Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Layaknya gelaran pemilu lima tahunan, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Bagi seorang muslim, sebuah pertanyaan perlu diajukan. Atas dasar apa seorang muslim memilih calon anggota dewan atau presiden? Parameter apa yang digunakan untuk memutuskan coblos tokoh tertentu? Saya kira, perkara ini harus selesai diawal. Fikih politik kontemporer, tentu menaruh perhatian pada bagaimana sosok dan tokoh itu memiliki kepribadian berkenabian (profetik). Lantas, mungkin ada yang bertanya, ciri caleg atau capres profetik itu seperti apa? Saya akan sedikit berikan gambaran.
Tapi sebelumnya, apakah yang demikian sebuah politik identitas? Tentu tidak. Di mana, politik identitas sering diartikan dengan menggerakkan aksi-aksi untuk meraih tujuan politik tertentu dengan mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama. Ketika masyarakat (konstituen) yang menentukan pilihan politiknya yang didasarkan pertimbangan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) tentu tidak bisa dikategorikan melakukan politik identitas.
Begitu juga ketika aktor politik yang berlatarbelakang pemuka agama (Ulama, Ustadz, Romo, Pendeta, Pandita, Bhiksu, dll) menyasar masyarakat atau komunitas keagamaan tidak serta merta dapat dicap sebagai politik identitas. Politik identitas hanya hadir ketika aktor politik tertentu mengajak publik mendukungnya karena apa yang melekat pada dirinya (menggunakan sentiman suku, agama, ras, dan antar golongan). Hal itupun tidak serta merta bisa disebut politik identitas, sebab ada syarat lain bisa disebut praktek politik identitas yaitu adanya tekanan (oppression) yang membahayakan hidup orang lain (person's life), yang bersumber pada klaim identitas tertentu.
Maka, Ketika masyarakat (publik) memilih calon pemimpin, salah satunya karena faktor kapasitas keagamaannya, sah-sah saja. Terkait dengan hal ini, saya teringat sebuah perkataan Abul A’la Al-Maududi seorang pemikir Islam yang cukup mengesankan, beliau pernah melukiskan kepribadian Nabi Muhammad SAW dengan ungkapan:"He is the only one personality that all exelleces have been blended in him.” Dia adalah satu-satunya pribadi di mana seluruh keunggulan kualitas terdapat pada dirinya. Maka wajar kalau Michael H. Hart, dalam buku “The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History”, memposisikan Nabi Muhammad merupakan sosok paling berpengaruh di dunia dengan tokoh dunia yang lain.
Ada ucapan menarik Imam Al-Ghazali yang dikutip Yusuf Al-Qardhawi dalam buku "Fatwa-Fatwa Kontemporer". Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa (kekuasaan) politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”
Tafsiran ungkapan di atas, memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan). Beberapa pemikiran di atas, adalah sebuah pandangan yang filosofis, ideologis. Di sini, kita perlu menterjemahkan ke level yang lebih strategis bahkan praktis, agar pemikiran tersebut bisa membumi dan mudah dipahami seorang muslim, dari kalangan manapun. Terkait bagaimana performa pemimpin yang layak dipilih, saya akan meminjam gagasan Prof. Kuntowijoyo (alm,) pemikir keIslaman yang berhasil mempopulerkan istilah profetik (berkenabian) dalam kerangka yang lebih akademis.
Pemahaman profetik Kuntowijoyo mengelaborasi ayat berikut : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran ayat 110). Profetik dimaknai sebagai kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Sifat nabi dengan ciri-ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
Kuntowijoyo di dalam buku “Paradigma Islam: Intrepretasi untuk Aksi” menjelaskan bahwa kepemimpinan profetik membawa tiga misi utama, yaitu; Pertama, menyuruh kepada yang baik (ta’muruna bil ma’ruf). Ini adalah misi humanisasi (pemanusiaan) dengan tujuan memanusiakan manusia, kedua mencegah dari yang buruk (tahhauna anil mungkar) atau liberasi dan ketiga beriman kepada Allah (tu’minuna billah) atau transendensi. Dari konsep di atas, saya akan mencoba melakukan tafsir kekinian, disesuaikan dengan relevansi zaman, di mana kita sedang dihadapkan pada kontestasi pemilu lima tahunan.
