apakah SOP keselamatan dijalankan? Apakah privasi dihormati? Apakah audit maqāṣid terdokumentasi?
  • Pembelajaran. Mampukah siswa menjelaskan apa–mengapa–bagaimana solusi, sekaligus kapan manusia harus mengambil alih dari mesin?

Sekolah bisa mengadakan pameran karya tiap akhir semester. Poster, prototipe, dan cerita lapangan dipresentasikan di hadapan orang tua, lurah, takmir masjid, atau penyuluh pertanian. Pameran membuat siswa merasakan bahwa ilmu mereka berarti, bukan hanya angka di rapor.

Kebijakan Society 5.0 berangkat dari dokumen perencanaan ilmu-pengetahuan Jepang: memadukan IoT, AI, robotika untuk menjawab problem sosial. Ide besarnya: teknologi yang “menyatu” dengan kehidupan, bukan teknologi yang membuat manusia terasing. Kita patut belajar disiplin dan ketelitian dari sana, tetapi tidak mengekor. Indonesia punya konteksnya sendiri: kepulauan yang luas, kesenjangan akses, kekayaan komunitas keagamaan. Maka, kita mengontekstualisasikan 5.0 dengan musyawarah kampung, pesantren, dan ormas; dengan gotong royong yang sudah menjadi budaya.

Di level global, standar OECD dan UNESCO memberi bahasa bersama tentang etika AI: hak asasi, keadilan, transparansi, dan pengawasan manusia. Bahasa ini tidak bertentangan dengan syariat; sebaliknya, seiring sejalan. Ketika siswa menuliskan alasan etis kenapa data wajah tidak boleh disebarkan sembarangan, mereka sedang mempraktikkan ḥifẓ al‑‘irdh (menjaga kehormatan) dan ḥifẓ al‑nafs (menjaga keselamatan). Ketika mereka memilih algoritme yang sederhana tapi dapat diaudit dibanding “model hitam” yang sulit diperiksa, mereka sedang menjaga akal, mengutamakan keterjelasan dan tanggung jawab.

Suatu sore, sehabis hujan, siswa berdiri di jembatan kecil dekat sekolah. Mereka menurunkan penggaris ke selokan dan mencatat angka. Di meja guru, grafik sederhana mulai terbentuk. Pengeras suara mushala menyiarkan imbauan agar warga dekat bantaran sungai bersiap. Di sawah kecil belakang sekolah, tetesan air irigasi berhenti otomatis karena tanah sudah cukup lembap. Tidak ada yang mewah: kabel, sensor, dan aplikasi gratis. Namun, ilmu dan adab bergerak bersama. Siswa tersenyum; mereka baru sadar bahwa mendesain masa depan bisa dimulai dari selembar kertas dan keberanian untuk mencoba.

Itulah nafas Society 5.0 di sekolah: bukan parade gawai, melainkan keputusan-keputusan kecil yang menyelamatkan waktu, air, bahkan nyawa. Di sinilah pesan QS 28:77 terasa hangat: kejar kebaikan akhirat dengan modal nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, jangan lupakan tugas di dunia, dan jangan membuat kerusakan. Teknologi boleh melesat, tetapi tujuan kita tetap sama: memuliakan manusia, menjaga bumi, dan membangun peradaban yang berakhlak.

Pesan motivatif untuk kelas: “Umat berperadaban adalah umat yang ikut mendesain masa depannya.” Mulailah dari masalah paling dekat. Hitung hujan, ukur air, rawat tanah. Jadikan ilmu sebagai ibadah, dan teknologi sebagai wasilah. Di sanalah masa depan Indonesia sedang dirakit secara tenang, telaten, dan bertanggung jawab. Wallahu a’lam.


Referensi

Cabinet Office, Government of Japan — definisi dan visi resmi Society 5.0 (human‑centered; fusi siber–fisik; “digital twin” untuk transformasi layanan). https://www8.cao.go.jp/cstp/english/society5_0/index.html

Xu, X. (2021). Industry 4.0 vs 5.0—pergeseran dari technology‑driven ke value‑driven pada literatur rekayasa/manufaktur. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0278612521002119

Hitachi Review — latar kebijakan: 5th Science and Technology Basic Plan (2016) mengangkat Society 5.0 sebagai konsep inti. https://www.hitachihyoron.com/rev/archive/2017/r2017_06/trends/index.html

OECD — AI Principles (2019): human‑centred values, fairness, rights, accountability. https://www.oecd.org/en/topics/sub-issues/ai-principles.html

UNESCO — Recommendation on the Ethics of AI (2021, diperbarui 2023/2024): standar etika global, penekanan pada pengawasan manusia, transparansi, dan martabat manusia. https://www.unesco.org/en/artificial-intelligence/recommendation-ethics

Jakarta Smart City — blog resmi teknologi peringatan dini banjir dan kesiapsiagaan musim hujan (peran BPBD; sistem pengeras suara; integrasi data). https://smartcity.jakarta.go.id/id/blog/teknologi-peringatan-dini-bencana-banjir-di-jakarta/

YugabyteDB — studi kasus arsitektur data layanan flood control Jakarta (ketahanan dan ketersediaan sistem). https://www.yugabyte.com/success-stories/jakarta-smart-city/

AIP Conference Proceedings (2024) — verifikasi peringatan dini BMKG terkait banjir; pentingnya validasi statistik. https://pubs.aip.org/aip/acp/article-abstract/2774/1/050002/3310407/Verification-of-BMKG-early-warning-related-to?redirectedFrom=fulltext

Literatur pertanian presisi berbasis IoT, analitik, dan ML: tinjauan dan aplikasi terkini, termasuk sensor murah & komputasi tepi. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1319157821001282?via%3Dihub

Catatan konteks risiko hidrometeorologi 2025: kewaspadaan menghadapi musim hujan dan potensi banjir—urgensi literasi kebencanaan. https://www.reuters.com/business/environment/indonesia-faces-greater-flood-risk-this-wet-season-says-weather-agency-2025-09-12/


Tentang penulis saat ini :

1.Kepala Laboratorium Mekanika Fluida, Departemen Teknik Mesin dan Industri, FT UGM

2. Ketua Cendikiawan Wahdah Islamiyah (ICWI)

Silahkan melihat channelnya di link berikut : www.youtube.com/@agungbramantya

        

                   




Sebelumnya :