UMMATTV, JAKARTA--Kabar duka kembali datang dari kalangan alim ulama. Kabar duka itu datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, Prof Huzaemah Tahido Yanggo, sosok perempuan inspiratif yang telah melahirkan kader-kader terbaik di Indonesia wafat pada Jumat (23/7). Takziyah secara virtual pun digelar Jumat malam dalam rangka mengenang sekaligus mengirimkan doa-doa pada Almarhumah Prof Huzaemah. Takziyah ini dihadiri para pengurus MUI. Salah satunya adalah Ketua Umum MUI, KH Miftachul Akhyar, yang turut memberi tausiyah dan sambutan dalam takziyah virtual tersebut. “Sangat langka ada wanita yang ahli fikih dan madzhab perbandingan, kematian seorang yang alim, apalagi murabbi yg telah mencetak kader-kader terbaik tentu merupakan kehilangan yang mendalam,” kenang Kiai Mif, begitu akrab disapa, Jumat. Kiai Mif memberikan tausiyahnya sekaligus renungan bahwasannya setiap insan tak luput dari kematian. Dalam hal ini, Kiai Miftah mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf dan Imam Ahmad yang termaktub dalam kitab Al-Zuhdu, singkatnya hadits ini menjelaskan di saat Allah menciptakan Nabi Adam dan dzuriyyah (keturunan)nya. Hadits tersebut berisi tentang malaikat yang berkata kepada Allah, “Ya Allah kalau Engkau menciptakan sedemikian banyak Adam dan keturunannya, maka niscaya dunia ini tidak akan mencukupi.” Allah kemudian membalasnya, “Aku akan menjadikan sebuah kematian bagi Adam dan keturunannya.” Kemudian malaikat melanjutkan, “Kalau ada kematian, maka kehidupan Adam dan keturunannya tidak akan menjumpai ketenangan.” Lantas Allah menjawab, “Aku akan menghadirkan harapan serta angan-angan yang semuanya bersifat sementara untuk menutupi kematian yang menakutkan itu.” Dari hadits tersebut, jelaslah bahwa tiap mahluk yang bernyawa memiliki batas hidupnya masing-masing di dunia. Kiai Mif mengajak pada segenap hadirin untuk mengambil hikmah di balik setiap kejadian duka ini. “Prof Huzaemah mungkin beberapa hari yang lalu sudah di tampakkan surganya, karena perjuangan beliau di jalan Allah, Kita harus bersedih ditinggalkan beliau, karena bumi ini ditinggalkan seorang yang alim maka kekuatan dan keberkahannya pun berkurang,” ujar Kiai Mif. “Sedih sunatullah tapi hakikat kehidupan memang seperti itu, tempat kita yg sesungguhnya adalah akhirat,” lanjutnya. Kematian adalah awal mula sebuah kehidupan, bukan sebagai akhir dari sebuah hayat (hidup). Ada kehidupan di alam arwah, lalu kehidupan alam arham (rahim), kehidupan dunia, dan dilanjutkan di kehidupan alam barzah. Terakhir, sampailah kita ke kehidupan yang abadi. Kiai Miftah menceritakan bahwasannya para ulama dahulu mana kala memanggil teman karibnya adalah penduduk abadi. Hal tersebut karena manusia adalah penduduk abadi yang tidak diciptakan untuk sebuah kefanaan atau ketiadaan. Manusia diciptakan sebagai sebuah keabadian dan kelanggengan. “Kita semua sedang dalam proses perpindahan dari desa ke desa. kehidupan desa arwah, arham, dunia, lalu barzakh hingga pada akhirnya sampailah kita ke darul baqa, yakni desa yang abadi,” pungkas Kiai Miftah. Sayyidah Aisyah pernah menyatakan keengganannya terhadap kematian pada Rasulullah. Kemudian Rasul menjelaskan bahwasannya seorang mukmin yang berilmu atau berjasa manakala menghadapi kematian maka ditampakkan surganya di pelupuk matanya, sehingga yang tampak hanyalah kebahagiaan dan hatinya gandrung segera ingin menuju surga tersebut. Pada akhirnya yang ada hanyalah kecintaannya dan kerinduannya untuk bertemu Allah SWT. Dalam surah Al Mulk ayat dua yang berbunyi:
اۨلَّذِىۡ خَلَقَ الۡمَوۡتَ وَالۡحَيٰوةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ اَيُّكُمۡ اَحۡسَنُ عَمَلًا ؕ وَهُوَ الۡعَزِيۡزُ الۡغَفُوۡرُۙ
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.” Allah mendahulukan menyebut kata mati lebih dulu dari kata hayat, hal ini karena dalam kematian sesungguhnya ada sebuah kenikmatan atau regenerasi kehidupan. “Saya yakin almarhumah sudah paham akan ayat tersebut. langit dan bumi akan menangis karena wafatnya orang-orang saleh dan salehah,” ujar Kiai Mif. Dalam surah Ad Duhkhan ayat 29 juga dijelaskan mengenai kepergian orang-orang yang saleh dapat membuat bumi dan langit menangis, sebaliknya bumi tidak akan menangisi kepergian orang-orang munafik atau kafir. Berikut adalah bunyi surahnya:
فَمَا بَكَتۡ عَلَيۡهِمُ السَّمَآءُ وَالۡاَرۡضُ وَمَا كَانُوۡا مُنۡظَرِيۡنَ
“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu.” Tafsir ayat ini menjelaskan bahwa langit dan bumi tidak menangisi kepergian dan kehancuran firaun dan kaumnya. Tidak sesuatu pun baik di langit maupun di bumi yang menghiraukan kematian firaun dan kaumnya yang jahat dan durjana itu. Mereka tidak mau bertaubat memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, oleh karenanya azab disegerakan tanpa ada penangguhan. “Semoga di balik kabar duka wafatnya almarhumah Prof Huzaemah ini membuat generasi-generasi penerus sadar akan tugasnya untuk melanjutkan perjuangan beliau dalam syiar dan dakwah Islam,” ujar dia.
“Dengan ini saya Miftahul Akhyar mewakili belangsungkawa yang mendalam dari MUI pusat atas wafatnya beliau, semoga amal ibadahnya diterima Allah dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya,” kata Kiai Mif mengakhiri tausiyahnya.*