Kita mulai dari yang pertama, menyuruh kepada yang baik (ta’muruna bil ma’ruf). Ini adalah misi humanisasi (pemanusiaan) dengan tujuan memanusiakan manusia. Dalam konteks kewarganegaraan, bagaimana seorang presiden misalnya perlu memberdayakan warga, bukan menjadikan masyarakat sebagai obyek kekuasaan belaka. Memfasilitasi warga untuk tumbuh, berkembang dan mandiri. Memastikan masyarakat bergerak dalam progresifitas, tak terus jalan di tempat, ketinggalan dengan negara-negara lain. Ia yang menjadikan negara hadir dalam segala aspek penyelesaikan problematika umat. Semuanya ini tak bakal terjadi ketika sang pemimpin tak punya pemahaman keIslaman yang cukup sebagai bekal konseptual memberikan solusi secara benar, cepat dan efisien selaras dengan nilai-nilai keIslaman dan keIndonesiaan.
Kedua, mencegah dari yang buruk (tanhauna anil munkar). Ini adalah misi liberasi (pembebasan) dengan tujuan membebaskan manusia dari belenggu keterpurukan dan ketertindasan. Ia harus bisa membebaskan bangsa ini misalnya dari beragam penjajahan. Mulai dari penjajahan ekonomi, kebudayaan bahkan pemikiran. Membebaskan bangsa ini dari perbudakan bangsa lain. Menjadikan bangsa ini yang masih berada di level bangsa konsumen, menjadikannya tegak berdiri, kokoh menjadi bangsa produsen yang mandiri, berdaulat dan berdampak. Tak hanya bagi bangsa sendiri, tetapi membawa angin segar kontribusi yang signifikan bagi negara-negara lain. Ia, sosok yang berani dan bernyali melawan segala bentuk hegemoni, kooptasi dan intervensi yang sekian lama merugikan bangsa besar ini. Ia yang berani berkata tidak pada kezaliman dalam segala bentuk. Menjadi harapan bagi pemerintahan (negara) yang punya harga diri di mata bangsa sendiri dan bangsa lain.
Ketiga, beriman kepada Allah SWT (tu’minuna billah). Ini adalah misi transedensi yaitu bagaimana pemimpin selalu menghadirkan Allah, Tuhannya dalam setiap gerak dan pengambilan keputusan. Lagi-lagi, tak mungkin transendensi ini bisa dilahirkan dari tokoh yang jauh dari nilai-nilai keIslaman itu sendiri. Sebagaimana Indonesia, yang mayoritas warganya muslim, menjadi sangat penting bagaimana kharakter pemimpin punya dimensi keTuhanan yang selaras dengan pemahaman sebagian besar warganya. Dia, kemudian tak hanya memahami misalnya politik sebagai urusan duniawi semata, tetapi politik terutama kepemimpinan, juga berdimensi akhirat yang setiap gerak kepemimpinanya bakal dimintai pertanggungjawaban di mata Allah. Dengan begitu, dia tidak bisa semena-mena dan asal asalan dalam kepemimpinan dan pengambilan kebijakan karena tanggungjawab itu tak hanya dihadapan manusia (hamba) tapi juga tanggungjawab kepada Tuhannya.
Memang, saya yakin, pembaca yang budiman sudah punya pilihan masing-masing. Di sini, saya tentu tak memaksakan pandangan. Tapi, sekadar berbagi perspektif terkait dengan ciri, parameter dan sosok seperti apa yang benar-benar bisa diandalkan sebagai pemimpin. Di sini, saya tidak bicara soal menang dan kalah karena itu sebatas peluang. Tapi, saya sedang bicara pilihan yang benar atas seorang pemimpin yang layak kita pilih sesuai dengan apa yang sudah saya utakan di atas. Ini bukan perkara suka atau tidak suka, bukan pula perkara kita di kelompok mana. Tapi, sebuah ijtihad politik bagaimana kita melahirkan kepemimpinan politik yang punya keberIslaman memadai dan mampu menyelesaikan problematika umat. Tak lain tak bukan, kepemimpinan yang berkenabian. []
Dicari: Presiden yang Berkenabian
Tags: #yonsahmad, #capres